Malam harinya, setelah selesai menonton film, kami memutuskan pergi ke cafe dulu sebelum Kenan-pacar baru Mia- mengantar kami ke apartemenku. Mia bilang, dia ingin menginap karena di rumah sedang tidak ada siapa-siapa. Entah kenapa, aku merasa pacar barunya itu atau mungkin selingkuhan lamanya tidak suka dengan keputusan Mia.
"Cha, Kia ke mana?" tanya Mia lalu duduk di sofa di hadapanku.
Ya, sejak tadi Kiana tidak kembali ke bioskop. Entah ke mana dia pergi.
"Nggak tahu, kata dia ada urusan," jawabku menjelaskan.
"Urusan ngelonte?"
Aku yang sedang duduk di sofa, langsung melempar bantal sofa di sebelahku padanya.
"Dasar temen nggak beradab!" sentakku. Dia malah tertawa menerima lemparanku.
"Haha, canda ihh," ujarnya setengah berteriak. Kini dia membaringkan diri di sofa lalu menyimpan bantal sofa di bawah kepalanya sebagai bantalan.
"Tapi, ya gue selalu penasaran sama hidupnya dia. Dia nggak pernah cerita apapun sama kita sejak SMA," keluh Mia sambil menatap ke arahku.
"Dia emang gitu kan dari dulu. Nggak akan mungkin berubah tiba-tiba," ujarku maklum.
"Cha, lu masih nulis novel?" tanyanya sambil melihat-lihat tumpukan kertas di atas meja.
"Iya ... gitulah," balasku.
"Gue pikir udah nggak. Secara kan ... nggak ada yang nerima naskah lu," ujarnya sambil cengengesan.
"Emang temen gak beradab ya, lu!" sentakku padanya kembali melempari ia dengan bantal sofa.
"Ampun, Cha, bercanda," ucapnya memohon sebelum aku sempat melempar sepatuku.
"Ck." Jika aku meladeninya, mungkin sampai besok pun tak akan berakhir. Baik Kiana atau Mia, mereka sama-sama membuat darahku naik. "Udah ah, gue mau ke minimarket," pamitku padanya sambil bersiap pergi.
"Ngapain?"
"Beli camilan, ikut?"
"Nggak deh, gue alergi udara malam," tolak Mia beralasan. Padahal dia sering ke club malam. Dasar alasan!
"Dih, bilang aja males!"
Aku segera pergi ke minimarket. Lumayan dekat jarak nya dari apartemenku, sekitar lima belas menit sampai.
Setelah membayar tagihan di kasir, aku segera pulang ke apartemen. Di jalan, aku seperti merasa ada yang mengikuti. Aku mencoba tetap tenang, meski itu tak berhasil. Apa benar ada yang mengikutiku? Harusnya tadi Mia ikut, atau paling tidak ... ada Kiana.
Aku sedikit merasa lega karena sudah sampai di area parkir. Setidaknya jika ada yang berbuat jahat padaku, semua terekam CCTV kan.
"Aa!" Aku terkejut karena tiba-tiba saja ada yang menarik lenganku lalu menutup mulutku.
Pak Haris? Dia hanya tersenyum lalu melepaskan tangannya yang menutup mulutku.
"Pak Haris?" teriakku saking terkejutnya.
"Jadi ... ini apartemenmu?" tanyanya balik tanpa mempedulikan keterkejutanku.
"Iya ... bapak sedang apa di sini?" tanyaku penasaran.
"Saya hanya kebetulan lewat," jawabnya yang membuatku bingung. "Ayo, saya antar sampai pintu," ujarnya lalu berjalan meninggalkanku.
Hanya lewat? Bukankah aneh, ini kan sudah malam. Seolah pak Haris sengaja melewati area ini. Tapi, untuk apa?
Aku mengikuti pak Haris dari belakang. Menaiki lift lalu menekan lantai yang akan dituju, tapi sebelum aku yang melakukannya Pak Haris lebih dulu menekan tombol lift itu.
'27' Bagaimana pak Haris tahu lantai apartemenku?
Pikiranku ke mana-mana, terlebih Pak Haris tahu nomor apartemenku. Tidak mungkin 'kan semua itu hanya kebetulan. Setelah sampai di depan pintu apartemen ku, aku segera memasukkan sandi apartemen. Kami berdua segera masuk ke dalam.
