Katanya cinta itu buta. Tak memandang status atau rupa seseorang. Jika hati kita sudah memilih, sampai kapanpun tak akan bisa lepas darinya. Meski sakit yang harus terasa.
Malam ini, aku dan Mia menginap di rumah Kiana. Niat awal sih karena ingin membantu pekerjaan rumah masing-masing. Tapi, malah berakhir dengan Kiana yang rebahan di ranjangnya sendiri sambil membaca novel, Mia yang menonton drama di laptop sambil ngemil keripik, dan aku yang fokus dengan layar ponsel di depanku.
"Ki ...." rengek Mia tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop saat aku meliriknya sekilas.
Entah kenapa aku merasa tak enak jika dia merengek begitu. Pasti masalah dengan cowoknya.
"Hhm ...." respon Kiana seolah tak peduli.
"Masa ya, tadi gue diputusin sama Raka," curhat Mia.
Nah, benar 'kan. Masalah cowok.
"Terus?" tanya Kiana dengan nada memang tak peduli.
"Gue gak terima," ujarnya dengan nada kesal.
Tak ada respon apapun dari Kiana. Ya, salah Mia sendiri kenapa curhat pada orang yang tak pedulian seperti Kiana.
"Ki!" kesal Mia sambil melempar boneka beruang di dekatnya.
Aku lihat, lemparan Mia berhasil mengenai kepala Kiana.
"Duh, apasih?" protes Kiana tampak tak terima.
Huh, pasti selalu seperti ini. Kiana yang tak peduli dan Mia yang merasa kesal dengan tingkah Kiana.
"Gue diputusin!"
"Ya terus, hubungannya sama gue apa?"
"Seharusnya lu nenangin gue apa kek, bukan malah cuek kayak nggak kenal."
"Udah sering gue denger lu ngomong gitu, bosen!"
"Cih, gak guna!"
Lagi--lagi Kiana hanya mengangkat bahunya tidak peduli.
Dasar aneh, kadang aku merasa heran, bagaimana bisa mereka tetap bisa berteman padahal setiap hari selalu bertengkar. Eh, aku juga berteman dengan mereka 'kan?
"Cha ...." Ah, sial.
Abaikan! Pura-pura tidak mendengar, anggap dia tidak ada! Aku kembali fokus pada ponselku yang sebelumnya fokus dengan perdebatan mereka yang tak ada faedahnya sama sekali.
"Cha, ihh!"
"Aw, sakit!"
Dengan kurang ajar nya, dia melempar boneka buah tepat mengenai keningku. Dari mana dia dapat boneka-boneka itu sih?
Aku menatapnya tajam seolah bisa membelah dua kepalanya itu.
"Gak usah ikutan Kia deh, lu gak pantes!" sarkas Mia dengan wajah menghina yang justru membuatku tak mengerti.
"Siapa yang ikutan siapa?" heranku dan memilih mengabaikan Mia.
Siapa juga yang mengikuti sifat Kiana yang tak peduli apa-apa itu.
"Eh, lu lagi chattingan sama pak Haris?" kaget Mia yang entah sejak kapan dia duduk di sebelahku.
"Hhm." Aku hanya bergumam sambil mengangguk kecil.
"Dicap pelakor baru tahu rasa lu, Cha."
"Udah kebal gue."
Apanya yang dicap pelakor? Aku dan Pak Haris hanya saling bertukar pikiran soal pelajaran. Apa itu salah? Mia memang tidak pernah berkaca.
Eh perkataan itu lebih cocok untuk Kiana, tapi dia tidak menghinaku, kan. Sepertinya dia sadar diri, tidak seperti Mia yang bersikap sok suci.
"Heran gue, punya temen nggak ada yang beres semua," makinya dengan santai.
Dih, memang dia hidup beres? Padahal menurutku dia yang paling sesat. Benar, kan, dia itu tidak sadar diri.
"Coba ngaca, diri lu bener kagak? Kita gini, ya gara-gara lu juga," sarkas Kiana menimpali.
"Kok gue?" protes Mia.
Aku melihat ke arahnya sekilas. Tanpa melihat ke arah kami, dia langsung mengangkat bahu seolah perkataannya tadi benar. Dia memang ahlinya berkata tajam.
"Nggak tahu kenapa gue ingin nabok kepala lu pas lagi nanggepin gitu."
"Bodo ah, bukan urusan gue."
"Hah ... untung ya gue tuh sabar."
Hah ... kapan sih mereka berhenti bertengkar. Telingaku sampai panas mendengar perdebatan mereka.
"Kia ... Kia ...."
Ah, sepertinya itu kakaknya. Yah, Kiana tinggal berdua dengan kakaknya di apartemen ini.
"Ki, lu dipanggil," ujarku memberitahu.
"Biarin aja, males gue nanggepin," respon Kiana tak peduli.
"Lu kunci pintunya?" tanyaku heran karena melihat gagang pintu yang bergerak-gerak.
"Kia ...." panggilnya lagi sambil mengetuk dan berusaha membuka pintu.
"Jangan dibuka, biarin aja. Sengaja gue, biar dia nggak masuk," jelas Kiana saat melihat Mia tampak ingin membukakan pintu.
"Kualat lu, Na," ujar Mia lalu kembali duduk.
Entah apa yang terjadi dengan mereka berdua. Aku ataupun Mia tak ada yang berani mencampuri. Meski kami teman, tetap ada batasan kan untuk rahasia masing-masing.
Orang itu mengetuk pintu kamar Kiana berkali-kali, sambil menyebut namanya. Aku dan Mia saling bertatapan, menatap Kiana dengan heran.
"Ki," tegur Mia merasa tidak enak.
Kiana tidak merespon Mia, dia tetap membaca novel dengan santai nya, tidak menanggapi teguran Mia apalagi seruan kakaknya. Tak lama, dengan berdecak ia beranjak dari ranjangnya lalu membuka pintu.
"Apa yang kau inginkan?"
Aku bisa mendengar nada sinis Kiana dari pertanyaannya meski tengah berbisik. Aku tidak tahu, kenapa dia seperti tidak menyukai kakaknya sama sekali. Kiana lalu keluar dari kamarnya dan langsung menutup pintu kamar dari luar.
"Dia benar-benar adik yang kurang ajar," ejek Mia sambil menatap ke arahku.
"Mungkin ada alasan lain kenapa dia bersikap begitu," simpulku.
Aku tidak mau menilai sikap Kiana sebelah mata. Pasti selalu ada alasan yang tepat kenapa Kiana bersikap begitu.