Salahkah jika aku mencintai nya? Dia lelaki yang baik, selalu perhatian padaku, mengingatkan aku pada kebenaran, dia panutanku. Tapi, saat tahu dia sudah memiliki keluarga, jiwaku seakan ditarik paksa dalam diri. Ini terlalu menyakitkan. Sangat!
Dulu, aku sempat menyerah pada ego dan mataku dibuka dengan lebar. Namun, seiring berjalan nya waktu. Egoku menutup mataku menjadi buta. Maaf, jika hati ini ingin merebut bahkan memiliki lelaki milik orang lain.
---
Aku langsung membuka e-mail saat mendengar ada notifikasi masuk. Ternyata itu e-mail dari penerbit yang menerima kiriman naskahku untuk pengajuan agar bisa terbit cetak.
Aku membaca pesan itu teliti, menahan perasaan berdebar dan takut pada diriku.
'Kami mengucapkan terima kasih kepada saudari karena telah mempercayakan naskah saudari untuk terbit di penerbit kami. Namun, kadang sebagian orang tidak akan berpendapat sama. Maka, dengan berat hati kami tidak bisa menerbitkan naskah saudari untuk terbit di penerbit kami. ....'
Cih, apa-apaan! Kenapa tak langsung bilang ditolak, dan malah bertele-tele begitu. 17 detik ku yang berharga jadi terbuang. Aku langsung matikan layar ponsel lalu memasukkannya ke dalam tasku.
"Lu kenapa?" tanya temanku yang duduk di hadapanku yang sebelumnya fokus pada ponselnya.
Aku menghela napas berat, lalu berucap, "Naskah gue ditolak lagi."
"Lu bisa coba lagi lain waktu," ujarnya lalu kembali fokus ke ponselnya.
"Entahlah, tapi gue merasa ragu."
"Baru gitu aja udah nyerah," celanya yang membuatku menjadi sedikit kesal mendengarnya.
"Gue nggak nyerah, bukan gitu maksudnya."
"Seharusnya, sebelum lu ajuin naskah, beli follower dulu," usulnya.
"Maksud?"
"Untuk promosi," jelasnya santai. "Percuma kan novel terbit tapi gak ada yang beli."
"Gue bisa promosi di real, tak perlu sosmed."
"Yakin? Teman dekat aja gak ada, gimana bisa novel lu laku!" Lagi, dia mencelaku dengan tidak berperasaan.
Kadang ya, kata-katanya itu langsung menusuk ke ulu hati. Tajam, pedas, dan perih. Dia sebenarnya temanku atau bukan sih?
"Aish, kenapa ngomong gitu? Gue gak seburuk yang lu kira."
Menyebalkan!
"Gue nggak bilang hal buruk tentang lu. Semua yang gue katakan itu fakta."
"Aish udahlah, lupakan."
Jika pembicaraan ini berlanjut, mungkin aku akan semakin terpojok. Lihat! dia hanya mengangkat bahu seolah tak peduli dan tak merasa bersalah sedikit pun.
"Ooh, iya." Aku teringat sesuatu. Kiana harus tahu tentang ini. "Na, lu masih sering chatingan sama Bobby?"
Dia mengalihkan pandangannya padaku sejenak. "Nggak juga, kenapa gitu?"
Pagi ini kami sedang makan di kantin kampus, sambil menunggu jam masuk kuliah. Oh, iya, perkenalkan aku Anisa Mel dan temanku Kiana Febriani. Meski berbeda fakultas, tapi kami masih berteman dekat sampai sekarang karena sudah dekat sejak SMA.
"Gue denger tuh cowok dah putus dari ceweknya."
Bobby itu cowok dari Fakultas Ekonomi. Dia lumayan populer gara-gara dia ketua HIMA Prodi Ekonomi. Sebenarnya sih ganteng juga tidak. Hanya saja entah kenapa Kiana mendekatinya.
"Ooh," respon Kiana tak peduli.
"Bagus dong, lu bisa pacaran sama Bobby."
"Ngapain? Mending gue pacarin om-om kaya," sanggah Kiana tak terima.
Akhirnya, setelah sekian lama ia menyimpan ponselnya juga.
"Dih!" Aku langsung merasa jijik dengan ucapan Kiana.
"Dia kagak tajir, males gue sama dia."
Hah? Karena itu? Serius?
"Lah, terus ngapain lu chat dia duluan?"
