Chereads / My Roommate is Homo / Chapter 9 - Chap 9 Erik POV

Chapter 9 - Chap 9 Erik POV

Brak

Aku menatap piring yang ditaruh _baca dibanting_ oleh Nina dihadapanku. Aku diberi waktu libur selama tiga hari karena baru saja menikah dan waktu libur ini diisi dengan berdiam di rumah. "Kok gitu, kamu marah ya karena kejadian semalam?" Kesal dengan kelakuan kasar Nina aku menegurnya yang masih mengerucutkan bibir.

Gadis itu menaruh sarapan bagiannya di meja lalu duduk berhadapan denganku, tapi dengan ekspresi yang masih seperti tadi. Hei bukan salahku kan melakukan hal itu di malam pertama kami, lagipula dia sudah resmi menjadi istriku masa suami bisa memperkosa istrinya sendiri tidak masuk akal.

"Sakit tau kamu kenapa ngelakuin itu kasar banget." Aku terkesiap saat dia menatapku dengan tatapan tajam seolah-olah semua kejadian semalam adalah salahku.

"Sakit, kamu bilang sakit? Eh juniorku lebih sakit gara-gara kamu." Kalau saja dari awal dia mau menerima semuanya dengan tenang pasti aku tidak akan merasakan sakit ini.

"Tapi Erik dahiku bengkak lihat ini?" Tidak mau kalah Nina mengangkat poninya hingga sebuah benjolan kecil terlihat.

"Makanya kalau punya kepala jangan terlalu keras kayak batu." Aku mendesah kesal dengan kelakuan Nina yang selalu menganggap dirinya benar dengan alasan perempuan selalu benar.

"Kamu sih nyerangnya kasar kayak gitu."

"Halah nggak kesentuh juga malah juniorku kena imbas." Perkataanku hanya dibalas dengan cengiran oleh Nina. Jika kalian berpikir bahwa telah terjadi sesuatu di antara kami semalam jawabannya 'iya' tapi hal yang terjadi masih di dalam tanda kutip.

Semalam memang aku minum banyak dan sedikit mabuk, ingat sedikit. Biasanya kalau terpengaruh dengan minuman aku masih bisa mengendalikan diri. Jujur aku sedikit terangsang ketika melihat punggung Nina yang tidak memakai apapun. Hal itu semakin menjadi setelah kami mandi dan memakai pakaian tidur transparan yang dihadiahkan mama.

Aku selalu bisa menahan diri dalam keadaan apapun. Awalnya aku hanya ingin menggoda Nina dengan membawanya ke atas ranjang. Kalau terjadi apa-apa padanya pun bukan masalah toh kami sudah resmi jadi suami istri. Di luar dugaan ternyata tenaga Nina cukup kuat, aku hampir kewalahan ketika dia berontak di bawah tubuhku.

Sialnya aku kehilangan keseimbangan dan wajahku jatuh tepat mengenai dadanya yang tepos. Nina semakin berontak dan lututnya menghantam juniorku, kalian bisa merasakan penderitaan yang kualami tadi malam. Aku melepaskan Nina, tapi gadis itu malah membalasku dengan menabrakkan kening kami dan itu cukup keras hingga meninggalkan bekas di keningnya.

Pagi ini Nina bertindak seolah-olah semalam adalah kesalahanku, bukankah dosa jika seorang istri tidak mau melayani suaminya? Lupakan aku sudah terlanjur kesal dengan kelakuannya semalam dan hari ini aku berjanji untuk tidak bicara dengannya. Apa sikapku kekanak-kanakan? Dia lebih kekanakkan dariku.

Setelah menghabiskan sarapan dan membersihkan kamar, aku memilih untuk bermalas-malasan di depan tv. Aku membuka salah satu channel tv dalam negri yang menyiarkan kartun makhluk kuning yang tinggal di bawah air. Setidaknya sejauh ini hanya tayangan ini yang kulihat berkualitas dan layak ditonton sebagai hiburan di tv.

Seplastik kripik kentang telah tersaji di atas meja siap untuk disantap. Untuk memaksimalkan acara bersantai, aku tidur di atas sofa sambil mengangkat sebelah kaki di atas sandaran sofa. Aku hanya memakai baju kaos tipis dan celana pendek yang agak kebesaran, hal yang selalu kupakai ketika bersantai.

Baru beberapa menit menoton tv, Nina datang sambil membawa laptop. Setelah menaruh laptop di atas meja, gadis itu berdiri di sampingku masih dengan wajah yang tertekuk. "Bisa turun nggak, aku juga mau duduk." Kalimat rengekkan kembali keluar dari mulutnya.

"Kamu senang banget bertengkar sama aku yah, biasanya juga kamu duduk di lantai Nin." Aku menatap Nina tajam, kesal karena dia kembali mencari masalah denganku.

"Kalau aku mau duduk di sofa gimana?" Tetap tidak mau mengalah dia masih setia berdiri di sampingku. "Kamu juga nggak sopan banget sih, kakinya turunin atau kamu sengaja mau pamer junior kamu yah?"

Nina sialan kenapa harus mengungkit soal itu sih. "Nina aku cape bertengkar sama kamu bisa nggak sih beri aku ruang untuk tenang?" Aku mengalah, kuturunkan kakiku tapi tetap tidur di sofa.

"Tsk dasar homo mesum." Nina duduk di samping sofa membelakangiku.

