Berada di usia yang cukup matang, punya pekerjaan yang menjamin masa depan, punya penampilan yang oke, punya wajah di atas rata-rata, dan jangan lupakan bentuk tubuh yang cukup sexi karena aku rajin berolahraga. Hal ini membuatku menjadi incaran para wanita seusia dan seprofesiku. Mungkin kalian menganggap aku terlalu percaya diri tapi begitulah kenyataannya.
Satu hal yang tidak kupunya adalah seorang pasangan. Iya, aku seorang Erik Setiawan tidak mempunyai pasangan di usia yang sudah memasuki kepala tiga ini. Aku juga tidak pernah melirik makhluk yang bernama wanita. Menurutku mereka sangat berisik dan hanya menggangu ketenanganku. Aku bahkan sudah memutuskan untuk tidak menikah dan akan pensiun dini, lalu menghabiskan masa tuaku dengan tabungan yang kusimpan.
Sebentar, kalian pasti bingung kenapa aku yang mengaku telah mapan ini malah memilih untuk menyewa kamar? Apalagi jika pemiliknya adalah seorang gadis penulis yang kelihatannya jorok. Alasannya karena aku tengah melarikan diri dari mama. Di usia yang seperti ini aku malah dipaksa untuk menikah. Mama khawatir jika aku ternyata mengidap kelainan seksual yakni menyukai sesama laki-laki.
Hell yeah andai dia tahu kalau aku ini seratus persen normal. Erik junior masih berdiri tegak ketika melihat film-film dewasa. Untung saja ada sahabatku Andre yang merekomendasikan untuk tinggal dengan penulisnya. Awalnya aku menolak karena penulisnya itu ternyata adalah seorang perempuan dan sangat jorok, aku mencintai kebersihan.
Namun setelah aku tahu kartu kreditku diblokir mama, aku langsung menerima tawaran itu. Setidaknya aku tidak perlu mengeluarkan banyak biaya dan masih bisa bertahan dengan uang yang tersisa sampai mendapat gaji bulan ini. Dan lagi, setelah dipikir-pikir tinggal dengan gadis ini dengan memakai alasan bahwa aku seorang homo ada baiknya juga.
Jika pria dan wanita tinggal bersama tentu saja risiko untuk jatuh cinta akan semakin besar. Kalau dia berpikir bahwa aku adalah seorang homo, dia tidak akan pernah mengganggu ataupun jatuh cinta denganku. Ahh sungguh posisi yang sangat sempurna. Soal pekerjaan, aku adalah seorang pengacara muda dan banyak yang memakai jasaku karena kinerjaku yang sangat memuaskan.
Oke cukup dengan pengenalan singkat soal diriku yang pasti hanya akan membuat kalian semakin kagum dengan sosokku. Mari kita kembali ke kamar ini, aku sedikit emosi karena orientasi seksualku malah dijadikan bahan untuk mengolokku. Apa dia tidak tahu bahwa dia sedang membangunkan singa yang tengah tertidur?
"Kau akan menyesal nona mesum." Aku tersenyum memperlihatkan senyuman terbaik yang biasanya akan membuat beberapa wanita pingsan dalam sekali lihat. Lihat itu, wajahnya mulai memerah, sedikit lagi dia akan jatuh ke dalam pesonaku.
"Err selamat menikmati kamar barunya semoga kau suka." Jangankan pingsan dia malah tersenyum lalu berlari meninggalkanku di sana dalam hitungan detik.
"Huh dasar." Aku menggelengkan kepala lalu kembali mengemasi barang bawaanku. Sepertinya menggoda gadis itu akan menjadi sebuah kebiasaan rutin bagiku, asal dia tidak berisik. Setelah membereskan barang bawaan dan memeriksa beberapa dokumen pekerjaan, aku keluar kamar melihat isi apartemen.
