Aku melempar tasku ke atas sofa, setelah aku sampai di dalam apartemenku. Aku segera beranjak ke kamar mandi karena merasa badanku lengket semua. Tak butuh waktu lama untukku membasuh diri. Setelah selesai, aku mengganti bajuku dengan kaos dan celana santai.
Saat aku sedang menyeduh teh di dapur, terdengar suara bel apartemenku. Aku langsung beranjak ke sana. Memastikan dulu siapa yang datang, lalu segera membuka pintu.
"Lu? Ada apa ke sini?" tanyaku pada Mia yang langsung tersenyum ke arahku.
"Gue diusir," jawabnya dengan suara sedih.
Aku langsung memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah. Ia hanya memakai jaket longgar dengan celana training. Ia tidak membawa tas, hanya ponsel yang ada di genggamannya. Jangan lupakan sandal tidur yang sedang ia pakai sekarang. Daripada diusir, penampilannya lebih mirip seperti kabur dari rumah.
"Lu ngedramatisir lagi?" Pasti Mia bukan diusir, tapi kabur.
"Kali ini nggak, gue benar-benar diusir," ucapnya meyakinkan diriku.
"Lalu kenapa lu ke sini?" tanyaku heran sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada.
"Gue mau nginep di sini."
"Kenapa gak pulang ke apartemen lu?"
"Gue dari rumah, jaraknya terlalu jauh kalau ke apartemen gue," ucapnya beralasan. "Jadi, gue nginep di sini, ya," lanjutnya memohon sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dadanya..
"Terserah lah." Aku hanya menghela napas dengan pasrah, lalu mempersilakan Mia untuk masuk dan segera menutup pintu kembali.
"Tadi, Raka mencarimu," ujarku lalu berjalan menghampirinya yang kini duduk di sofa. "Kau bilang padanya kalau apartemenmu di sini?"
"Aah, itu agar dia tidak datang ke apartemenku," jelasnya sambil cengengesan.
Aku melihatnya dengan tatapan malas. Benar-benar fuckgirl dia itu.
"Lu gak nanya kenapa gue diusir dari rumah?" tanyanya heboh.
"Buat apa?"
"Seenggaknya lu khawatir sama gue, walaupun cuman basa-basi."
"Dih!"
Mia menyandarkan tubuhnya di sofa, lalu menghela napasnya perlahan. "Raka bilang ke mamah gue, gue sama dia udah tidur bareng, padahal mampir ke rumah masing-masing aja belum," jelasnya tanpa diminta.
Aku mengerutkan dahi bingung. Tidak mungkin, kan dia diusir hanya karena omong kosong seperti itu. "Mamah lu langsung percaya?" tanyaku heran.
"Sejak kapan sih mamah gue percaya sama omongan gue? Dia selalu percaya dengan apa yang dikatakan orang, termasuk pria yang mendekatinya karena uang," jelasnya yang sepertinya baru saja keceplosan.
"Hm?" Aku langsung menatapnya tidak mengerti. Apa maksud dari perkataan Mia?
Ia tampak gelagapan. "Aku mengantuk, aku ingin tidur," ucapnya kemudian yang langsung pergi ke kamarku.
---
Besoknya aku dan Mia pergi bersama ke kampus, kebetulan jam masuk kami sama. Kami berangkat dengan bus yang menuju ke kampus. Mia tidak bawa mobil, karena mobilnya tertinggal di rumahnya.
Kami berdua memutuskan untuk ke kantin terlebih dahulu, karena tadi belum sarapan.
"Cha, Kiana gak masuk, ya?" tanyanya memastikan.
"Iya, dia gak ada jadwal hari ini," jawabku menjelaskan.
"Kalau gitu, kita ke apartemennya. Kita nginep di sana," usulnya yang langsung membuatku menatap ke arahnya.
"Lu gak takut diusir?" tanyaku sinis.
"Kenapa takut diusir? Emang dia bakal ngusir kita?" tanyanya balik dengan wajah sok polosnya.
Aku tidak tahu Mia itu pikun atau amnesia. Padahal aku masih ingat dengan jelas dulu, saat aku dan Mia sengaja datang ke apartemen Kiana ingin menginap di sana, tapi dengan menyebalkannya ia malah mengusir kamu berdua dengan alasan tidak mau diganggu.
Sejak saat itu, jika bukan Kiana yang mengajak, aku putuskan tidak akan ke sana apapun alasannya.
