Chereads / Tertahan / Chapter 8 - Diantar Pak Haris

Chapter 8 - Diantar Pak Haris

Aku segera menuju halte bus untuk pulang ke rumah. Kelas baru saja berakhir. Kiana dan Mia sudah pulang lebih dulu sejak tadi. Mereka hanya sampai setengah hari, berbeda denganku yang sampai sore.

Aku menunggu di halte bus. Mendengarkan musik lewat earphone yang menempel di telingaku.

Sudah tiga puluh menit aku menunggu, tapi belum ada bus yang datang. Padahal jadwalnya sudah sesuai. Bus menuju apartemenku tiba jam 5 sore, dan ini sudah jam 5 lewat. Apa bus nya telat?

Tak lama sebuah mobil berhenti di depanku. Kaca mobil perlahan turun dan aku bisa lihat siapa itu yang ada di dalam, itu Pak Haris.

Dia ganteng. Dengan setelan jas dan tatanan rambut yang sedikit berantakan, dia terlihat sexy di mataku. Sial!

Dia tersenyum ke arahku. "Sedang menunggu bus?"

"Iya, Pak," jawabku sambil tersenyum membalas.

"Ini Hari Sabtu, bus menuju ke apartemenmu hanya sampai jam 3," ucapnya memberi tahu padaku.

"Ooh, saya baru ingat," gumamku.

Sial, bagaimana bisa aku melupakannya. Seharusnya sejak tadi aku memesan taksi. Aku tidak akan kehilangan 30 menit-ku yang berharga. Mungkin sekarang aku sudah tidur nyaman di atas ranjangku.

"Ayo, saya antar," ucapnya membuyarkan lamunanku.

"Iya, Pak?" tanyaku memastikan karena takut aku salah dengar.

"Saya antar, Anisa," ulangnya.

"Apa tidak masalah, Pak? Takutnya saya merepotkan bapak," ucapku canggung.

"Tentu tidak, ayo masuk!"

Aku segera membuka pintu mobil depan dan duduk di sebelah Pak Haris. Ya ampun, mimpi apa aku semalam bisa diantar Pak Haris begini.

Aku berusaha menahan senyumku. Agar tidak terlalu kelihatan kalau sebenarnya aku ini sangat senang.

Pak Haris menyalakan musik lewat bluetooth. Kurasa dia suka dengan lagu barat. Apa karena dia itu Dosen Bahasa Inggris?

"Kau baru selesai?" tanya Pak Haris setelah sekian lama membisu.

Tidak lama sih, baru lima menit sejak aku masuk ke mobilnya.

"Iya, Pak. Saya baru selesai."

"Setiap Hari Sabtu kamu selalu pulang jam segini?" tanya Pak Haris tanpa melihat ke arahku.

"Iya, pak, jadwalnya memang begitu," jawabku mengiyakan.

"Minggu sebelumnya, kamu diantar siapa?"

"Tidak diantar, saya selalu memesan taksi."

"Kalau begitu, biar saya yang mengantar kamu pulang setiap Hari Sabtu," ujarnya yang langsung membuatku terkejut.

"Tidak usah, pak. Saya tidak mau merepotkan bapak," tolakku halus.

Aku tidak mau setiap Hari Sabtu terus-terusan gemetar karena gerogi.

"Saya tidak merasa direpotkan, karena saya yang menginginkannya," ungkapnya yang membuatku bingung harus menjawab apa.

"Tapi--"

"Tenang saja, saya akan mengantarmu dengan selamat."

Bukan itu masalahnya, Pak! Saya tidak peduli mau selamat atau tidak, asalkan dengan bapak. Eh?

"Bukan begitu, tapi saya--"

"Kita makan dulu, kau belum makan 'kan," ucapnya mengalihkan pembicaraan.

Dia langsung memarkirkan mobilnya di depan sebuah restoran cina di pinggir jalan.

"Ayo, keluar," ujarnya sambil membukakan pintu untukku.

Duh, seperti kencan saja.

Aku segera keluar, setelah itu Pak Haris menutup pintu mobil. Kami masuk bersama-sama dan segera mencari meja yang kosong.

Namun, Pak Haris tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia terdiam, menatap tajam ke depan. Aku mengikuti ara pandangnya. Di sana ada seorang wanita yang sedang mengobrol dengan pria di depannya.

Apa ada masalah? Tatapan Pak Haris seperti ingin memakan orang saja.

"Kurasa restoran ini jelek, ayo cari tempat yang lain," ucapnya setelah beberapa saat terdiam.

"Iya, pak?"

Jelek? Dia sendiri 'kan yang memilih restoran ini. Dasar aneh! Untung saja ganteng dan aku suka, kalau tidak, sudah kutinggalkan sejak tadi. Sepertinya memang ada hubungannya dengan wanita itu.

"Ayo!"

