Sore harinya aku bersantai di ayunan kayu yang disimpan di teras halaman belakang rumah Kiana. Ternyata ayah Kiana itu seolah saudagar kaya di desa ini. Beliau adalah orang yang dihormati, dan segani.
Aku baru tahu tentang kehidupan Kiana sekarang. Wanita yang kutemui di kota saat itu, bukan ibu kandung Kiana melainkan adik dari ibunya Kiana.
Jika kalian tanya, apakah ibunya mirip Kiana atau tidak? Jawabannya tidak, ternyata ia mirip dengan ayahnya. Dingin, irit bicara, dan tidak peduli dengan orang asing. Tadi saja, ayah Kiana hanya menerima salam dariku dan Mia tanpa tersenyum sedikitpun.
Aih, bahkan ibunya sangat cerewet, sepertinya sifatnya turun ke kakaknya yang sejak tadi terus-terusan bertanya ini dan itu padaku dan Mia.
Hah, keluarga Kiana ternyata unik juga.
TING!
Tak lama ada notifikasi masuk dari ponselku. Saat aku lihat siapa yang mengirim pesan, ternyata itu Pak Haris.
Ada apa Pak Haris menghubungiku? Lagipula hari ini aku libur.
-Pak Haris-
[Nisa, kamu tidak ke kampus?]
-Anisa-
[Tidak, Pak. Saya sedang di rumah orangtua Kiana]
-Pak Haris-
[Sedang apa di sana?]
-Anisa-
[Menemani Kiana]
-Pak Haris-
[Memang hari ini kamu tidak ada jadwal?]
-Anisa-
[Tidak, Pak. Hari ini kebetulan libur]
-Pak Haris-
[Ooh, bbegitu]
[Kalau begitu, selamat bersenang-senang di sana]
-Anisa-
[Iya, Pak]
[Terima kasih]
Setelah itu, Pak Haris tidak lagi membalas meski centang biru sudah terlihat. Sepertinya dia hanya ingin memastikan aku rajin-tidaknya masuk kuliah.
Aku langsung tersenyum, "Bukankah itu artinya dia perhatian," gumamku langsung menahan suaraku agar tidak berteriak.
Aku menggenggam ponselku kuat, lalu memeluknya ke depan dada.
"Lu gila? Senyum-senyum sendiri."
Ya, pengganggu datang.
Aku langsung menatap ke arahnya tajam. "Tukang selingkuh diam saja," sarkasku padanya.
Ya, siapa lagi kalau bukan Mia. Tidak mungkin kan yang mencampuri urusanku itu Kiana.
"Idih, pelakor gak sadar diri!" Ia langsung duduk di sebelahku.
"Jangan duduk di sini, nanti tuas nya copot," usirku padanya.
"Lu pikir gue seberat apa?"
"Seberat babon kali," ejekku.
"Dasar temen nyebelin!" teriaknya sambil memukul lenganku keras.
Ais, benarkan tubuhnya seperti babon. Pukulannya sangat sakit terasa di kulitku, sepertinya akan membekas.
"Aa, sakit!" Aku langsung balas memukulnya tak kalah keras.
"Lu yang duluan!"
"Lu!"
Kami pun saling memukul satu sama lain. Sampai tidak sadar, jika ibu Kiana sudah berdiri di hadapan Mia sambil melihat tingkah kami dengan tersenyum.
"Kalian mau ikut minum teh bersama kami?" tanyanya yang langsung membuat kami menghentikan kegiatan saling memukul.
"Tante," sapaku langsung bersikap sopan sambil sedikit membungkuk dan tersenyum.
Mia juga melakukan hal yang sama.
"Mbok sudah membuatkan teh untuk kalian, ayo ikut berkumpul bersama kami," ajak ibu Kiana sekali lagi.
"Ah, iya," ucapnya sambil beranjak bangkit.
Aku langsung mengikuti ibu Kiana yang berjalan mendahului kami. Tak lama Mia menyusul.
Kami menuju ke ruang keluarga rumah orangtua Kiana. Jika dikatakan rumah ini luas, ya memang. Bahkan sangat luas. Jarak antara ruangan satu dengan ruangan lain saja harus berjalan lama. Apalagi jarak dari pintu utama ke pintu belakang.
Aku langsung duduk di sebelah Kiana yang memisahkan diri dari mereka. Ibu Kiana duduk di sebelah suaminya, sedangkan kakaknya duduk di seberang. Tak lama Mia duduk di sebelahku, karena ia jauh tertinggal.
"Ayo, silakan diminum," ucapnya mempersilakan.
Aku langsung meminum teh di hadapanku. Dilihat dari cangkir mereka, sepertinya mereka sudah minum sejak tadi. Apa mereka sering melakukan kegiatan minum teh ini. Dasar orang kaya. Ternyata kelakuan mereka sama saja dengan orang-orang di kota.
