Aku langsung menatap ke arah Ayah Kiana yang terus menatapku dengan penuh intimidasi. Sedangkan ibu dan kakak Kiana dengan menyebalkan nya, mereka malah asik mengobrol.
Ya ampun, ada yang salah dengan mereka. Apa mereka tidak sadar jika pria tua ini terus saja menatapku.
"Jadi, dari mana asal kalian?" tanyanya yang membuatku hampir meledak.
Apa dia sedang menanyakan latar belakangku? Ada apa sebenarnya dengan keluarga ini?
"Kalau tidak salah, Anisa putri dari Nyonya Jiang, dan Mia putri dari Tuan Mitarashi," timpal ibu Kiana sebelum aku menjawab pertanyaan pria tua ini.
Tunggu, dari mana ia tahu tentang mamahku? Apa ibu Kiana kenal? Dan ... benarkah Mia putri dari Tuan Mitarashi? Tuan Mitarashi yang kukenal, adalah seorang Pengusaha asal Jepang yang memiliki banyak istri dan selingkuhan di mana-mana.
Apa mereka baru saja memeriksa latar belakang kami? Mereka benar-benar keterlaluan.
Aku menoleh ke arah Mia yang kini hanya diam. Tidak menyanggah atau mengiyakan. Ia memangku cangkir tehnya di atas paha, dan tatapannya menatap ke bawah kakinya.
"Benarkah? Kau tahu dari mana?" tanya Ayah Kiana sambil menatap ke arah istrinya yang sedang menyuap cake.
"Bibi Yuki yang memberi tahukannya," timpal Kak Tiana yang sedang memakan kue kering di piring.
Bibi Yuki? Siapa?
Ya ampun, telingaku panas. Dan sekarang dengan kurang ajarnya mereka membicarakan keluargaku dan keluarga Mia.
"Paman benar," seruku menengahi perbincangan mereka.
Mereka langsung menatap ke arahku.
"Aku memang putri Nyonya Jiang. Tapi, kehormatanku masih terjaga sampai sekarang. Benar, kan, Kak Tiana?"
Lihat, ia langsung bermuka pucat begitu. Sepertinya ia tahu maksud dari ucapanku. Aku langsung tersenyum puas melihat reaksinya yang begitu.
"Terima kasih untuk undangan minum teh nya, ini sangat menyenangkan," ujarku kemudian, lalu berdiri, dan sedikit membungkukkan badannya pada mereka dan beranjak pergi dari sana.
"Saya juga permisi," pamit Mia yang terdengar olehku dan langsung berlari ke arahku.
Meski samar, aku bisa mendengar umpatan mereka.
"Apa-apaan sikap mereka itu. Mereka memang putri dari kedua orang itu."
Itu suara Ayahnya Kiana. Apa dia tidak tahu, jika putrinya sama sekali tidak punya kehormatan? Hmp, pasti mereka langsung mengubur diri sendiri saat tahu tentang fakta itu.
Aku menolehkan kepalaku ke belakang dan langsung melihat Kak Tiana yang tengah menatap ke arah sini. Aku tersenyum tipis padanya, dan lihat, ia langsung melotot karena takut, sepertinya.
Aku tidak tahu kakiku melangkah ke mana. Sepertinya aku tersesat di rumah ini. Ruangan ini terlalu besar, sangat malah. Bahkan sejak tadi, kami belum menemukan pintu apapun. Hanya ada jendela besar yang berada jauh di samping kami.
Akhirnya, setelah sekian lama, kami berhasil menemukan sebuah pintu. Yang sepertinya mengarah ke luar. Ooh, aku ingat, pintu ini sama dengan pintu yang tadi kami masuki.
"Sepertinya itu Kiana," tebak Mia sambil menunjuk ke luar jendela.
Aku bisa melihatnya. Meski hanya bagian belakangnya saja yang kelihatan, tapi aku tahu kalau itu Kiana. Dengan seenaknya ia malah duduk bersantai di atas kursi ayunan begitu.
"Ais, menyebalkan," geramku langsung berlari keluar dan menghampiri Kiana dan Mia langsung mengikutiku dari belakang.
"Hei, tunggu!"
Di sana, Kiana dengan santai nya malah membaca novel dan mengayun-ayunkan kursi itu dengan tenang.
Aku menghentikan langkahku di depan Kiana. Seolah menyadari kehadiranku, ia langsung menengadahkan kepalanya menatapku dengan tatapan seolah tidak salah apapun. Ya ampun, ia sama saja dengan mereka.
"Lu! Berani ninggalin gue sama Mia dan sekarang berani-beraninya lu malah nyantai di sini!" teriakku tidak terima sambil menunjuk-nunjuk Kiana.
"Ooh, lu udah selesai?" tanyanya santai.
Bukannya menjelaskan baik-baik, Kiana malah merespon seperti itu. Ia bahkan tetap menatapku dengan pandangan tak bersalahnya.
"Lu itu keterlaluan ya," timpal Mia di sampingku.
"Bagian mananya gue itu keterlaluan? Ninggalin kalian di sana atau gak ngebela kalian?" ujarnya yang semakin membuatku emosi.
"Lu--" Mia maju selangakah hampir mengahajar Kiana.
"Haaah, udahlah, gue capek kalau harus debat," desahku kemudian, dan langsung duduk di sebelah Kiana.
Mia mengembungkan kedua pipinya kesal. Tak lama, ia ikut duduk di sebelah Kiana, di sisi satunya dengan wajah cemberut.
"Gila dong tadi Babeh lu, nanya ini-itu," gerutuku kesal.
"Gue udah tahu kok, gak usah dikasih tahu," ucapnya, lalu kembali membaca novel di tangannya.
"Dih!"
Aku memalingkan wajahku ke arah lain. Bermaksud untuk menenangkan emosiku. Sebenarnya aku tidak marah pada Kiana. Hanya pada keluarga Kiana saja. Menurutku mereka terlalu ikut campur.
"Terus tadi maksud lu apa ninggalin kita?" tanya Mia sarkas.
"Gak maksud apa-apa," jawab Kiana terdengar santai.
"Kayaknya mamah lu yang di kota gak suka sama gue sama Icha," simpul Mia kemudian.
"Kenapa bilang gitu?" tanya Kiana heran.
"Dia ngadu ke kakak lu tentang keluarga gue sama Icha," jelas Mia.
"Oh, iya?"
"Malah tadi mereka ngebicarain hal buruk tentang keluarga gue sama Icha."
"Gue gak tahu itu."
"Haaah, keluarga lu aneh, Kia. Mereka nakutin, kayak stalker," ujar Mia.
"Menurut gue mereka lebih dari stalker, mereka mirip psikopat," timpalku yang kini melihat ke arah mereka.
"Gue setuju," ucap Mia menanggapi.
Aku melihat ke arah Kiana yang kini tengah menatapku tajam. Dengan tidak pedulinya, aku balas menatap Kiana tajam.
"Kenapa? Bener, kan," ujarku menantangnya.
Aku tidak peduli jika Kiana akan marah padaku. Kekesalanku pada keluarga Kiana, masih ada. Jadi, aku mencoba melampiaskannya dengan mengejek keluarga Kiana. Itu sedikit membuatku lega.