"Gue kira dia tajir, nyatanya dia nggak punya apa-apa."
"Kualat lu, Na."
"Bodo."
Aku tak habis pikir dengan pemikiran Kiana, gadis itu hanya mau mendekati lelaki tajir agar ia bisa memeras uang mereka sampai habis.
"Hai, gaes," sapa seseorang dan langsung duduk di samping kami. Dia Mia Amalia, teman dekatku juga di SMA.
"Ngapain lu di sini, Lonte?" Aku bertanya sarkas padanya dengan wajah sinis.
"Sakit hati ade, kak."
Mia langsung memasang wajah pura-pura tersakiti sambil memegang dadanya.
"Apaan sih?"
Kiana tertawa mengejek adegan drama yang Mia lakukan. Mia lalu duduk di sebelahku.
"Na, lu tahu nggak, si Bobby dah putus sama si Angel," ujar Mia memberitahu.
"Apasih pada ngelapor ke gue?" jengah Kiana merasa risih.
"Lah, bukannya lu suka sama dia," simpul Mia.
"Kata siapa?" tanya Kiana menantang.
"Terus ngapain lu ganggu mereka kalau nggak suka?"
"Gue cuman bosen, salah?"
"Dapet karma lu, Na."
"Kayak kalian bener aja!"
Sepertinya Kiana tak terima dengan omongan kami berdua, segitunya.
"Gue kan cewek baik-baik," ucap Mia dengan wajah sok polosnya.
"Baik-baik apanya? Tiap hari lu jual diri mulu." Aku mengejeknya begitu karena gaya pacarannya yang terlalu vulgar menurutku.
"Anjir, nggak gitu juga."
"Lu juga sama, suka kok ke suami orang," timpal Kiana menghina balik padaku
"Shit!"
Aku kesal dengan omongan Kiana, memang benar sih aku menyukai salah satu Dosen dari Prodi Sastra yang sialnya sudah beristri.
"Eh, eh, liat, ada cogan di Stand Kebab," tunjuk Mia ke suatu arah dengan telunjuknya.
Aku dan Kiana langsung menoleh karena Stand Kebab ada di samping mereka.
"Mana?" Aku langsung mencari orang yang dimaksud Mia.
"Itu yang pake kemeja Dongker."
"Wih, bener, mata lu tajem juga." Mia benar, dia ganteng. Hehe.
"Woh, iya dong."
Mia terlihat bangga dipuji begitu oleh ku, padahal aku sedang menyindirnya sih.
"Dia MaBa kayaknya," simpul Mia.
"Tahu dari mana?" tanya Kiana heran.
"Dari gerak-geriknya," jelas Mia.
"Hhm ... bisa jadi." Aku mengangguk membenarkan.
"Eh, Ta, mending lu lupain Dosen Sastra lu," saran Mia.
"Kenapa?"
"Dia dah punya istri, bentar lagi mungkin bakal punya anak, mending lu deketin tuh cowok aja."
Aku merasa bingung dengannya, pasalnya Mia selalu maju paling depan jika urusannya dengan cogan.
"Tumben lu malah nyuruh gue? Biasanya lu yang embat."
"Gue belum bosen sama si Raka, kalau gue dah bosen, baru deketin tuh cowok."
"Anjir, sama aja gue harus berjuang terus gak lama ngorbanin dia ke lu."
"Nah, lu akhirnya ngerti."
"Kampret lu, jadi temen."
Aku langsung memukul kepala Mia keras, kesal dengan sikapnya yang menyebalkan. Mia malah menyengir.
"Eh, Na, buat lu aja," usulku padanya.
"Ogah, dia kagak tajir keliatannya," tolaknya.
"Matre, lu!"
Kiana hanya mengangkat bahu tak peduli. "Udah ah, gue masuk kelas dulu. Si Kei udah nyari gue."
Kiana langsung beranjak pergi menuju kelasnya, meninggalkan Nisa yang menatapnya biasa dan Mia yang menatapnya bingung.
"Bukannya si Kei teman kelasnya itu udah punya pacar," heran Mia.
"The Power of Jomblo."
"Apa hubungannya?"
"Jomblo itu bebas, you know?"
Ya bebas, Kiana bebas mendekati pacar orang, Mia bebas memacari lelaki manapun, tapi apakah sebebas yang aku katakan? Apa aku juga bebas mencintai suami orang?