"Jadi, kalian berdua temannya Kiana?" tanya ayahnya mulai membuka suara.
Wah, aku baru mendengar suaranya. Ternyata beliau memang pria yang penuh wibawa.
Aku meletakkan teh di atas piringan, lalu menatap ayahnya Kiana dengan sopan. "Iya, Paman. Saya dan Mia, temannya Kiana," jawabku sambil tersenyum manis.
Ah, aku tidak terbiasa bersikap sopan seperti ini.
"Teman sejak SMA, ya?" tanyanya lagi.
Lihat itu, tidak ada yang ikut berbicara. Ibu Kiana fokus meminum tehnya, kakak Kiana sejak tadi memakan kue di toples, dan Kiana sendiri hanya duduk mendengarkan ayahnya berbicara.
Apa ia tidak lelah diam terus seperti itu.
"Iya, Paman," jawabku sambil mengangguk.
Jika dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku tahu tentang keluarga Kiana yang sebenarnya. Apa mungkin sejak dulu Kiana tidak tinggal dengan orangtua kandungnya? Kurasa begitu, karena aku hanya melihat ibu pengasuh Kiana di rumah itu.
"Apa kalian sudah punya pacar?"
Apa? Kenapa bertanya begitu? Bukannya anak tertua mereka juga sudah punya pacar? Kenapa mesti memikirkan putri orang lain?
"Ppfff!" Mia yang sepertinya sedang meminum tehnya langsung tersedak dan air teh itu menyembur keluar dari mulutnya. Dan mereka semua benar-benar terkejut melihat itu.
"Maaf, aku-- maksudnya ... saya tidak sengaja." Mia dengan panik mengambil beberapa lembar tisu di kotak yang ada di atas meja. Lalu mulai mengalap bajunya yang basah karena terkena cipratan tadi.
Apa ia merasa tersindir? Ya ampun, kasihan sekali Mia.
"Tidak perlu khawatir," ucap ayahnya.
"Mbok, bersihkan ini," teriak ibu Kiana memanggil salah satu pelayan.
Lalu beberapa pelayan datang dengan terburu-buru, dengan lap di tangan masing-masing.
" Bersihkan itu," tunjuk ibu Kiana pada noda teh di taplak dan lantai.
Mereka berenam langsung membersihkannya.engelapnya sampai kering, dan menyemprotkan cairan agar tidak lengket.
Aku baru sadar, ibu Kiana memanggil semua pelayannya dengan sebutan 'Mbok'. Pantas saja banyak yang kemari. Mungkin jika semua pelayan di rumah ini berkumpul di satu tempat, dan mendengar ibu Kiana menyebutkan kata 'Mbok', pasti mereka semua datang menghampiri.
Tidak bisa kah ibu Kiana memanggil nama mereka saja? Eh, tapi pasti itu sulit dihapal, dilihat bagaimana banyaknya para pelayan itu. Apa alasan menyebut semua pelayan mbok itu karena mudah, ya?
Ais, lupakan! Kenapa aku jadi membahas itu!
"Kau baik-baik saja?" tanyaku memastikan.
"Ayah tidak perlu bertanya begitu. Itu bukan urusan ayah," ucap Kiana setelah sekian lama berdiam diri.
Entah kenapa aku tidak terkejut Kiana mengatakan itu padanya. Sepertinya, ibu serta kakaknya Kiana tidak berniat sama sekali ingin menghentikan perkataan ayah Kiana. Berbeda sekali dengan Kiana yang langsung menimpali ayahnya, atau lebih tepatnya melawan mungkin.
"Ayah hanya ingin memastikan, kau berteman dengan orang yang tepat," ujarnya tegas.
Aku langsung terkejut mendengar perkataan ayah Kiana yang menurutku keterlaluan.
"Sejak kapan ayah mempedulikan itu?"
Aku mulai merasakan atfosmer yang berbeda di sekitar. Ayah Kiana langsung menatapnya tajam. Ibu dan kakaknya hanya menatap terkejut.
"Kiana," tegur ibunya dengan pelan.
Kiana tampak menghela napas pelan. "Terserahlah, aku tidak peduli ini," ucapnya langsung bangkit berdiri dan pergi meninggalkan ruang tamu.
Tunggu, kenapa ia pergi? Lalu bagaimana denganku dan Mia? Apa ia lupa kalau kami di sini? Kiana, kali ini aku benar-benar marah padamu. Mia juga tampak kebingungan dengan kepergian Kiana.
"Jadi, sampai di mana kita?"
Suara itu, seolah menyadarkanku jika ada sosok menakutkan di sekitar. Ya ampun, kenapa aku harus berada di sini? Baiklah, jangan salahkan aku jika aku nanti berkata kasar.