Pak Haris berbalik meninggalkanku lebih dulu. Aku segera berlari menyusulnya. Takut jika Pak Haris akan meninggalkanku di sini sendirian.

Akhirnya kami makan di rumah makan lesehan di pinggir jalan. Aku hanya memesan mie ayam dan es jeruk, yang untungnya ada di rumah makan lesehan.

Tidak seperti Pak Haris yang memesan nasi serta lauk. Sepertinya dia belum makan sejak siang tadi, andaikan saja aku istrinya pasti setiap siang aku akan mengirimkan bekal padanya.

Ais, berhenti berpikiran yang aneh--aneh! Itu tidak akan terjadi.

Pak Haris menatap ke arahku, dia menghentikan makannya sejenak.

"Apa di wajah saya ada yang salah?" tanya Pak Haris dengan ekspresi bertanya.

"Tidak, Pak," jawabku sambil menggeleng.

Tidak ada yang salah, Pak. Bapak terlalu ganteng.

"Kalau begitu, cepat makan mie ayammu, jangan terus menatap saya begitu. Saya bukan makanan."

Dia kembali makan setelah mengatakan itu. Aku hanya menunduk tak berani lagi menatap ke depan. Kebetulan aku dan Pak Haris saling duduk berhadapan.

Aaa, aku malu. Aku ketahuan. Apa tadi aku seperti orang yang kelaparan saat menatap Pak Haris? Ais, menyebalkan.

Setelah makan dan menunggu sebentar. Kami segera pergi dari sana. Tanpa mendengar arahanku, Pak Haris tahu di mana apartemenku. Ya, seperti malam itu, dia tahu di mana apartemen bahkan lantai yang aku tinggali.

"Terima kasih, pak," ucapku sambil menunduk sopan.

Aku berdiri di samping mobil Pak Haris yang kacanya terbuka.

"Sama--sama," balasnya sambil tersenyum.

"Ingat, setiap Hari Sabtu saya yang akan mengantar kamu pulang."

"Baik, pak. Terima kasih karena sudah mau mengantar saya, dan maaf jika saya merepotkan bapak."

"Tidak masalah," ucapnya. "Saya pulang dulu, sampai jumpa!" pamitnya sambil menutup kaca mobilnya, lalu segera melaju.

Aku menatap mobilnya yang semakin menjauh. Setelah pandanganku tak bisa melihat bayangan mobil Pak Haris, aku segera masuk ke apartemen lewat pintu masuk.

"Raka?"

Di depan pintu masuk aku bisa lihat Raka -Mantan pacar Mia- sedang berdiri di sana seperti sedang menunggu seseorang.

"Kamu temannya Mia 'kan?"

Sial, dia mengenalku. Sepertinya aku akan terlibat lagi, kali ini kebohongan apa yang dikatakan Mia.

"Apa kau tahu di mana kamar Mia?" tanyanya cepat.

"Maksudmu?"

Aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Kamar? Memang dia pikir Mia tinggal di sini.

"Dia tinggal di sini 'kan?" tanyanya memastikan.

Bagus, Mia berbohong lagi soal tempat tinggal.

"Dia sudah pindah. Aku tidak tahu di mana dia sekarang," jawabku menjelaskan dan terpaksa berbohong.

"Tapi kau temannya 'kan?"

"Haaah, itu sama sekali tidak ada hubungannya." Aku membuang napas berat.

Dia langsung manatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ya ampun, sejak kapan lelaki ini menjadi seperti orang linglung?

"Bisakah kau meminta Mia agar mau bertemu denganku? Juga minta dia membuka blokir," pintanya memohon.

"Akan kuusahakan."

"Terima kasih." Dia tersenyum tipis, seolah apa yang kukatakan tadi itu adalah harapan baginya.

Aku memperhatikannya dari atas ke bawah. Ya ampun, dia seperti pengemis. Rambut acak--acakan, kaos kucel, celana jeans yang kotor, dan sepatu yang dipakai tidak benar. Untung saja dia tidak diusir dari sini oleh satpam.

"Tadi satpam mengusirku keluar karena dia pikir aku ini pengemis," ungkapnya sambil menyengir malu.

Eh, serius? Pantas saja dia berdiri di depan pintu masuk.

"Aku pulang dulu, terima kasih." Dia langsung berbalik pergi.

Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Dasar lelaki. Seperti tidak ada perempuan lain saja!

"Anda mengenalnya, Nona?" tanya seseorang dari arah kiriku.

Ternyata dia satpam apartemen. Dia menatapku dengan pandangan penasaran. Aku risih dengan matanya itu. Entahlah, ada yang aneh dengan satpam di depanku.

"Dia kenalan kampus," jawabku singkat.

Aku segera masuk ke dalam apartemen, dan meninggalkannya sendiri di sana. Dasar, satpam tukang gosip! Begitu saja ingin tahu, tidak level ya, aku bergosip denganmu.