Ukurannya tidak terlalu besar dan mewah, tapi cukup luas untuk ditinggali dua orang. Posisinya juga berada di lantai delapan jadi aku bisa menikmati pemandangan dari balkon. Memilih untuk menikmati angin segar, aku keluar ke balkon sambil membawa sekaleng bir. Pemandangan di sini indah dan tenang, sangat cocok untuk seorang penulis yang membutuhkan ketenangan.
Klek
Aku menyesap isi kaleng pelan sambil menikmati angin yang berhembus, sangat nyaman berada di sini. Jika berada di rumah, aku selalu pusing dengan ocehan mama yang terus memaksa untuk menikah, bahkan mama pernah menangis ala sinetron yang selalu ditontonnya agar aku dapat menuruti keinginannya. Ayah sendiri menyerahkan semua keputusan pada mama.
"Hei!!" Aku mengernyit ketika merasakan sesuatu yang lembut dan tipis menutupi sebagian wajahku. "Apa ini?" Aku menarik benda itu lalu melihatnya, ternyata itu adalah sebuah pakaian dalam wanita.
"Jangan berdiri di sana, pakaian dalamku sering terbang karena tidak dijepit." Aku mengernyit melihat celana dalam yang kini berpindah ke tangan Nina.
"Pfftt kamu umur berapa sih, masih pake celana dalam berenda kayak gitu?" Tersenyum mengejek aku kembali menyesap bir di tanganku.
"Tsk jujur sekali. Apa kamu tidak bisa berpura-pura tidak melihatnya?" Samar-samar aku dapat melihat semburat merah muncul di wajah Nina, bisa malu juga gadis ini. Sadar Erik perempuan mana yang tidak malu jika pakaian dalamnya jatuh ke wajah pria yang baru dikenalnya.
"Tidak usah malu, kalau kita tinggal bersama pasti pakaian dalam kita akan sering kelihatan," ujarku santai lalu kembali masuk ke dalam, menuju ruang tengah lalu duduk di sofa.
"Uhh dasar homo-hentai."
What! Barusan dia bilang apa? Hentai? Bukankah itu bahasa jepang untuk menyebutkan orang-orang mesum. Tsk aku bukanlah pria mesum, meski orang bilang semua pria pasti mesum. Memangnya salahku hingga celana dalam itu bisa mengenai wajah tampanku?
Aku masih duduk di sana, memperhatikan Nina yang tengah mengambil pakaian yang ada di balkon dan membawanya ke kamar. Aku mengikutinya dari belakang hingga sampai ke kamar. Berdiri di sisi pintu sambil melipat tangan, aku memperhatikan isi kamar Nina yang penuh dengan tempelan dan figur tokoh anime.
"Anime, kamu wibu ya?" Otakku yang jenius langsung menangkap dengan cepat.
"Bukan wibu, aku hanya suka anime lumayan buat inspirasi tulisanku." Aku menganguk paham. "Jadi begitu cara kamu mencari ide tanpa harus keluar dari rumah." Masih bersandar di pintu kamar Nina, aku melihat gadis itu mulai melipat pakaian yang tadi dibawanya.
"Tidak juga, kadang kalau aku penasaran bagaimana cara anak muda jaman sekarang berpacaran, aku akan menyamar lalu mengikuti mereka secara diam-diam dari belakang." Nina tersenyum bangga seolah dia baru saja melakukan satu pekerjaan besar.
"Hm memangnya kamu tidak pernah punya kehidupan asmara?"
"Tidak pernah, dari dulu aku hanya menjalin hubungan pertemanan dengan laki-laki, selebihnya tidak ada yang mau berpacaran dengan gadis sepertiku." Nina terkekeh seolah-olah ini adalah pertanyaan yang biasa ditanyakan orang padanya. "Aku lebih tua darimu, bisakah kau sedikit sopan padaku?" Aku mengangkat sebelah alis.
"Tapi aku nyaman seperti ini."
"Pantas saja tidak ada yang mau menikahi gadis tua sepertimu. Semoga saja kamu tidak menjadi perawan tua." Aku tertawa lalu berjalan meninggalkan Nina yang berteriak memakiku dari jauh.
