Kelasku baru saja selesai. Aku segera membereskan barang-barangku, memasukkannya ke dalam tas, dan segera pergi menuju ke kantin untuk makan siang.
Akhirnya bisa mencium udara segar setelah seharian duduk di ruangan penuh sesak. Aku meregangkan tanganku sambil menghirup nafas dalam-dalam di dekat pintu kelas.
Tiba-tiba orang yang selama ini mencuri perhatianku lewat di depanku. Matanya melirik ke arahku lalu tersenyum tipis. Aku hanya bisa cengengesan merespon senyumnya.
"Siang, Pak." Aku segera membungkukkan badanku sopan.
"Siang," balasnya masih dengan senyum di wajah.
Dia melewatiku yang masih menatap ke arahnya. Ah, bagaimana aku tidak terpesona coba. Tiap bertemu pasti selalu tersenyum manis begitu.
Dia menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arahku. "Nisa," panggilnya.
"Iya, Pak?" responku cepat.
Kira-kira ada apa ya. Nah 'kan, jantungku langsung berdebar tidak karuan.
"Kamu ingin makan siang? Ayo pergi bersama," ajaknya yang langsung membuatku senang.
Ini ajakan kencan kah? Kyaaa. Sial, jantungku semakin berdebar-debar.
"Tentu, Pak," jawabku sambil mengangguk dengan semangat.
Aku segera berlari pelan menyamai langkahnya. Dia dosen bahasa inggrisku -Pak Haris- sekaligus lelaki beristri yang aku cintai.
"Nanti sore saya ada kelas," ucapnya yang seolah sedang melapor.
"Berarti bapak pulang malam?" tanyaku merespon ucapannya.
"Ya ... begitulah, hari ini saya sibuk."
"Kalau begitu, semangat untuk hari ini."
"Terima kasih."
"Sama-sama."
Hanya sesederhana itu. Aku langsung merasa bahagia. Seolah aku dianggap penting oleh pak Haris karena memberitahukan jadwal mengajarnya padaku.
Aku berjalan beriringan dengan pak Haris sepanjang koridor. Kami membicarakan banyak hal, dari tugas kampus sampai hal yang di luar itu.
Aku mengambil ponsel di saku rokku karena sepertinya ada pesan masuk.
-Mia-
[Lu di mana?]
[Kami sudah di kantin]
-Anisa-
[Duluan aja]
[Gue lagi sibuk]
-Mia-
[Oke]
Aku memang sedang sibuk kan? Sibuk berduaan. Hehe ... Tak terasa kami sudah sampai di kantin. Kami langsung mencari tempat duduk dan memilih menu makanan yang akan dipesan. Suasana kantin belum terlalu ramai, mungkin mereka belum selesai di kelas.
"Nisa, kamu pesan apa?" tanya pak Haris.
"Kalau Bapak?" tanyaku balik.
Aku melihat-lihat stand makanan di sekeliling. Kira-kira makanan apa yang cocok ketika berduaan dengan gebetan? Ooh, aku tahu.
"Saya ikut bapak saja," ucapku kemudian.
'Sukai lah apapun yang disukai oleh gebetanmu'. Itu salah satu trik agar diperhatikan oleh gebetan.
"Yakin?" tanyanya terlihat tak percaya.
Aku hanya mengangguk mengiyakan dengan tersenyum manis. Apakah trik itu berhasil?
"Oke, tapi jangan nyesel ya," ujar pak Haris dengan senyum memeringati.
Menyesal? Memang kenapa?
Beberapa saat kemudian, akhirnya aku tahu. Pantas tadi Pak Haris bilang begitu, pesannya malah pare. Kalau begini, lebih baik bilang saja ingin mie ayam.
"Mukanya jangan bete gitu, kamu sendiri kan yang mau," ucapnya terdengar seperti mengejekku.
"Ya tapi ... jangan pare juga," protesku tidak terima.
Aish, malah tertawa lagi. Huh, menyebalkan. Aku kesal, benar-benar kesal. Tapi, kok hatiku malah senang? Kenapa bisa senang?
Pak Haris segera memakan pare sambal merah dengan ditemani nasi. Dia langsung fokus dengan kegiatan makannya.
Ayolah, Icha, ini demi trikmu. Aku hanya bisa menjerit dalam hati, dan terus meyakinkan diri harus memakan pare sambal merah itu demi keberhasilan trikku.
Tak sengaja aku melihat pesan masuk di ponselku, saat aku akan memasukkan nya ke dalam tas.
-Mia-
[Pantes sibuk]
[Makan sama gebetan toh]
???
Tunggu, jangan-jangan mereka melihatku dengan Pak Haris? Bisa gawat kalau mereka ke sini.