"Kau mau pesan apa?" tanyanya padaku setelah kami berdua sampai di kantin.
"Roti bakar saja," jawabku.
Kami langsung menuju ke stand roti bakar yang berada di ujung kantin, dan segera memesannya. Untungnya belum ada siapapun yang membeli jadi kami tidak perlu repot-repot menunggu.
"Nisa, kau mau sarapan juga?" seru seseorang di belakangku.
Saat aku menoleh, ternyata itu Pak Haris. Sepertinya aku selalu bertemu Pak Haris di mana dan ke manapun aku pergi.
"Iya, Pak," jawabku sambil tersenyum.
Aku langsung menatap Mia tajam setelah merasa ia akan melontarkan kata-kata bodoh lagi.
"Pagi, Pak," sapa Mia yang sepertinya tidak mempedulikan tatapanku.
"Pagi," respon Pak Haris.
"Bapak mau sarapan juga?" tanya Mia basa-basi.
Aku mulai merasakan firasat buruk. Aku tetap menatap Mia tidak berpaling sedikit pun, dan bersiap mencubit lengannya yang ada dalam rangkulanku. Jika nanti ia berkata macam-macam.
"Iya, saya belum sempat sarapan."
"Ooh ...."
Mia kembali menghadap ke arah tukan roti bakar, sedangkan aku masih melihat ke arah Pak Haris yang juga tengah menatapku.
"Pak, kita duluan ya," pamit Mia yang membuatku tersadar dari lamunan.
Pak Haris langsung mengalihkan tatapannya pada Mia, lalu dia tersenyum. "Ooh iya, silakan."
"Ayo, Cha." Mia langsung menarik tanganku kuat.
Aku hanya mengikutinya dengan pasrah, sesekali aku menoleh ke belakang melihat Pak Haris yang berjalan ke arah stan makanan yang lain.
Kenapa tidak memesan roti bakar? Apa tadi Pak Haris sengaja ingin menyapaku? Bukan karena ingin memesan roti bakar?
"Lu kalau mau niat jadi pelakor, tahu tempat dulu," ujarnya yang membuatku mengerutkan kening.
"Maksud?"
"Lu gak liat tadi semua penjual ngeliatin lu sama Pak Haris?"
"Nggak," jawabku menggeleng. Benar, kan, yang aku lihat hanya Pak Haris tadi.
Aku melihat ke arah Mia yang menatapku tajam. "Lu emang gak tahu diri ya," sarkasnya.
"Coba ngaca!"
Mia masih menarik lenganku untuk mengikuti langkahnya. Sepertinya ia membawaku ke taman belakang kampus.
"Mau ngapain ke sini?" tanyaku bingung.
"Kita makan di sini aja, jangan di kantin. Bahaya," ucapnya enteng.
Ia lalu duduk di kursi taman di bawah pohon beringin.
"Nih, punya lu." Dia menjulurkan roti bakar ke hadapanku.
Aku mengambil roti bakar itu. "Thank's," ucapku yang langsung memakannya.
"Pulang dari kampus, gue mau ke rumah Kia," ucapnya sambil mengunyah.
"Terserah." Jika ia ingin ke sana, aku tidak berhak melarangnya, kan. Lagipula aku tidak akan ikut.
"Anter gue." Aku langsung menoleh padanya, yang kini sedang menatapku.
"Ogah!" tolakku.
"Lu emang gak setia kawan."
"Bodo."
Mia hanya menatapku tajam dengan terus memakan roti bakarnya.
"Ais, kenapa gak beli minum coba, serasa nyangkut di sini," keluhku sambil mengusap tenggorokanku.
"Beli aja sendiri."
Aku menatap Mia yang sepertinya sedang merajuk.
"Oke," ucapku yang langsung berdiri dan beranjak pergi meninggalkan Mia.
"Emang temen gak ada akhlak!" teriak Mia lantang.
Aku menatap ke arahnya dan langsung memeletkan lidah. Mia terlihat semakin emosi dengan menggertakkan giginya. Setidaknya sikap Mia yang sedang merajuk sekarang sedikit menghiburku.
Aku hanya tersenyum mengejek melihat tingkahnya, dan dengan santai nya aku berjalan ke arah kantin meninggalkan Mia yang masih duduk di sana.
Tenang saja, nanti juga kami baikan dengan sendirinya. Dengan cara apapun itu.