Tiba-tiba seorang berperawakan jangkung lari tergopoh-gopoh di trotoar mendekati halte. Seperti nyiur angin melambai, gerak langkahnya sangat gemulai. Grusah-grusuh, tetapi santai. Napasnya kembang kempis seperti sedang puasa Senin-Kamis. Matanya sayu saat tepat berdiri di depanku.
Tubuhnya ceking menenteng tas jinjing biru
Tubuhnya lunglai terhempas badai salju
Secentil itu
Selembek itu
Kulitnya putih cerah, mulus seperti porselen. Wajahnya merona bagai penampakan bulan purnama. Cantik. Indah. Mempesona. Namun, siapa sangka kalau ia seorang pria. Termasuk aku. Hampir terkecoh, bila aku tak melihat tonjolan jakun di leher jenjangnya.
Aku terhempas dalam kesenyapan
Memandang hampa keindahan fatamorgana
Ia melengkungkan bibir membirunya. Membentuk senyuman semanis gula, tetapi tetap getir terekam di mata.
"Tolong ...,'' ucapnya lemah lembut.
Aku mengernyit.
''Tolong aku!'' pekiknya setengah menjerit.
Aku memandangi iris matanya yang tampak biru alami, meskipun aku tahu itu hanya mata imitasi.
''Hanya kau yang bisa menuliskan kisahku yang mengharu biru ini ...,'' pintanya parau.
''Menulis apa? Kisah apa?''
''Kisah cinta tak biasa, antara aku dan ayah tiriku ....''
Aku tercengang seperti ditampar angin lesus. Meniupku mundur beberapa jurus.
''Tidak ..., aku tidak bisa menuliskan cerita semacam itu.''
''Ayolah, please! Anggaplah aku memohon.'' Pria berpakaian serba biru ini menangkupkan telapak tangannya. Sedikit memaksa.
Aku bergeming memberi jedah di antara kami. Seperti ada aliran sungai yang dalam. Tak bisa diselam. Tak bisa diterjang. Aku tak mau menggubris meski ia mengiba dan merayu. Pilu. Dengan tatapannya yang sendu.
''Aku bersedia memberikan ratusan uang biru, bila kau menginginkan itu ...''
Aku melirik ke raut wajahnya yang memelas. Ada pengharapan besar di sana. Kurasa dia bukan manusia culas. Akan tetapi mengapa dia memiliki pemikiran yang kurang cerdas. Berani sekali dia menyogokku. Dia pikir aku gampang dibeli dengan uangnya ... Namun, imbalan uang biru yang ia janjikan lumayan juga. Apakah aku bisa menolaknya? Sepertinya, tidak!
''Baiklah, jika begitu aku setuju!''
Pria ini menangis tersedu, aku jadi terharu.
Dan kisah itu pun akhirnya kutulis di sini. Untuk pembaca wattpad setiaku.

___***___
Teng ... Teng ... Teng!!!
Lonceng tanda pulang meraung panjang. Membubarkan kegiatan belajar-mengajar di tengah siang. Semua penghuni kelas langsung riuh mengemasi peralatan sekolah masing-masing. Kesunyian mendadak menjadi bising. Setiap individu berhamburan seolah berlomba untuk keluar lebih duluan. Seperti laron yang beterbangan meninggalkan sarang. Ramai. Riang. Mereka tak peduli, meski sengatan panas sinar matahari menyerang. Senyum dan tawa mereka lepas. Seakan mendapatkan remisi bebas setelah terkungkung dalam lapas.
Seperti halnya mereka, aku pun demikian. Aku merasa sangat senang bila kupingku mendengar suara raungan lonceng. Walau cempreng, tapi memberikan kode mentereng. Saatnya tas beserta isinya ditenteng. Aku pulang. Setelah seharian ditempeleng sejumlah materi pelajaran sekolah yang membuat kepala jadi geleng-geleng. Pusing tujuh keliling. Njelimet bikin mumet.
''Vivo ... mau pulang bareng gue?'' tawar Oppo teman sebangku. Suaranya yang nge-bass mengalihkan perhatianku dari tumpukan buku yang hendak kukemasi.
Aku masih terdiam sambil menaruh buku-buku itu ke dalam tas.
''Hari ini gue bawa motor,'' kata Oppo lagi dengan bangga.
''Keren!'' pujiku.
''Ya, kemarin bokap memberi sepeda motor baru sebagai hadiah ulang tahun buat gue,'' terang Oppo semangat.
''Oh ya, betapa senangnya menjadi diri lo, Po!'' timpalku datar.
''He-em, makanya gue mau ngajak lo buat ngebonceng ...''
''Tidak usah, gue bawa sepeda ...''
''Jadi lo gak mau pulang bareng gue, Vo?''
''Oppo ... kalau gue pulang bareng lo, terus sepeda gue mau digimanain?''
''Oh, iya ... ya udah deh, kalau gitu gue cabut duluan ya, Vo, daaahh!'' Oppo menepuk bahuku, lalu ia pergi meninggalkan aku yang masih berkutat memberesi peralatan sekolahku.

