Sisakan tempat untuk bintang itu bersinar
Sisakan tempat untuk bulan itu menerangi malam
Karena mereka ada untuk kita
Memuja dan mengucap syukur kepada Sang Pencipta
'Diana, kita pulang..' , Aska langsung menggandeng tangan Diana dan menariknya pulang.
Diana yang sedang berdiri memandangi langit malam di atap langit mendadak terjatuh akibat tarikan Aska.
'Aska, apaan sih..' seru Diana sambil mengebaskan tangannya.
'Kamu, atau dia akan datang dan semua akan kalah..' Katanya sambil menyerahkan dua cincin bermata berlian itu ke dalam tangan Diana.
'Aska, apaan sih.., kamu mengigau ya ?' seru Diana hendak melemparkan cincin batu permata berlian itu ke tubuh Aska.
'Diana, ini tentang Oswald..' kata Aska menahan tangan Diana yang sudah hendak melemparkan cincin tersebut. Dan kalimat itu sanggup membuat Diana diam dan menarik tangannya lalu memasukkan cincin itu ke sakunya.
'Ada apa dengan Oswald ?' tanya Diana dengan mimik muka yang sangat serius.
'Dia akan datang malam ini, kalau kamu tidak mau menggantikannya mengganggu Pastor itu.' kata Aska sambil menarik nafas panjang.
'Maksud kamu ?' tanya Diana dengan gusar menghentak-hentakkan kakinya ke dinding batu di dekatnya.
'Ya, organisasi sudah tahu hubungan kalian dan mereka ingin mencegah pusat untuk mengirimkan seorang host ke kota ini untuk mengganggu dia.' kata Aska sambil memegang bahu Diana.
'Kenapa Oswald ?' tanya Diana heran. 'Ada apa dengan dia, mengapa dia dan bagaimana mereka memilih dia untuk dijadikan target sasaran?'
'Bukan cuman Oswald, tapi semua anggota mereka sudah dijadikan target untuk dijatuhkan. Roma sudah melakukan penawaran ratusan ribu dolar untuk target-target tersebut.' kata Aska sambil menjelaskan kepada Diana yang mendadak merasa lemas dan jatuh terduduk di lantai teratas gedung 7 lantai tersebut yang langsung beratap langit.
'Tapi kami cuman teman, Aska. Tidak lebih dari itu.' Kata Diana sambil menengadahkan kepalanya memandang Aska.
Diana tahu kalau pusat sudah mengirimkan seseorang, mereka pasti akan mengirimkan seseorang yang berkualifikasi ganda. Tidak ada yang akan dapat melawan mereka atau mengalahkan mereka, dia -Oswald, pasti jatuh dan kalah.
'Memang kamu cuma teman, tapi kalian saling mencintai bukan Diana ?' tanya Aska sambil mendesak Diana untuk menjawab pertanyaannya.
'Katakan kalau itu salah.' Lanjutnya sambil memegang pundak Diana.
'Apa salahnya Aska, kami berdua masih sendiri. Tapi kami tetap hanya ingin berteman saja. Oswald sudah tidak mungkin lagi menikah dan devosinya akan diteguhkan 2 bulan lagi dari sekarang.' kata Diana menjawab Aska.
Diana menutup mukanya dengan kedua tangannya.
Kejadian 10 tahun yang lalu cukup untuk membuatnya sadar betapa berbahayanya posisi Oswald sekarang. Rasa ketakutan yang lama itu kembali menyerangnya di alam sadarnya.
Kalau bukan DIA yang menolongnya saat itu, tidak mungkin Diana lepas dari pengaruh Sylvester malam itu. Itu juga masih harus ditebusnya dengan pemulihan kesehatan jiwanya hingga saat ini.
'Sylvester, mengapa engkau mengajak aku kembali ke Malang malam itu …, engkau sudah benar membawa aku ke Tangerang tapi mengapa engkau … ah… ' Diana yang masih terduduk berlutut di lantai mengambil pasir buatan yang ada di lantai tersebut lalu menggenggamnya dan menatapnya sambil meratap, 'Kini engkau tidak ada bedanya dengan pasir ini…' Diana menghamburkan pasir yang di tangannya lalu menghapus air mata yang mengalir di sudut dagunya.
'Dan sekarang mereka mau meminta aku untuk menggantikanmu menjadi bagian dari permainan ini ..,' Diana menggelengkan kepalanya sambil memandang Aska yang masih berdiri di sampingnya.
'Tidak, Aska. Aku tidak mau menjadi bagian dari permainan mereka. Biar saja Catherine datang dan mengganggu Oswald. Aku percaya dia sanggup …' jawab Diana sambil menghela nafas panjang dan tersenyum. Walaupun di dasar hatinya Diana berbisik, 'aku, dan bukan Oswald yang akan tidak sanggup, Aska….'
'Diana…., sekarang kita pulang.' Aska seakan meminta Diana untuk mau pulang bersamanya.
Keheningan merasuki malam di tengah-tengah mereka seakan menolak untuk bereaksi terhadap ajakan Aska, seperti yang Diana rasakan malam itu.
'Diana, mari kita pulang ….' ajak Aska kedua kalinya.
'Aska….' lirih Diana sambil menuruti Aska yang memapahnya berdiri untuk pulang malam itu.
'Biarkanlah Diana, malam menceritakan kisahnya sendiri. Kita pulang dan memulai kembali segalanya saat pagi mulai menyingsing.' Aska ingin menyampaikannya pada wanita yang dikasihinya tersebut, Diana tapi hanya tertahan di lidahnya dan tidak dapat terucapkan dalam suaranya.
Diana, seorang yang sangat dikasihinya melebihi hatinya sendiri tapi Aska hanya diam dan menikmati kebersamaan mereka.
Lift pintu 7 terbuka dan mereka pun menuruni setiap ruangan yang sudah gelap dan tanpa penerangan lampu. Satu demi satu ruangan gelap nampak setiap mereka menuruni lantai demi lantai. Lift yang tembus pandang cukup untuk menangkap momen itu satu per satu.
Hingga lantai terakhir pun sampai dan pintu terbuka.
'Diana…' sapa seorang wanita sambil mengulurkan tangannya.
'Ya..?' Diana tersenyum sambil menjabat tangan wanita tersebut.
'Saya, Catherine. Senang bertemu dengan anda malam ini. ' Catherine balas tersenyum dan memegang tangan Diana dengan erat.
Diana hanya tersenyum, lalu digandengnya tangan Catherina dan mereka bertiga pun keluar dari gedung megah tempat tujuh jenazah penembak jitu terbaik disemayamkan. Dan hanya mereka yang tahu.