Siang nya, aku dan Mia pergi ke kantin untuk makan siang. Aku masih belum melihat Kiana, bahkan pesanku saja tak dibalas, apalagi teleponku.
Kami berdua duduk di kursi paling pojok kantin. Aku memesan nasi goreng dan air mineral, sedangkan Mia hanya memesan nasi goreng dan es jeruk. Dia bilang, dia sedang diet.
"Kiana mana ya? Kok gak keliatan," gumam Mia melihat ke sana-ke mari sambil memakan kentang goreng.
"Mungkin masih di kelas," simpulku.
"Hehem ...." Dia hanya mengangguk-angguk.
Aku beralih pada ponselku yang sejak tadi berdering entah notifikasi dari siapa. Aku putuskan membuka pesan itu karena penasaran. Tak ada nomornya di kontakku omong-omong.
Saat aku melihat isi pesan itu, ternyata dari orang yang tidak penting. Entah dari mana dia tahu nomorku.
Aku menyimpan ponselku kembali di dalam tas. Lalu kembali menyantap nasi goreng pesanan ku. Tak sengaja pandanganku melihat seseorang yang berdiri di belakang Mia dengan tatapan yang tak bisa aku mengerti.
"Raka?" gumamku heran.
"Ngapain lu nyebut nama dia?" Mia melihat aku dengan raut wajah kesal.
Aku menunjuk ke arah belakang Mia dengan dagu yang kuangkat. Sebelum Mia menoleh sepenuhnya, suara seseorang terdengar lebih dulu.
"Mia," serunya.
"Kau? Sedang apa di sini?" tanya Mia lalu beranjak berdiri.
"Mi, aku bisa jelaskan," ujarnya.
"Jelaskan apa lagi?" Mia menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Sudah kubilang, dia itu hanya teman belajarku," ucap Raka mencoba menjelaskan.
"Dengar ya, aku tidak peduli dia itu teman belajarmu atau siapapun. Aku hanya tahu, kalau kau pergi berdua dengannya ke bioskop. Jadi, sekarang lebih baik kau pergi!" sarkasnya sama sekali tidak peduli dengan penjelasan Raka, atau mantan pacarnya itu.
"Tapi, Mi--" Raka memasang wajah memelas pada Mia. Dia seolah tidak rela ditinggal Mia.
Tunggu! Bukankah Mia bilang Raka memutuskan hubungan dengannya? Lalu kenapa sekarang laki-laki itu malah mengemis pada Mia? Apa jangan-jangan ....
"Kalau begitu aku yang pergi," ujarnya sembari beranjak meninggalkan Raka dan aku yang masih duduk di kursi. Juga kentang goreng pesanannya yang masih tersisa.
Sekarang aku tahu, Mia mendramatisir keadaan lagi. Aku cepat-cepat menghabiskan nasi gorengku lalu meminum air putih dengan terburu-buru, dan segera menyusulnya yang sudah sedikit jauh, meninggalkan Raka yang terus menatap kepergian Mia. Aku akan memberinya pelajaran.
"Kayaknya lu bukan diputusin Raka," ujarku geram setelah tepat berdiri di sampingnya.
"Memang nggak," ucapnya cengengesan dengan wajah sok polosnya.
"Terus kenapa lu nangis waktu itu?" tanyaku setengah berteriak.
"Cuman ngedramatisir doang," jawabnya enteng.
"Terus kenapa lu nge-iyain dugaan Kiana yang bilang lu diputusin Raka karena ketahuan selingkuh?"
"Eum ... Raka emang mergokin gue selingkuh, tapi dia gak putusin gue," ujarnya seperti tidak bersalah. "Gue yang putusin dia gara-gara liat dia jalan sama cewek," lanjutnya lalu tersenyum lebar.
Dia itu benar-benar perempuan yang menyebalkan, ya. Fuckgirl sekali dia itu.
PLAK!
Aku langsung memukul kepalanya keras untuk melampiaskan kekesalanku. Lalu pergi meninggalkannya sendirian.
"Aw!"
Aku menoleh ke arahnya sebentar, "Rasain!" sarkasku lalu kembali melanjutkan langkahku.
"Woy!"
Aku tidak peduli dengan teriakan nya. Aku terlanjur kesal padanya. Bisa-bisa nya dia mengerjaiku. Cih, lain kali aku tidak akan percaya padanya.
"Kiana?"
Aku berpapasan dengan Kiana di depan pintu keluar kantin. Sepertinya dia baru selesai jam kuliah.
