Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Kapadokya

ansica
77
Completed
--
NOT RATINGS
107.8k
Views
Synopsis
Seribu lilin merah sudah dipadamkan Seribu mawar putih sudah dihanguskan Tapi mengapa seribu namamu tak kunjung sirna dari riak-riak danau hati ini Kalau memang kita berjodoh Nanti kita akan berjumpa kembali Hati ini milikmu ... , sampai aku bersimpuh depan di makammu. Kapadokya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Betapa baiknya Tuhan itu

Malam itu awan menyelimuti kaki langit di ujung kota itu

Gelap turun dan pekatnya mengalahkan hitam

Ketakutan mencekam dan menjadi padat

Saat seorang wanita mengetuk pintu rumah-Nya

Lalu masuk dan tersungkur di bawah kaki-Nya

'Halo, ini dengan Christian?' seru sebuah suara di ujung seberang jalur telepon yang mendadak berdering di tengah malam yang dingin, gelap dan buta.

'Iya. Ini dengan siapa?' jawab Christian sambil mencoba mengingat-ingat suara siapa yang didengarnya, yang akhirnya gagal menemukan petunjuk pemilik suara itu.

'Christian, ini Rosa, angkatan 19. Christian, tolong sampaikan ke Alfian, aku ada disini. Ini nomor teleponnya pasti ada di layar HP kamu. Tolong jemput aku disini.Klik … Tut.. Tut.. Tut.. ' Kalimat-kalimat terburu-buru keluar dari setiap suara yang mengalir lewat jalur telepon malam itu. Nada panik, ketakutan dan semua hal yang berbau kepekatan malam tercermin dalam suara wanita itu.

Christian yang sudah terbiasa dengan segala hal-hal yang mengagetkan dan diluar kebiasaan itu ternyata membutuhkan waktu beberapa menit sebelum memutuskan hal yang akan dilakukannya.

Setelah sepuluh menit berlalu, Christian melangkahkan kakinya ke rumah di seberang jalan dan mengetuk pintu.

'Kak Fian, baru saja Kak Rosa menelepon ke HP saya. Sepertinya dia panik dan ketakutan. Ini nomer telepon yang dipakai untuk menghubungi saya. Kak Rosa minta Kak Fian untuk menjemput dia di alamat rumah dengan telepon tersebut…. ' Christian belum sempat menyelesaikan kalimat yang hendak disampaikannya, Alfian sudah dengan panik merebut handphone yang ada di tangan Christian dan mencatat nomornya.

Dicarinya di buku telepon alamat dari nomor telepon tersebut dan langsung diajaknya Christian untuk pergi dan menjemput Rosa di kota Malang berangkat dari Tangerang malam itu juga.

Kereta belum juga berangkat, Christian merasakan kepanikan di wajah Alfian malam itu. Dilihatnya Alfian menghubungi seseorang sebelum akhirnya kereta setuju untuk menjalankankan gerbong-gerbongnya diatas rel yang panjang dan berdencit-dencit akibat gesekan kuda besi itu.

Rosa terengah-engah berlari melintasi jembatan layang yang untungnya kosong tanpa kendaraan yang melintasi. Dibuangnya salah satu tas yang dibawanya, hanya tas yang berisi ijazah dan dokumen-dokumen penting yang dibawanya. Seluruh tas berisi pakaian dan barang-barang lain dibuangnya begitu saja di jalanan yang dilintasinya.

Lari .. Lari, begitulah setiap kata yang terbisikan dari sudut hatinya.

Rosa terus berlari hingga sampai di sebuah rumah yang terbuka sedikit pintunya, lalu dibukanya gerbang itu rumah itu dan dia pun masuk ke dalam ruang tengahnya. Entah bagaimana ditemukannya sebuah telepon disana, dibukanya buku catatan yang ada di tasnya dan dicarinya nomor siapapun yang ada di sana dan dihubunginya.

Dia tidak percaya apapun, dia tidak percaya siapapun.

Semua yang dipikirkan adalah dia hanya percaya pada dirinya sendiri. Walaupun mungkin masih ada rasa percaya kepada Tuhan, tapi malam itu hanya perasaan dan pikirannya sendiri yang dia percaya. Matanya seakan sudah mengelabui dia, pikiran dan hatinya sudah menipunya dan dia sudah terjatuh dalam kejadian yang sangat menakutkan.

Tidak ada apapun yang menakutkan selain mengambil keputusan di bawah otoritas yang lebih kuat tanpa ada kemampuan untuk melakukan intervensi terhadap kekuatan tersebut.

Entah apapun itu.

Christian sudah diteleponnya, sekarang tinggal menunggu. Apa yang harus dilakukan lagi, otak Rosa kembali berpikir keras, dilihatnya sekelilingnya. Semua kamar-kamar itu gelap. Ada satu kamar yang terbuka tapi Rosa sama sekali tidak mau untuk masuk maupun melihatnya. Dia takut kamar.

Rosa pun keluar dan duduk di beranda rumah. Entah kemana tuan rumah pada waktu itu, rumah itu kosong seperti tidak berpenghuni tapi terang lampu menyala benderang di setiap sudut rumahnya.

Tak berapa lama, Erlina, Andreas, Lisa dan mamanya datang ke rumah itu.

Rosa heran, bagaimana mereka bisa tahu rumah itu dan bagaimana mereka bisa datang pada waktu yang tepat ?

Rosa tidak mau pulang bersama mereka, Rosa tidak percaya sama sekali dengan siapapun mereka. Rasa takut yang teramat sangat masih mencekamnya malam itu.

Hingga akhirnya datang seorang teman sahabat kekasihnya malam itu, dan Rosa masih belum percaya pada semua mereka.

'Rosa, mari kita pulang.' kata Eric sambil mencoba memegang tangan Rosa.

'Sebentar, tanggal berapa kalian menikah?' tanya Rosa kepada Eric sambil tidak percaya. Dia benar-benar dalam kondisi tidak percaya yang parah dalam ketakutan yang sangat dalam.

'24 Februari 2012'