Chereads / My Roommate is Homo / Chapter 3 - Chap 3 Nina Pov

Chapter 3 - Chap 3 Nina Pov

"A ... aku." Aku terpaku melihat seorang wanita yang berdiri di hadapanku. Dilihat dari penampilannya yang tampak glamor, sepertinya dia adalah seseorang yang berasal dari kalangan berada. Kalau melihat wajahnya, aku menafsirkan bahwa umurnya jauh lebih tua dariku sekitar sepuluh tahun mungkin. Tatapan matanya yang intens dan tegas membuat nyaliku menciut seketika, aku tidak tahu harus berkata apa padanya.

Jantungku berpacu semakin kencang ketika merasakan tangan Erik meremas bahuku pelan, seolah mengingatkan padaku untuk berhati-hati pada apa yang akan aku ucapkan. "Kamu siapa?" Wanita itu mengeluarkan suaranya lagi membuat nyaliku semakin menciut. Akhirnya aku memilih untuk diam dan menunduk.

"Mah biar aku jelasin yah masuk dulu, kenapa mama bisa sampai di sini?" Aku berbalik dengan wajah terkejut ketika mendengar perkataan Erik. Dia hanya tersenyum kecut lalu menarik bahuku pelan hingga tubuhku sedikit menyingkir, memberi jalan pada mamanya.

"Oke." Wanita yang dipanggil mama oleh Erik berjalan dengan elegan memasuki apartemenku, disusul dengan Andre yang mengekori dari belakang layaknya anak ayam dengan sang induk. Andre sempat berbalik lalu menyunggingkan senyum penuh sesalnya yang membuat Erik mengepalkan tangan ingin memukul wajahnya.

Aku dan Erik mengikuti mereka dari belakang dalam diam. "Rik serius dia mama kamu? Aku pikir kakak soalnya masih muda banget keliatannya." Aku berbisik sambil mencubit perut Erik pelan agar dia melepaskan tangannya dari bahuku.

"Biasalah Nina perawatan, nggak kayak kamu yang masih muda tapi kelihatan kayak pengemis karena kurang perawatan." Erik meringis sambil memegang perutnya. "Tolong Nina mamaku itu macan betina yang banyak drama kayak sinetron alay, jadi apapun yang dia bilang kamu ikutin aja, nanti aku yang bakal jelasin sama dia soal keadaan kita." Erik berbisik padaku berharap aku bisa mengerti dengan apa yang sedang kami hadapi sekarang.

"Gila ya mama sendiri dibilang macan, okey btw mama kamu tau nggak kalau kamu homo?" Aku menyeringai niatku ingin menggoda si homo ini.

"Dia nggak tahu, ahh pokoknya kamu diam saja biar aku yang jelasin sama mama."

Kini kami berempat sudah berada di ruang tamu, dengan posisi Andre duduk di sebelah mama Erik dan aku yang duduk bersama Erik saling berhadapan. "Jadi gini mah, mama kan ngeblokir kartu atm aku makanya aku pindah ke sini sementara, tinggal sama Nina biar ... mama kenapa nangis?"

"Hiks hiks mama senang akhirnya kamu punya pacar cantik dan manis lagi kayak gini." Kami bertiga yang ada di ruangan itu langsung melongo melihat aksi lebay mama Erik yang sangat berbeda dari sikap dinginnya tadi. "Mama kira kamu beneran homo Rik karena sering main sama Andre ternyata kamu masih normal." Dan entah kenapa sekarang mama Erik sudah memegang saputangan untuk mengelap air mata harunya.

"Loh kok saya tante, saya kan normal liat nih ini foto pacar saya loh udah pacaran selama 2 tahun tante." Tidak mau kalah Andre menunjukkan foto pacarnya yang ada di ponsel.

"Iya tante tau, jadi sejak kapan kalian menjalin hubungan? Kenapa kamu nggak bilang sama mama Rik?" Aku terdiam menatap horor mama Erik yang mengambil kesimpulan tanpa mendengar penjelasan terlebih dahulu.

"Tante sebenarnya ..." Aku akhirnya bersuara berusaha menjelaskan yang sebenarnya pada mamanya Erik tapi perkataanku malah dipotong lagi oleh wanita itu.

"Panggil saja tante Maya." Sejenak aku terpaku melihat senyumannya ahh kenapa dia bisa secantik ini di usia yang sudah tidak muda lagi.

"Jadi gini tante sebenarnya aww!!" Aku terkejut ketika tangan Erik merangkul pundakku lalu menarik tubuhku ke pelukannya.

"Udah lama kok mah, cuma aku males cerita soalnya Nina belum siap untuk menikah, kan mama maksa aku untuk nikah." Erik tersenyum pada tante Maya menghindari tatapan tajam yang kulemparkan padanya.

"Kalian sudah tidak muda lagi loh harus cepat-cepat biar bisa nimang anak, mama jadi lega dengernya, mama pulang dulu ya Rik nanti mama datang lagi." Kami tersenyum mengiyakan. Setelah itu Andre mengantarkan tante Maya pulang dengan mobil. Aku dan Erik menghela napas bersamaan setelah tante Maya keluar dari apartemen.

"Rik kamu gila, masa bilang kalau kita pacaran? Kalau homo mah jangan bawa-bawa aku."

"Yaelah Nin kamu cewe dan aku cowo kita nggak bisa homoan lah."

"Astaga kenapa nggak bilang yang sebenarnya aja sih, kamu numpang di tempatku."