Oppo
Sejenak aku memperhatikan gerak langkah cowok itu. Namanya Toppo Julianto alias Oppo, teman sekelas sekaligus sebangkuku. Tingginya sebanding dengan aku. Kira-kira 166 cm. Beratnya juga nyaris sama, 56 kg. Tidak kurus dan tidak juga gemuk. Sedang-sedang saja. Usianya sama dengan aku, 16 tahun. Dan kini kami duduk di bangku SMA tingkat XI. Oppo memiliki kulit lebih putih dibandingkan dengan aku yang cenderung eksotik. Gaya rambutnya sama persis dengan gaya rambutku. Tipis di kedua sisi dan bergelombang di bagian tengah. Bila kami berdua disandingkan, kami seperti anak kembar. Yang membedakan hanya kesukaan warna saja. Oppo lebih menyukai warna hijau, sedangkan aku menyukai warna biru.
Setahuku, Oppo anak dari seorang pedagang klontong di pasar. Cukup kaya. Orang tuanya selalu memberikan apa yang Oppo inginkan. Keluarganya juga masih lengkap. Memiliki ayah, ibu, kakak dan juga adik. Ini sangat berkebalikan dengan aku yang berasal dari keluarga yang pas-pasan dan hanya memiliki seorang ibu. Tanpa ayah. Karena ayahku sudah meninggal sejak aku berada dalam kandungan. Aku anak tunggal. Anak yang selalu kesepian. Tak pernah merasakan gurauan bersama sang kakak dan tak pernah menjaili sang adik. Dan namaku Vivo Noviandro.

Vivo
Aku anak laki-laki dari seorang perempuan single parent yang bernama Xiaomi. Beliau bekerja di sebuah outlet pulsa dan aksesoris handphone di pasar. Penghasilannya memang tak seberapa, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan kami sehari-hari. Usia ibuku masih relatif muda, karena baru memasuki usia kepala 3, lebih tepatnya 34 tahun. Penampilannya masih energik, modis dan segar. Secara fisik, ibuku tergolong sangat menarik. Kulitnya kuning langsat. Badannya sintal. Montok. Beliau sebenarnya high quality jomblo. Namun, entah mengapa ia masih betah menyandang status janda. Padahal banyak laki-laki yang ingin mempersuntingnya. Baik tua maupun yang masih muda. Berstatus duda keren atau perjaka ting-tong, tetapi tak satu pun dari mereka yang berhasil meluluhkan hati ibu.
Aku juga tidak mengerti alasan dasar apa yang membuat ibu tidak kunjung menikah lagi. Apakah belum ada yang cocok, atau mencari yang lebih segalanya dari mendiang Sang Ayah, entahlah! Aku tidak perlu memikirkannya. Walaupun terkadang aku kasihan melihat ibu yang selalu dirundung rasa kesepian.
Kebutuhan wanita dewasa mengusir sepi
Bercinta
Melampiaskan insting biologis
Menggelorakan asmara
Di ujung klitoris
___***__
Aku tiba di rumah yang sangat sederhana sekali. Terdiri dari 4 petak. Satu petak ruang tamu sekaligus ruang makan dan ruang keluarga. Dua kamar tidur. Dan satu petak terbagi untuk kamar mandi dan ruang dapur.
KLIK!
Aku langsung membuka pintu rumah ini setelah memarkirkan sepeda butut di teras rumah. Aku merasa heran karena mendapati pintu ini tidak terkunci. Mungkinkah ibuku sudah pulang? Kok tumben, padahal biasanya ibu baru pulang kerja menjelang tengah malam. Sekitar pukul 22 atau 23. Di tengah rasa keheranan ini, tiba-tiba kedua telingaku menangkap suara desahan yang sangat aneh. Setelah aku menyelidiki, sumber desahan itu ternyata berasal dari kamar ibu.
Karena penasaran aku menempelkan daun telingaku di papan pintu. Aku menguping untuk memperjelas gelombang suara. Dan sejurus kemudian, organ pendengaranku menangkap erangan mesum nun manja ... "OUGH ... OH ... OH ... AAAAHHH ... AAAHHHH ....''
Aku jadi tercengang. Seperti ditampar angin topan. Mendorong tubuhku mundur beberapa langkah. Sejumlah pikiran konyol pun langsung memenuhi otakku.
__Oh, Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar ini?