Chereads / My Roommate is Homo / Chapter 7 - Chap 7 Normal POV

Chapter 7 - Chap 7 Normal POV

Glek

"Jadi kenapa kau mau menikahi anakku?"

"Ka ... karena, aku mencintai Erik."

"Uhuk."

Mari kita kembali ke beberapa jam lalu sebelum adegan lebay itu terjadi. Seperti jadwal yang sudah disusun. Setelah kemarin Erik menemui wali Nina, hari ini tiba saatnya Nina untuk bertemu dengan keluarga Erik.

"Buset kamu orang kaya? Kenapa nggak beli apartemen sendiri malah tinggal sama aku?" Nina terpesona dengan rumah keluarga Erik yang terlihat seperti istana di matanya.

"Ya kamu tahu kan anak kalau kabur dari rumah mana mungkin ada persiapan." Erik menjelaskan pada Nina dengan santai.

"Kamu udah tua Rik masa sih uang juga dipegang sama orang tua."

"ATMku diblokir semua sama mama, jadi bayangin aja gimana frustasinya aku harus bertahan dengan uang yang tersisa di dompet." Nina membalikkan wajahnya sambil mengembungkan pipi, kali ini dia harus mengalah dari Erik.

Ketika mereka masuk di pintu gerbang, dua orang satpam menyambut mereka. "Loh den Erik udah pulang kok nggak pake mobil den?" Salah satu satpam yang membukakan gerbang terkejut melihat majikannya datang dengan berjalan kaki. Selama ini Erik tidak pernah mau keluar rumah tanpa membawa mobil kesayangannya, tapi ternyata ego tuan mudanya lebih tinggi.

"Tidak apa-apa pak anggap saja belajar hidup sederhana." Erik tertawa.

"Ini siapa den cantik banget?" Kini tatapan si satpam beralih pada Nina yang berdiri di samping Erik.

"Ini pesanan mamah, saya ke dalam dulu ya pak." Erik menggandeng tangan Nina dan membawa gadis itu menuju ke rumah.

"Akhirnya saya yang menang, ternyata den Erik masih suka sama perempuan ayo bayar." Salah satu satpam tersenyum, ternyata mereka berdua bertaruh tentang status seksual majikannya.

* * *

Maya menyambut Nina dan Erik dengan semangat, akhirnya anak perempuan yang diidamkannya selama ini datang. "Aduh nggak usah repot-repot makasih ya." Maya menerima buah-buahan yang dibawa oleh Nina. "Masuk yuk sayang mama udah siapin makanan yang enak untuk kalian berdua, papa juga udah nunggu di dalem." Maya melepaskan pegangan Erik pada tangan Nina dan menggandeng calon mantunya.

Mereka berjalan menuju ruang makan di mana ayah Erik telah menunggu. Berbeda dengan hari biasanya, hari ini ayah Erik berada di rumah, bahkan dengan dandanan rapi, membuat Erik yakin kalau dia juga tidak sabar untuk menemui calon menantunya. Sebenarnya bukan hanya Maya yang lebay, sang suami juga tidak ada bedanya dengan sang istri hanya saja ayah Erik terlihat lebih kalem.

"Selamat pagi om." Nina menunduk memberi salam dengan sopan.

"Hm." Ayah Erik hanya berdehem singkat lalu sedikit melonggarkan kacamatanya dan memperhatikan Nina dari atas sampai bawah.

"Lumayan, kamu pintar pilih pasangan." Nina tersenyum sedangkan Erik memutar bola matanya bosan dengan kelakuan sang ayah yang terkesan dibuat-buat.

"Ayo semuanya duduk dulu nanti makanannya dingin loh."

Nina duduk di samping Erik. Mereka makan dalam diam, sesekali Maya membahas masalah pernikahan dengan Nina. Erik dan sang ayah menghabiskan makanan mereka dalam diam. "Iyah tante eh mama, Erik udah siapin semuanya kok."

"Bukankah biasanya orang pacaran punya panggilan sayang ya." Erik dan Nina saling berpandangan mendengar pendapat dari ayah Erik.

Glek

Nina menelan salivanya pelan, otaknya memikirkan beribu alasan untuk diutarakan pada calon ayah mertuanya. "Biasanya aku manggil dia dengan panggilan homo-kun." Erik melemparkan tatapan tajam pada Nina.

"Soalnya awal kenalan aku sempat ngira dia homo, karena dia seperti nggak peduli sama cewe." Nina menjelaskan panjang lebar dan ayah Erik mengangguk.

"Lalu apa alasan kamu ingin menikahi Erik?" Pertanyaan membunuh yang dikeluarkan oleh keluarga calon suami.

Dengan gugup Nina berbalik menatap Erik di sampingnya berusaha mencari bantuan tapi Erik tetap makan dengan tenang. Dalam hati Erik tertawa senang karena Nina merasakan apa yang kemarin dirasakannya. "Aku menikahinya karena ..." Nina berbalik menatap Erik.

"Aku mencintai Erik." Nina tersenyum sambil mengembungkan pipinya sedang kedua tangannya membentuk hati dan diarahkan pada Erik.

"Uhuk uhuk." Erik batuk, rasanya dia ingin mengeluarkan seluruh makanan yang tadi masuk ke dalam perutnya.

"Homo-kun kamu nggak apa-apa?" Nina menepuk punggung Erik dengan keras.

