Apa kalian jijik pada seorang pecandu Game? Seorang pecandu Anime? Seorang pengurung diri?.
Tenang saja! Mereka masihlah Manusia, Kok.
Sama seperti biasanya, aku sedang bermain game RPG yang membuatku serasa ingin masuk ke dalam suasana game itu. Tapi aku sadar, kalau hal semacam itu tidaklah mungkin. Karena hal-hal semacam itu, hanyalah fantasi Manusia yang memang tanpa batas.
Sama halnya dengan burung phoenix. Hal itu hanyalah sebuah fantasi. Kau tahu tentang burung phoenix? Tentu saja kalian tahu, karena burung itu sudah sangat terkenal, dan itu adalah salah satu burung yang aku idolakan. Aku harap burung phoenix itu tidak marah di idolakan oleh orang sepertiku.
Setelah tiga hari dua malam bermain game, mataku terasa sangat panas dan gatal, tapi aku harus keluar rumah hari ini. Bukan untuk sekolah atau apa, tapi untuk membayar wi-fi yang lupa aku bayar, dan karena hal itu juga aku berhenti bermain game.
Aku keluar dari kamarku dan berjalan keluar rumahku. Kedua Orang tuaku sudah lama meninggal. Dan aku hanya hidup dari pensiunan Ayahku.
Setelah selesai membayar di Alfimart, aku langsung berjalan pulang. Sungguh! Itu adalah hal yang paling berat untukku, maksudku adalah saat aku berbicara dengan penjaga kasir dan tanpa sengaja menyentuh tangannya saat aku mengambil kembaliannya. Tentu saja si penjaga kasir itu adalah seorang wanita.
Saat aku sedang dalam perjalanan pulang, aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi kumpulan awan hitam berkumpul di atas kepalaku.
Tunggu dulu! Memangnya kepalaku itu sebuah lapangan pendaratan awan hitam apa?.
Dan setelah aku sadar ada yang aneh, ternyata awan itu mengeluarkan petir dan menyambarku.
Aku tidak sadar setelah hal itu terjadi, dan satu-satunya hal yang aku ingat beberapa menit sebelum itu, hanyalah tersambar petir itu terasa sangat menyakitkan dan mengejutkan. Kau tahu, semacam shock theraphy.
***
Aku membuka mataku dan sadar, kalau aku sedang duduk di sebuah kursi yang terasa sangat nyaman, seperti aku ingin selamanya duduk di kursi ini.
Aku melihat sekitarku, dan yang aku lihat hanyalah ruangan yang sangat gelap. Atau bahkan mungkin, ini bukan di dalam ruangan. Aku tidak tahu di mana ini.
Saat aku sedang melihat sekitar dan berpikir di mana aku, sebuah suara serak, basah, dan tegas, terdengar di depanku, lalu di saat yang sama, di depanku terlihat sebuah kursi juga, dan seseorang yang juga duduk sambil menyilangkan kakinya.
Sekarang hanya ada dua cahaya yang terlihat disini, yaitu tempat dimana aku duduk, dan juga dimana orang itu duduk.
"Kau tau kenapa kau bisa ada di sini?" Tanya orang itu. Dia memakai sebuah baju batik dan juga celana batik panjang, dia itu mirip seperti orang yang cinta pada budaya Indonesia. Aku tidak bisa melihat wajahnya yang di penuhi kegelapan.
"Yah... nggak tau, lagian... aku ini ada di mana sih?" Tanyaku dengan gugup.
"Kau tau alam baka? Kau ada di sana."
"Eh... jadi... aku udah mati?"
"Iya."
"Kenapa aku bisa mati?" Tanyaku lagi.
Sebenarnya masih sangat banyak pertanyaanku untuknya, karena aku memang sedang sangat bingung.
"Itu tidak penting. Yang penting, apa kau ingin hidup lagi?"
Apa'an sih si cinta budaya ini? baginya mungkin tidak penting, tapi bagiku ini sangat penting.
"Yah... mungkin." Jawabku ragu.
"Kalau begitu, aku akan berikan kau sebuah kekuatan, kau bisa memilih salah satu dari daftar," Dia nengeluarkan sebuah buku dari balik bajunya. "Kekuatan sihir yang..."
Aku memotongnya, "Aku nggak akan mau baca sebegitu banyak."
"Jadi loe maunya apa, kampret?"
Hah? Aku ingin tahu, dia ini sebenarnya siapa sih?.
"Kalo gitu, aku mau punya kekuatan kaya burung phoenix."
"Hoo~ Pilihan yang bagus, walau sebenarnya itu tidak ada di buku ini sih."
Orang itu tiba-tiba berdiri. Dan saat orang itu berdiri, lingkaran sihir berwarna hitam terbentuk di bawahnya dan di bawahku.
Dengan sendirinya aku berdiri, "Apa ini?" Tanyaku panik.
"Dengan kekuatan para Dewa dan atas permintan maaf kami."
Para Dewa? Apa maksudnya? Apa dia itu Dewa? Dan kenapa dia meminta maaf?.
"Aku bangkitkan dan berikan kau sebuah bakat di dunia yang terbentuk lima ratus tahun silam."
Dan... segera setelah dia merapal itu, cahaya putih biru menghujani tempat aku berdiri.