Aku berjalan cepat menghindari Mia. Dia sudah sangat keterlaluan menurutku.
"Gila ya lu, Mi," kesalku berusaha menahan emosi.
"Kok marah sih? Niat gue kan baik," ucapnya membela diri.
Niat baik katanya? Padahal dia hanya akan membuatku malu saja.
"Baik apanya?" tanyaku hampir meledak.
"Gue baru aja buka peluang buat lu," balasnya tenang yang malah membuatku bingung.
Aku menghentikan jalanku dan langsung menghadap ke arahnya. "Maksud lu?"
"Biarpun jadi istri kedua, tapi tetep sama pak Haris kan," jelasnya yang berhasil membuat emosiku tak tertahankan.
Aku langsung memukulnya keras. Tak peduli bahwa kami jadi pusat perhatian orang-orang sejenak. Karena memang ini jam masuk kelas.
"Duh, kok mukul sih?"
"Kadang ya, otak lu itu kelewat pinter, jadinya malah keliatan idiot."
Aku berbalik badan dan langsung meninggalkannya dengan menghentakkan kaki keras. Biar saja jika orang di sekitar merasa terganggu, aku tidak peduli. Emosiku benar-benar siap meledak.
---
Annisa langsung pergi meninggalkannya. Sepertinya dia tak mengikutiku.
"Hah? Maksud?" Dia hanya memasang wajah melongo. "Kok dia bilang gitu sih?" tanyanya lalu menoleh ke belakang minta penjelasan pada Kiana.
"Itu emang fakta," jawab Kiana dingin.
Ia yang sebelumnya di belakang Annisa dan Mia, langsung melewati Mia begitu saja.
"Dih, pada jahat!"
---
Siang ini aku dan Kiana menunggu Mia di cafe biasa tempat kami hangout. Tidak tahu kenapa ia meminta kami menunggu. Dia bilang, ada sesuatu yang ingin dibicarakan.
Sambil menunggu Mia datang, aku memilih memesan minuman untuk kami. Aku yakin sampai kapanpun Kiana tak akan berinisiatif untuk melakukan itu.
Saat pesanan datang, aku segera menyeruput es kopi di hadapanku. Tak lama Kiana juga menyeruput es kopi pesanan ku, tanpa ucapan terima kasih.
"Sama-sama, Kiana," ejekku padanya.
Tapi, sepertinya dia memang tidak peduli dengan ejekkanku tadi. Dia itu muka tebal? Tidak punya hati? Atau apa sih!
"Gue denger, lu lagi deket sama cowok," ucapku mencoba membuka percakapan. Lebih tepatnya basa-basi.
"Denger dari mana?" tanyanya balik sambil menatap ke arahku.
"Temen kelas gue pada ngomongin lu," jelasku tanpa diminta.
"Biarin lah, nggak usah didenger mereka," ucapnya tak peduli.
"Siapa? Temen kelas lu? Senior lu? Atau malah dosen lu?"
Aku kesal dengan responnya yang begitu. Tanpa sadar aku menyindirnya keras. Ya, dia memang mendekati semua lelaki di kampus yang ia mau. Asalkan tajir, meskipun lelaki itu sudah tua atau jelek sekalipun, Kiana tidak peduli.
"Itu bukan urusan lu," sarkasnya.
"Ki--"
Kiana langsung menghela nafas keras. Ia seperti lelah mendengar ucapanku. Dengan tatapan tajam nya, ia mengunci mataku.
"Gue gak pernah permasalahin lu suka sama pak Haris kan? Terus kenapa sekarang lu malah permasalahin gue yang lagi deket sama cowok?"
Maksud dia apa bahas pak Haris? Oke, memang aku suka pada pak Haris dan dia tidak pernah mempermasalahkan itu, tapi wajar kan jika aku ingin menasehati dia. Lagipula aku tak pernah ganti-ganti lelaki.
Aku balas menatapnya tajam. "Gue--"
"Hai, Guys ...."
Ucapanku terpotong karena kedatangan Mia yang entah sejak kapan sudah tiba. Ia langsung duduk di sebelah Kiana yang sekarang memalingkan wajah ke luar cafe.
"Kalian ... kenapa?" tanyanya heran merasa suasana canggung yang tercipta.
Aku menghela nafas mengalah. "Gak ada apa-apa," ucapku mencoba bersikap biasa dengan pura-pura tersenyum.
"Jadi, ada apa lu nyuruh kita berdua nunggu di sini?" tanyaku mengalihkan pertanyaan Mia.
"Bentar lagi juga tahu."
"Beb, di sini!" Ia melambai-lambai ke arah di belakangku.
"Beb?"
Apa dia punya pacar baru? Baru saja ia putus dari Raka sudah punya pacar baru lagi. Cepat sekali sih dia berganti pacar.