"Uhuk iya sayang aku nggak apa-apa." Erik tersenyum sambil melempar tatapan _Kau mau mati_ pada Nina.

"Kalian serasi sekali." Maya tersenyum bahagia melihat kedekatan Erik dan Nina. "Wah jadi ingat masa lalu kita ya mah." Ayah Erik juga ikut tertawa melihat kelakuan anaknya.

Makan siang hari itu berjalan dengan lancar dan berakhir dengan baik. Setelah membicarakannya mereka sepakat untuk melaksanakan acara pernikahan secara sederhana dua minggu lagi. Semuanya telah disiapkan oleh mereka dan orang tua serta wali ikut membantu dari belakang.

"Hahaha sayang kerja bagus hari ini."

Matahari telah tenggelam beberapa jam lalu, sekarang sudah pukul sepuluh malam. Mereka baru saja turun dari bus dan kini tengah dalam perjalanan menuju apartemen. Dari halte bus sampai ke apartemen memerlukan waktu lima belas menit.

"Aku hampir muntah tadi, kayaknya nulis novel cinta buat aku bisa berekting sebagus ini." Nina tertawa sambil menepuk dadanya bangga.

"Aku hampir percaya kalau kamu beneran cinta sama aku." Erik berjalan di samping Nina sambil memasukkan tangan ke saku jaketnya.

"Ahh langitnya indah." Nina sedikit berlari hingga Erik tertinggal di belakangnya.

"Kamu mau ngedrama lagi?" Erik tetap berjalan pelan di belakang Nina.

"Nggak aku hanya ngerasa lega aja." Nina berbalik melihat Erik lalu berjalan mundur dengan pelan.

"Kenapa menjauh kalau ngerasa lega?"

"Karena kamu homo mesum Rik, aku takut kalau kamu nyium bibirku kayak kemarin." Nina pura-pura menunjukkan wajah terkejut lalu menutup mulut dengan sebelah tangan.

"Astaga Nina itu nggak sengaja kemarin beneran deh." Erik mempercepat langkah menyusul Nina.

"Halah bohong itu ciuman pertamaku Rik." Nina terus berjalan mundur hingga dia tidak sadar kalau ada batu dibelakangnya dan akhirnya terjatuh.

"Maaf aku nggak bermaksud ..."

Bruk

"Aduh sakit Rik." Nina terduduk di tanah sambil mengelus sebelah kakinya.

"Kamu udah tua jangan kayak anak kecil deh sayang tulangnya udah keropos." Erik menghampiri Nina lalu memegang kakinya. "Auh sakit jangan ditekan geblek." Nina memukul tangan Erik. "Yaelah cuma ngecek doang yaudah aku tinggalin yah." Erik ingin berjalan meninggalkan Nina tapi tangannya ditahan oleh gadis itu.

"Aku nggak bisa jalan Rik keseleo, kamu kok tega sama calon istri sendiri?" Nina mengembungkan pipinya berusaha terlihat seimut mungkin di depan Erik. "DEG" Erik langsung berjongkok sambil membelakangi Nina, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memanas.

"Eh?"

"Naik cepet atau aku tinggal." Nina langsung mengalungkan tangannya di leher Erik, dalam sekejap dia sudah ada di gendongan calon suaminya. "Bintangnya indah." Nina menyandarkan dagu di bahu Erik sambil menatap ke bawah, entah kenapa dia merasa nyaman di gendongan Erik.

"Bohong kita udah ada di dalam gedung Nina tinggal masuk lift." Wajah Nina memerah dia ketahuan berbohong. Di dalam lift keduanya menjadi tontonan beberapa penghuni apartemen lain yang juga sedang memakai lift, tapi Erik berusaha untuk tidak memperdulikannya.

Erik mendudukkan Nina di sofa lalu mengmbil minyak dan memijit kakinya pelan. Nina hanya menatapnya dalam diam sambil sesekali merintih menahan sakit. "Gimana?" Erik bangun lalu duduk di samping Nina. "Udah mendingan, umm soal perjanjiannya bisa kita buat sekarang?"

"Bisa." Erik masuk ke dalam kamarnya lalu keluar dengan membawa beberapa lembar kertas HVS dan sebuah pulpen. "Apa yang kamu inginkan dari pernikahan ini?" Erik memberikan kertas dan pulpen itu pada Nina. "Aku nggak minta hal yang berlebihan kok hanya ini aja." Nina menunduk dan menuliskan sesuatu pada kertasnya.

"Hmm cuma satu, tapi ini maksudnya apa?" Erik memicingkan mata melihat sebuah syarat yang ditulis oleh Nina. Bukan karena tulisan tangan Nina yang sangat jelek, ini masih bisa dibaca oleh Erik, tapi dia tidak mengerti maksud dari syarat yang diajukan oleh Nina.

"Katanya kamu nggak suka sama aku, kenapa kamu tulis di sini kalau aku harus ngajarin kamu tentang cinta?" Erik mengangkat sebelah alisnya menatap Nina bingung. "Iyup kamu harus ngajarin cinta ke aku demi kelangsungan pembuatan novel terbaruku." Nina tersenyum bangga.

"Jadi ..."

"Yup kamu harus ngelakuin apapun yang aku minta demi kelangsungan novelku."

"Wtf ..."