"Nggak bisa secepat itu Nin, kamu tau kan apa yang ada dipikiran mama kalau dia tahu kita tinggal bersama tanpa ada hubungan apa-apa. Kamu yang paling dirugiin di sini, coba bayangin dia bakal mikir kamu cewe macam apa?"

"Benar juga." Aku mengangguk, aku dapat menangkap ekspresi lega terpancar di wajah Erik. "Tapi Rik mama kamu tau kalau kamu homo?" Erik terdiam sebentar lalu tersenyum.

"Nah jangan sampe mamaku tahu kalau anak cowo satu-satunya yang tampan dan rupawan ini adalah seorang homo. Makanya aku butuh kamu biar mama nggak curiga, kamu mau kan bantuin aku?" Aku terkejut melihat wajah Erik yang mendadak berubah menjadi menyeramkan seperti penjahat yang sedang menyusun suatu rencana jahat.

"Jijik Rik, kalau sampai nanti terjadi sesuatu kamu yang harus tanggung jawab."

"Okey janji."

* * *

Hari ini aku bertemu dengan Andre untuk membahas karya baru yang akan kutulis. Sebenarnya sudah kutulis sampai setengah bagian, tapi dalam pembahasan kali ini Andre merombak habis-habisan draf yang kutulis, karena menurutnya kisah romantis yang kutulis terkesan hambar dan kurang menjiwai hingga tidak dapat membuat pembaca tertarik.

Jujur saja aku kecewa karena baru kali ini mencoba untuk lebih berani melangkah ke depan. Selama ini aku hanya menuliskan kisah pertemanan ringan yang diisi oleh sedikit bumbu romance dan baru kali ini aku mencoba untuk menulis cerita tentang percintaan yang kental. Apa ini karena aku belum pernah merasakannya sendiri? Ahh aku harus mencari cara agar novelku dapat diterima.

Cinta, cinta, dan cinta hanya itulah yang ada di pikiranku sepanjang hari ini. Betul juga kata Andre, bagaimana bisa aku menuliskan sesuatu jika aku belum pernah merasakannya? Meski aku dan Andre cukup dekat tapi dia selalu profesional dalam melakukan pekerjaannya. Dia tidak akan segan untuk memarahi atau mengkritik pedas naskahku kalau salah.

Aku tidak pernah menyalahkan dia, justru kenapa naskahku bisa disukai oleh banyak orang adalah karena dia yang menjadi editornya. Aku sungguh beruntung bisa bekerja dengan orang seperti dia. Karena mendapat banyak kritik pedas hari ini aku kehilangan semangat. Setelah Andre meninggalkan apartemen, aku menjadi uring-uringan dan hanya duduk termenung di sofa.

"Mhhh." Aku memilih untuk berbaring di sofa agar perasaan sedihku sedikit berkurang. Tanpa sadar aku malah tertidur dan baru terbangun ketika merasakan sesuatu yang dingin menyentuh wajahku. "Umhh hujan hujan." Aku berusaha membuka mata yang terasa berat dan sesuatu yang dingin itu semakin banyak mengenai wajahku.

"Hah hah hujan."

"Hujan apaan di luar lagi panas oey hahaha."

Ingin rasanya tanganku mendarat ke wajah tampan Erik ketika kulihat dia tengah tertawa sambil memegang sebuah gelas berisi air, pelakunya pasti Erik.

"Brengsek Rik, mentang-mentang dari luar seenaknya aja nyirem wajah imut ini." Aku membersihkan air yang memenuhi wajahku seperti keringat.

"Lah baru pulang dimarahin ngajak berantem?"

Aku memutar bola mata bosan karena Erik malah bercanda di saat aku tengah marah kepadanya. Erik duduk disampingku sambil melonggarkan dasinya, aku dapat menangkap raut kelelahan dari wajahnya, sepertinya pekerjaannya sangat sulit. "Apa kerjaan kamu nggak lancar?" Aku mencoba bertanya padanya.

"Lancar kok aku bisa ngatasin semuanya."

"Trus kenapa kusut gitu?" Aku bersandar berusaha mencari posisi enak untuk merilekskan punggung.

"Huh Nina aku cape." Aku terkejut ketika tanpa ijin kepala Erik telah bersandar di bahuku. Ingat Nina dia homo nggak mungkin dia berbuat hal yang enggak-enggak sama kamu.

"Hem cape kenapa?" Mencoba bersikap biasa aku mengangkat tangan dan membelai rambut Erik yang lebat. Harum mint mulai menguar dari sana, aroma khas Erik.

"Mama mulai neror lagi dan aku cape." Sepertinya Erik terbawa suasana karena aku melembut padanya.

"Ohh kupikir kamu sedang putus asa karena nggak bisa nemuin cowo sebagai pasangan." Aku terus membelai rambut Erik dengan santai tidak memperdulikan reaksi pria itu.

"Setan kamu Nina nggak bisa ngerti suasana sedikit. Aku lagi kesusahan dan kamu malah ngajak berantem." Erik menjauhkan kepalanya dari pundakku.

"Hahaha kamu juga kenapa bangunin aku, tadi kan aku lagi tidur Erik." Aku tertawa melihat wajah Erik yang ditekuk seperti anak yang tidak dibelikan permen oleh mamanya.

"Udahlah Nina aku mau ngomong serius sama kamu. Aku butuh bantuanmu." Aku terpaku melihat wajah Erik yang berubah menjadi serius.

"Bantu apa?"

Erik tampak gugup dia menarik napasnya dalam lalu mengatakan tujuannya. Sejenak telingaku seperti tidak bisa mendengar suaranya.

"Kamu bilang apa Rik?"

"Hem kamu mau nikah sama aku?"

Plak

"Gila ya!"

* * *