Saat aku akan menoleh, seorang lelaki berjalan melewatiku dan sudah berdiri di samping Mia. Ia tersenyum ke arahku yang menatapnya.
"Kenalin, ini pacar aku, namanya Kenan," ucap Mia memperkenalkan. Kiana langsung menoleh melihat sosok lelaki yang disebut Mia pacarnya.
Aku? Tak salah? Biasanya dia selalu bilang 'Gue'.
"Mereka temen aku ... Kiana dan Icha," lanjutnya gantian memperkenalkan kami.
Lelaki itu hanya tersenyum tanpa niat bersalaman dengan kami yang biasa dilakukan pacar-pacar Mia sebelumnya.
"Kalau gitu, yuk langsung pergi!" ajak Mia lalu beranjak berdiri.
"Ayo!" Lelaki itu mengangguk sambil tersenyum.
Aku dan Kiana masih duduk di kursi. "Pergi? Ke mana?" tanyaku penasaran dan Mia malah tersenyum.
Jujur, aku merasa jijik melihat senyum Mia yang sok manis itu.
"Kita nonton, iya kan, Beb."
"Iya, Sayang."
Mereka berdua langsung berjalan ke luar cafe saat kami berdiri dan memutuskan ikut.
"Cuman butuh seminggu dia dapet cowok baru," bisikku pada Kiana. Sengaja mengecilkan suara agar Mia tak bisa dengar.
"Ya gak masalah, itu urusan dia," ucapnya tak peduli.
Kan, Kiana mulai lagi. Aku hanya memutar bola mata kesal. Ia memang pandai membuat orang lain menjadi emosian.
Kami sudah sampai di bioskop. Seperti katanya tadi kita akan nonton. Sepertinya hal yang ingin dibicarakan Mia itu tentang pacar barunya tadi.
"Lu mau tahu, alasan kenapa Mia diputusin?" ucap Kiana membuatku penasaran.
"Emang apa?"
"Dia ketahuan selingkuh," ungkap Kiana seolah benar adanya.
"Hah? Serius?"
Bukannya menjawab, seperti biasa Kiana hanya mengangkat bahu tak acuh. Lalu ia malah pergi entah ke mana, saat pacar Mia pergi membeli popcorn dan soda.
Memang ya, dia itu tipe perempuan yang tak mau berterus terang.
"Mi, jangan bilang ... lu diputusin Raka gara-gara lu ketahuan selingkuh."
Tidak mungkin kan tebakan Kiana benar. Lagipula jika memang benar, itu berarti Mia tak kapok dengan kejadian yang lalu. Saat ia putus dengan pacarnya yang lalu karena ketahuan selingkuh dengan Raka.
"Kok lu tahu?" Mia malah melotot tak percaya.
Itu berarti ....
"Jadi tebakan Kiana bener?"
"Hah?"
"Gila ya, lu, Mi. Nggak kapok sama kejadian lalu," ejekku sambil menggeleng tak percaya.
"Hehe ...." Ia malah cengengesan.
"Lama ya?"
Pacar Mia sudah kembali dengan membawa tiga bungkus popcorn dan tiga gelas soda. Sepertinya semua pacar Mia mau dijadikan pelayan oleh Mia.
"Nggak kok." Mia menggeleng sambil tersenyum.
Sekedar info saja, senyum itu adalah senyum di mana ia baru mendapatkan apa yang ia mau.
"Yuk, masuk! Bentar lagi mulai nih." Mia langsung menggandeng lengan pacarnya yang masih membawa barang beli-an tadi.
"Temen kamu yang satu lagi mana?" tanyanya menyadari Kiana tak ada.
"Nanti juga nyusul."
"Oke."
Mia mengkategorikan pacarnya ke dalam tiga golongan. Satu, ATM; Dua, Pelampiasan; Tiga; Pelayan. Dan lelaki itu masuk ke dalam golongan yang ketiga.
Aku duduk terpisah dengan Mia dan pacarnya itu. Kursi di sebelahku kosong, karena sampai sekarang Kiana belum datang.
Nasib tak punya pasangan, ya begini. Mataku perih melihat pasangan lainnya di sekelilingku. Aku putuskan untuk mengirim pesan padanya.
-Annisa-
[Ki, di mana?]
-Kiana-
[Gue pulang duluan]
-Annisa-
[Kenapa?]
-Kiana-
[Ada urusan]
Kok tiba-tiba? Kadang ya, aku tak dianggap seperti teman oleh Kiana. Dia bersikap pada kami seperti pada yang lain, tak ada perbedaan sama sekali. Kehidupannya tak pernah ia ceritakan sedikit pun pada kami berdua. Dari dulu sampai sekarang.
Aku ingin sekali ikut campur dalam kehidupannya. Tapi aku tahu, Kiana sangat membenci orang yang seperti itu. Haaah, kenapa aku jadi memikirkan Kiana? Seharusnya aku nikmati film nya.