"Hai," sapa nya sambil tersenyum ke arahku.
"Lu baru selesai?" tanyaku basa-basi.
"Iya, begitulah," jawabnya sambil mengangkat bahu.
"Kena lu!"
Dari arah belakang, Mia langsung mencekal leherku, bahkan sampai aku menunduk ke bawa.
"Aa, lepas!" teriakku sambil mencoba melepaskan.
Tak lama, Mia pun melepaskan cekalannya dan malah tertawa dengan keras.
Dasar gila!
Aku menatap Mia dengan kening berkerut sambil menggelengkan kepala lelah atas sikap Mia yang tak masuk akal.
"Kiana?" Mia terkejut saat dia melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Lu dari mana saja?"
"Gak dari mana-mana," jawab Kiana sambil mengangkat bahu.
"Ki, kemarin lu ke mana?" tanya Mia penasaran.
"Gue ada urusan," ujar Kiana terlihat tidak suka ditanyai begitu.
"Urusan apa?"
"Bukan urusan lu!"
Benar, kan, dia memang tidak suka jika privasinya diusik.
"Ya, ya, terserah lu," ujarnya cemberut.
Aku langsung tertawa mengejek. Tak peduli jika Mia kini memukulku terus-menerus.
"Mampus, lu!"
"Gaada akhlak emang lu jadi temen!"
Aku tetap tertawa dengan puas, bahkan semakin kencang. Kiana dia hanya diam melihat tingkah kami.
"Cha, dia siapa sih? Kok gue ngerasa dia itu ngeliat ke sini terus," ucap Mia sambil matanya melirik ke arah seorang gadis yang duduk tak jauh dari tempat kami berdiri.
"Gue gak kenal," ucapku cepat.
"Tuh cewek aneh ya," ejek Mia. "Jangan-jangan dia lesbi lagi."
"Otak lu emang beneran dah kotor," sarkasku padanya.
"Kan cuman ngira-ngira aja. Lagian ngapain dia terus ngeliat ke sini? Bikin muak aja!" Mia terlihat kesal dengan muka merahnya.
"Kalau muak, hajar lah, biar tahu rasa," timpal Kiana yang sejak tadi hanya diam.
"Nah, gue setuju," seru Mia sambil menjentikkan jarinya. "Cha, hajar dia!"
"Dih, kok nyuruh gue?"
"Kan lu yang paling tua."
Aku langsung menatapnya tajam. Paling tidak suka jika sudah membicarakan masalah umur.
"Hehe, canda," ujarnya cengengesan.
"Mau ke mana lu, Mi?" tanyaku saat melihat dia beranjak pergi.
"Mau labrak dia," jawabnya.
"Biarin aja mau dia gimana, kita cegah juga gak akan mempan," timpal Kiana.
Aku dan Kiana memperhatikan Mia dari pintu masuk kantin sebelah kiri. Omong-omong pintu masuk kantin tidak hanya satu, ada dua pintu lagi. Di belakang dan di samping kanan.
Entah apa yang mereka bicarakan, tapi aku melihat Mia menggebrak meja gadis itu dengan marah. Mukanya semakin terlihat kesal saat gadis itu pergi meninggalkannya.
Dia memilih kembali menghampiri kami. Tentu tetap dengan wajah kesalnya.
"Cha, lu kenal sama cewek tadi?" tanya Mia memastikan.
"Nggak, kata siapa gue kenal!"
"Terus kenapa dia bilang cuman ngeliatin lu," kesalnya entah kenapa.
"Ya mana gue tahu."
"Tuh kan, cewek tadi emang lesbi," ujarnya bergidik ngeri.
"Serah lu dah!" Aku memutar bola mata malas.
"Perasaan yang nulis novel itu, Icha. Kenapa jadi lu yang halu?" heran Kiana menatap Mia aneh.
"Tahu nih, emang dasar aja otaknya dah terkontaminasi," timpalku menyetujui.
"Enak aja, otak gue masih suci ya," tegas dia yang langsung membuat kami mendengkus.
"Iya, otak lu doang. Sisanya dah kotor," ucap Kiana kembali mengejek Mia. Lebih tepatnya mungkin membuli.
"Kejam amat sih lu!"
Ada perasaan puas di dalam hatiku saat melihat rengekan Mia. Ya memang, di antara kami, Mia lah yang selalu menjadi bahan bulian. Keterlaluan? Tenang saja, kami memang selalu bercanda keterlaluan seperti itu.