Chereads / Tertahan / Chapter 4 - Tak Nyaman

Chapter 4 - Tak Nyaman

Aku baru saja selesai mandi. Dengan setelan kemeja dan celana jeans, aku menghampiri mereka berdua di dapur.

"Mau sarapan apa kalian? Biar gue yang masak," ujar Mia semangat sambil mengangkat spatula di tangan.

"Lu ... bisa masak?" tanyaku ragu.

"Bisa lah," jawabnya dengan nada sombong.

Aku masih tak percaya dengan ucapannya. Pasalnya kami berdua dulu hampir keracunan gara-gara bekal yang dibawa Mia. Aku lalu duduk di samping Kiana yang sedang membuka bungkusan roti.

"Kita sarapan roti aja," ujar Kiana lalu memasukkan roti ke mesin pemanggang.

"Iih, kok gitu? Gue kan mau masak, nggak ngehargain banget sih," kesal Mia dengan wajah cemberut.

"Sadar diri, lu itu gak bisa masak," sarkas Kiana. Ia lalu menghampiri Mia dan mengambil spatula dari tangannya. "Sini!"

"Ais!"

"Nggak usah protes! Ini apartemen gue." Kiana lalu menyimpan spatula itu di atas meja. Lalu ia kembali duduk di kursi sampingku.

Kalau Kiana tak ada kata 'tamu adalah raja' dalam kamusnya. Yang ada, 'tuan rumah adalah Dewa'. Memang ya, Kiana itu pintar dalam kata-kata.

"Dih, mending delivery aja." Mia langsung mengambil ponselnya di meja.

Sepertinya dia memang akan memesan makanan. Dasar, anak manja.

"Aah ... aah ... aah ...."

Seketika aktifitas kami terhenti sebentar. Suara desahan yang terdengar sangat jelas di telinga kami, benar-benar mengganggu.

"Kita berangkat sekarang." Kiana langsung mengambil tasnya di kursi, melupakan rotinya di mesin pemanggang.

"Hah?"

"Oke!" Aku langsung menarik Mia yang malah memasang wajah melongo. Aku membawa tasku dan tas Mia cepat-cepat.

"E--eh, tapi--"

"Udah diem!"

Mia itu memang kurang bisa membaca situasi. Meski aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku tahu Kiana merasa tak nyaman dengan suara desahan tadi.

---

"Kantin yuk, laper nih," rengek Mia sambil mengelus perutnya.

Memang sih, aku juga lapar. Tadi kan tidak jadi sarapan. Sepertinya Kiana juga setuju.

"Ki," panggil seseorang yang menghadang jalan kami.

Sama sekali tak ada respon darinya. Pasti itu lelaki salah satu korban PHP Kiana.

"Ayo bicara," pintanya memohon.

"Aku sibuk," respon Kiana tak acuh.

'Aku'?

"Sibuk apa? Sibuk cari yang baru?" sarkasnya.

Cari yang baru? Maksudnya?

"Sepertinya ada yang salah dari kata-katamu," sanggah Kiana. "Kamu tak berfikir kalau aku ngasih harapan ke kamu kan?"

"Kamu ...."

"Gak usah ngayal. Dari awal aku nggak ada niat buat lakuin itu," cecarnya tak acuh. "Udah ya, waktuku jadi kebuang sia-sia gara-gara ladenin kamu." Kiana langsung pergi meninggalkan lelaki itu.

"Ki!"

Meski lelaki itu memanggil nama Kiana berkali-kali, namun telinganya seolah tuli oleh seruan itu.

"Itu siapa, Na?" tanyaku penasaran.

"Dia Kei, temen kelas gue," jelas Kiana akhirnya.

"Jadi itu yang namanya Kei," gumam Mia. "Gue denger dia batalin pertunangannya," lanjutnya memberi informasi.

"Itu bukan urusan gue," sarkas Kiana seperti biasa.

"Kualat lu, Na," serapah Mia.

Wah, aku tak menyangka ternyata Kiana benar-benar seorang playgirl.

"Nisa, mau sarapan juga?" seru seseorang yang kini berada di samping ku.

Aku seperti mengenali suara ini. Saat aku menoleh, ternyata benar dia pak Haris. Aku senang melihatnya.

"Iya, pak," jawabku.

"Saya juga mau sarapan, pak," timpal Mia tiba-tiba.

Huh, memang ya, Mia itu suka ikut campur.

"Kalau begitu, kita sarapan bersama," usul pak Haris.

Mia langsung setuju dan terlihat ia yang lebih semangat. Kami langsung menuju ke meja kosong di dekat stand makanan, dan duduk di sana. Aku duduk di samping Pak Haris, dan mereka berdua duduk di hadapan kami.

Kami segera melihat menu yang tersimpan di atas meja, sebelum memutuskan memesan.

"Pak, bapak masih jomlo?" tanya Mia entah ada maksud apa.

Aku langsung menatap tajam Mia, bermaksud menghentikan ucapan konyolnya itu.

"Saya sudah menikah," jawabnya singkat.

"Ooh, udah punya anak dong, pak?"

Kan, kenapa coba dia tanya begitu. Padahal dia sudah tahu kalau pak Haris belum punya anak. Awas kamu, Mia!

"Sepertinya Tuhan belum mempercayai saya."

"Ooh, maaf."

"Tak masalah."

Aku melirik ke arah Kiana yang fokus melihat daftar menu. Jangan harapkan dia akan peduli.

"Maaf ya, pak, temen saya memang kepo dan selalu mencampuri urusan orang," ujarku meminta pengertian.

"Kepo? Siapa?"

Berisik! Tidak perlu kamu pura-pura tidak tahu, Mia!

"Kalau gitu, kenapa gak nikah aja?" ceplos Mia yang membuatku dan Kiana menoleh ke arahnya.

Bodohnya, ia malah bertanya dengan wajah sok polosnya. Aku ingin sekali menghajar wajahnya.

"Aw!" Sepertinya dia dicubit oleh Kiana.

"Maaf, pak, maaf. Dia belum sarapan, makanya ngaco."

Pak Haris hanya tersenyum singkat menanggapi perkataan Mia.

"Nggak apa, lagipula saya tidak ingin istri saya kecewa."

"Suami idaman."

Entah kenapa, hatiku sakit saat Pak Haris mengatakan itu. Aku memilih fokus pada daftar menu di tanganku.

"Kalian mau pesan apa? Biar saya yang traktir," ucap Pak Haris.

"Nggak usah, Pak," tolakku halus, karena merasa tidak enak.

Mia yang sepertinya sangat setuju langsung diam tidak bersuara, karena Kiana menatapnya dengan tajam.

"I--iya, Pak, gak usah," ucap Mia terbata.

"Gak apa, anggap aja bayaran untuk kalian karena sudah mengizinkan saya untuk bergabung," jelasnya memaksa.

"Kalau begitu, baiklah," ucapku sambil tersenyum.

Haaah, anggap saja ini traktiran kencan. Hehe