"Pak," panggilku yang sepertinya sedikit mengagetkan.
"Iya?" Pak Haris terlihat mengerutkan kening bingung.
"Kita makannya di tempat lain, yuk."
"Kenapa?"
Duh, kenapa harus tanya kenapa sih!
"Soalnya--"
"Siang, Pak," sapa seseorang dari arah samping ku.
Benar kan, belum juga aku jelaskan mereka sudah tiba di sini.
"Siang," balas Pak Haris dengan kerutan di kening.
"Kami temannya Nisa," ucap Mia tanpa ditanya. "Mia." Gadis itu langsung menjulurkan tangan tanpa malu.
Dibalas dengan uluran tangan Pak Haris meski wajahnya masih kebingungan.
"Salamnya berjabat tangan saja ya, pak, soalnya kalau cium tangan nanti dikira minta restu," ujarnya cengengesan. "Aw!" Untungnya Kiana masih waras untuk mencubit pinggang Mia.
Terima kasih, Kiana.
"Kiana," salamnya memperkenalkan tanpa menjulurkan tangan.
"Ayo, duduk," ajak Pak Haris. "Mau makan siang bersama?"
"Ditraktir, pak?"
Kan, benar-benar tak punya malu. Dasar gratisan!
"Boleh."
Untung kan ya, Pak Haris itu baik. Tapi, kalau mereka di sini ikut makan siang, bisa-bisa pak Haris dimanfaatkan uangnya. Duh, bisa gawat!
"Ah, baru inget," ucapku tiba-tiba. "Saya sama mereka harus pulang cepet-cepet, soalnya mamah kita mau arisan," lanjutku beralasan.
"Hah?"
Mia langsung melongo, sedangkan Kiana hanya mengangkat alis. Ah, dia gadis yang kekurangan ekspresi.
"Duluan, Pak," pamitku langsung beranjak berdiri sambil menyeret mereka berdua tanpa menunggu balasannya.
"Hah? Apasih?" protes Mia tak terima. "Belum juga duduk." Dia mencoba melepaskan cengkeramanku dari tangannya.
Aku tak peduli apa yang mereka berdua pikirkan, yang penting Pak Haris terselamatkan dari kedua ular dan rubah di genggaman tanganku ini.
Setelah jauh dari posisi Pak Haris, aku langsung melepaskan tangan mereka dari genggamanku. Kami berada di dekat pintu masuk kantin.
"Dasar curang, tadi kita hampir ditraktir ya!" Mia langsung teriak tak terima.
"Please deh, nggak usah malu-maluin!" sentakku penuh penekanan.
"Malu-maluin? Justru lu yang malu-maluin, makan kok sama suami orang," sarkas Kiana sambil memasang wajah menghina.
"YAK!"
Kampret emang nih cewek!
"Nah, Kiana bener," sela Mia menyetujui.
"Btw, sejak kapan mamah kita arisan? Ketemu aja udah gelut, apalagi duduk-duduk cantik," ejek Mia yang benar adanya.
Bisa dibilang mamah kami bermusuhan, entah karena apa. Setiap mereka bertemu, pasti saling menyindir saru sama lain.
"Itu cuman alasan! Dah ah, lain kali kalau gue lagi sama pak Haris kalian jangan ganggu," pintaku dengan paksa.
"Justru kita itu punya niat baik, gimana kalau tiba-tiba kalian ngelakuin hal-hal yang diinginkan," ucap Mia beralasan.
"Misalnya?" Aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Mia.
"Tidur semalem, habis itu ditinggal," timpal Kiana enteng.
"Lu pikir gue cewek apaan?"
Aku tidak terima jika dia mengatakan hal itu. Seperti paling benar saja. Padahal dia sama saja, mengencani banyak lelaki.
Kiana hanya mengangkat bahu tak acuh. Dari kedua tingkah temanku, tingkah Kiana lah yang sering membuat orang kesal.
"Eh, tapi kalau misal kejadian itu beneran, gimana?" Wajah Mia terlihat seperti membayangkan kejadian itu.
"Bagus dong, gue bisa nuntut buat dinikahin," celetukku spontan.
"Gila!" teriak Mia.
"Kalian yang gila, bukan gue!"
Aku segera meninggalkan mereka berdua di sana. Untungnya kantin belum terlalu ramai, jadi sepertinya tidak ada yang memperhatikan.
Kadang ya, punya teman seperti mereka itu selalu membuat mengelus dada sabar, apalagi darah tinggi, itu sering.
Tapi, bagaimana ya ... jika memang benar aku dan pak Haris melakukan yang iya--iya? Ais, sepertinya otakku benar-benar sudah tercemar oleh mereka. Sejak kapan pikiranku menjadi liar seperti itu!