"Cha, kok baru balik?" Mia berlari kearahku dengan wajah kesal. Saat tahu ada orang dibelakang ku, ia langsung terkejut.
"Pak Haris?" Mia terlihat terkejut, tapi tak lama ia langsung menatap jahil ke arahku.
Jangan menatapku begitu Mia. Aku juga terkejut saat melihat pak Haris.
"Malam," sapa pak Haris tanpa ekspresi.
"Eu ... gue gak ganggu kan, Cha?" tanyanya mengerling jahil.
Kenapa malah tanya itu sih? Aku hanya menatap tajam ke arahnya.
"Ganggu apa, justru saya yang sepertinya mengganggu kalian," ucap pak Haris merasa bersalah.
"Ah, tidak pak, sama sekali tidak," timpal Mia.
"Kalau begitu, saya pamit dulu. Selamat malam ... jangan begadang Nisa, besok kamu masuk kelas saya," nasihatnya memperingati.
"Iya, pak." Aku hanya mengangguk patuh.
"Saya nggak dinasehatin, pak?" Kan, kan, mulai deh sifat tak tahu malunya.
Pak Haris hanya tersenyum menanggapi. Lalu dia segera pergi keluar, dan kami mengantarnya sampai depan pintu apartemenku.
"Hati-hati, pak!"
Kami berdua menunggu di depan pintu luar sampai pak Haris masuk lift. Aku langsung mencubit pinggang Mia setelah pintu lift tertutup. Sakit? Biarkan saja.
Aku tidak peduli meski kami berdua masih di luar apartemen. Di lantai ini hanya ada empat kamar, dan mereka semua -termasuk aku- saling tidak peduli satu sama lain. Jadi tidak khawatir akan ada gosip atau apapun itu.
"Aw! Apasih, Cha?" protesnya.
"Maksud lu bilang gitu apa coba?"
"Ya, kan gue merasa dianak-tirikan," keluhnya tak nyambung. Padahal bukan itu yang aku maksud.
"Lu bukan anak tiri, tapi anak pungut!" Aku langsung meninggalkannya di depan pintu dan segera masuk kamar.
"Ih, apasih! Icha!"
---
Esok paginya, kami berdua berangkat ke kampus bersama dengan angkutan umum. Saat di area parkir, aku melihat Kiana keluar dari mobil seseorang. Meski hanya punggungnya, aku tahu itu dia.
"Kia!" teriak Mia sambil melambai tangan pada gadis yang baru saja keluar dari pintu mobil di depan.
Sayangnya Kia tak menoleh ke arah kami. Tapi, aku yakin dia mendengarnya.
"Dia sama siapa?" tanya Mia penasaran.
"Gebetan baru mungkin," simpulku mengira-ngira.
"Bukannya dia sama Kei," protes Mia.
"Sejak kapan?"
"Waktu Bobby udah putus, dia sama Kei kan?"
"Sejak kapan dia serius sama satu cowok?"
"Iya sih."
"Kayak lu! Selingkuh mulu!"
"Kok gue? Mending ya, daripada lu suka sama suami orang."
"Dih!"
"Dih!"
"Gue robek juga bibir lu!"
"Hilih!"
"Pagi-pagi udah ribut aja, kayak nggak ada kerjaan kalian," ucap seorang gadis yang tiba-tiba saja berdiri di dekat kami. Dia bersikap seolah mengenal kami, atau lebih tepatnya aku.
"Lu siapa? Gak usah sok kenal!" sarkas Mia.
Dia memang seperti itu. Tak menyukai orang asing yang menurut dia pengganggu.
"Yuk, Mi, ke kantin," ajakku padanya.
Mia langsung mengikutiku dari belakang yang sebelumnya menatap sinis ke arah gadis itu. Saat aku menoleh ke arahnya, ia tampak sedih menatapku. Biar lah, lagi pula aku tak peduli padanya.
"Tuh cewek siapa?" tanya Mia penasaran. Sesekali ia menoleh ke belakang melihat perempuan itu.
"Mana gue tahu." Aku hanya mengangkat bahu tidak peduli, lebih tepatnya tidak mau memberi tahu.
Baik Kia atau Mia, tak ada yang tahu tentang keluargaku. Sebenarnya kami memiliki rahasia masing-masing. Kia dengan suara desahan di apartemennya, Mia dengan sosok ayahnya, dan aku dengan sosok perempuan tadi.