"Erik Setan!" Aneh ya kami bisa langsung akrab padahal baru saja bertemu.
* * *
"Erik kamu dimana? Jangan coba-coba kabur dari mama ya, mama pasti bakal nemuin kamu dimanapun kamu sembunyi ingat itu!"
Aku mendengus kesal melihat pesan yang tertera di layar ponsel. Kalau mama sudah berkata seperti ini pasti dia tidak akan main-main dengan ucapannya. Selama ini aku curiga apa mama memasang sebuah alat penyadap pada ponselku? Dia selalu bisa menemukan kemanapun aku pergi.
"Kamu kenapa kok mukanya kusut gitu?" Andre datang lalu memukul bahuku pelan. Saat ini sedang jam makan siang dan aku memilih untuk makan bersama Andre di restoran dekat kantor. Restoran itu juga dekat dengan kantor Andre. Kami sudah bersahabat sejak kecil dan karena alasan itulah dia membantu mencarikan rumah untukku kabur.
Andre juga kenal baik dengan orang tuaku, aku khawatir kalau mama memaksanya untuk memberitahukan alamat tempatku tinggal sekarang. "Apa Nina malas-malasan lagi jadi apartemen kalian keliatan kayak tempat pembuangan sampah?" Andre tersenyum mengejek.
Alasan dia menyuruhku tinggal dengan penulisnya adalah agar aku bisa sedikit mengubah kelakuan jorok Nina. Aku pria yang tegas dan sangat mencintai kebersihan, pertukaran yang setara kan. "Bukan kok kalau soal Nina mah gampang bro, dia mudah diatur kayak anjing cihuahua." Aku memberikan ponselku pada Andre agar dia melihat pesan yang dikirimkan oleh mama.
"Astaga tente Maya." Andre terlihat kaget ketika melihat pesan dari mama. "Plis kalau mama nanya, tolong jangan kasih tahu tempat tinggalku sekarang yah. Aku tidak ingin menikah Andre." Aku mengacak rambut frustasi. Mama kenapa kau tidak bisa membiarkan anakmu ini bernapas lega meski sejenak saja?
"Aku tidak bisa janji Rik, Aku tidak bisa menolak permintaan tante Maya."
* * *
Tinggal dengan Nina selama beberapa minggu membuatku paham betul dengan sifat dan kelakuan penulis muda itu setiap hari. Sekarang aku bahkan sudah seperti mamanya yang mengurus semua yang dilakukannya setiap hari. Beruntung karena Nina pandai memasak hingga aku tidak terlalu capek jika harus mengurus apartemen ini, tapi selebihnya aku masih betah berada di sini.
Hari ini hari minggu, setelah melakukan pembersihan rutin dan menghabiskan sarapan. Aku dan Nina duduk di ruang tengah untuk beristirahat sambil melakukan kegiatan kami masing-masing. Aku membaca buku sambil tiduran di sofa, sedangkan Nina tengah duduk di lantai sambil mengetik novel di laptop.
Semuanya terasa sangat menenangkan hingga terdengar bunyi bel dari depan apartemen. Nina bangun untuk melihat siapa tamu yang datang pagi-pagi seperti ini.
"Anda siapa?"
"Seharusnya saya yang bertanya kenapa anda bisa berada di sini? Apa anakku tinggal dengan seorang perempuan?" Suara ini ... suara mama.
"Shit." Dia sudah menemukan tempatku tinggal. Kenapa bisa secepat ini? Aku bangun dari sofa lalu berjalan ke arah pintu depan dan tersenyum kaku di belakang Nina.
"A ... aku." Nina tampak gugup, aku memegang bahunya lalu meremasnya pelan. Dari belakang mamaku Andre muncul dengan memasang senyum tidak bersalah. Huh sepertinya akan terjadi perang dunia ketiga sebentar lagi.
* * *