Tak lama kemudian kami berdua sibuk dengan urusan masing-masing, aku dengan acara tv dan Nina dengan naskah novelnya. "Huh." Aku sengaja tidak memperdulikan Nina yang menghela napasnya kasar. Tangannya berhenti mengetik dan wajahnya seperti tengah berpikir keras.

"Rik bantuin aku nggak boleh nolak loh, ini bagian dari kontrak." Nina berbalik menatapku sambil memajukan bibirnya.

"Bantu apa?" Aku mengalihkan fokusku ke Nina.

"Cium aku." Nina mengedipkan sebelah mata lalu menjilat sudut bibirnya, terlihat seolah dia ingin menggodaku.

"Hah maksudnya?"

"Aku buntu ide nggak bisa nulis adegan ciuman yang bagus. Misi pertama kamu adalah cium bibirku perlahan biar aku bisa menulis adegannya." Perutku seolah tergelitik mendengar permintaan Nina, tapi mau tidak mau aku harus tetap melakukannya.

"Pffttt emang kamu nggak pernah ciuman?" Aku menaikkan sebelah alis menatapnya dengan pandangan meremehkan.

"Baru dua kali itupun cuma nempelin bibir sama kamu, gimana kamu bisa nulis adegannya dengan baik?" Nina menggeser duduknya mendekat ke wajahku.

"Baiklah coba kamu cium bibirku." Aku menyeringai sambil mengelus bibir bawahku, sebuah kebiasaan yang aku lakukan ketika sedang tertarik dengan sesuatu.

"Eh aku?" Wajah Nina mulai memerah membuatku bersorak kegirangan dalam hati. Aku sangat suka melihat Nina gugup seperti ini. Aku mengangguk mengiyakan lalu menutup mata menunggu Nina mendaratkan bibirnya padaku.

"Ugh bentar aku siap mental dulu." Aku dapat mendengar Nina menghembuskan napas kasar beberapa kali.

Glek

Astaga apa dia segugup itu sampai aku dapat mendengar dia menelan salivanya, benar-benar gadis yang polos. Aku sedikit tersentak ketika merasakan sesuatu yang basah dan lembut mengenai bibirku. Kalau boleh jujur, aku mulai suka dengan bibir Nina dan aroma jeruk yang menguar dari tubuhnya.

Tidak bertahan lama Nina langsung menarik wajahnya. Aku membuka mata dan melihat wajahnya yang sudah semerah kepiting rebus. "Be ... begitu?" Dia menggigit bibir bawahnya, aku menggeleng.

"Bukan kamu harus nempelinnya lebih lama lagi, ulang gih." Aku kembali menutup mataku, hei bukankah perjanjian ini sangat menguntungkanku?

"Cups se ... seperti ini?" Nina kembali menempelkan bibir kami lebih lama dari yang tadi. Tanpa menarik wajahnya dia bertanya padaku hingga aku dapat merasakan gerakkan bibirnya di bibirku dan itu membuat rasa geli di perutku semakin menjadi. "Hn." Nina kembali menjauhkan wajahnya.

"Ciuman yang sebenarnya itu seperti ini." Sebelah tanganku menyusup ke dalam rambutnya lalu menarik kepala Nina pelan, membawa gadis itu ke dalam ciuman lembut.

"Mmhhh Erhhh." Nina terdiam kaku ditempatnya, aku dapat melihat matanya terbuka lebar seolah terkejut dengan reaksi yang kuberikan.

Aku menyeringai lalu mulai melumat bibir bawahnya pelan, tidak lama kemudian Nina menutup matanya dan membalas lumatanku. Tidak mau kalah aku balas melumat bibirnya.

"Mmcc mmhhh." Kini hanya suara desahan halus yang terdengar di ruangan ini. Aku melepaskan tautan bibir kami ketika tangan Nina memukul bahuku, tampaknya dia sudah sampai pada batasnya.

Benang saliva tercipta di antara kami, sedang Nina tampak terengah-engah sambil menatapku. "Jadi ciuman yang sebenarnya seperti itu." Aku menyeringai puas, kenapa hanya di saat-saat seperti ini saja Nina terlihat manis.

"Umh nanti aku minta lagi." Astaga urat malu gadis ini sepertinya sudah putus.

"Serius?" Nina tidak mengatakan apa-apa hanya menggeser duduknya kembali ke tempat semula.

"Jangan ganggu, aku mau nulis lagi." Nina kembali sibuk dengan laptopnya. Iseng aku bangun lalu berbisik pelan di telinganya.

"Kalau kamu mau yang lebih juga aku siap kok."

"Dasar homo mesum."

* * *

Tring

Satu pesan diterima

"Erik maaf aku pergi waktu itu, aku tahu pernikahan kita penting tapi aku tidak bisa mengorbankan impianku begitu saja. Gimana kabar kamu di sana, beberapa hari lagi aku bakal pulang ke sana. Kamu masih nunggu aku kan? Kita mulai semuanya dari awal lagi yah"

Aku menatap layar ponsel yang menampilkan pesan itu dengan wajah datar, dia orang yang membuat aku trauma dengan suatu hubungan. Kini kembali setelah menghilang selama tiga tahun. Dari isi pesannya terlihat seperti dia tidak merasa bersalah sedikitpun. Hah setelah melakukan kesalahan yang besar dia kembali.

Ragu, aku sebenarnya telah berjanji pada diriku agar tidak mendekatinya lagi, butuh waktu lama untuk melupakan sosok itu. Setelah berpikir lama aku akhirnya membalas pesannya.

"Hn hari minggu di tempat biasa"

* * *