Chereads / Ayah Tiriku Idolaku / Chapter 3 - Part 3 : Ibu

Chapter 3 - Part 3 : Ibu

Tok ... Tok ... Tok!!!

Pintu kamarku terketuk dari luar.

''Vivo ...!'' Itu suara ibuku.

Tok ... Tok ... Tok!!!

''Vivo, kamu sudah pulang, Nak?'' ujar Ibu.

''Iya ...'' sahutku sembari bangkit dari tempat pembaringanku dan berjalan mendekati pintu, lalu membukanya perlahan. Ada sosok ibu yang berdiri tegap dan telah berpakaian lengkap. Wajahnya tampak berseri-seri, merona dan penuh dengan keceriaan.

Xiaomi

''Kamu sudah lama tiba di rumah, Nak?'' tanya Ibu langsung.

Aku mengangguk.

''Kamu sudah makan?''

Aku menggeleng.

''Baiklah, ayo kita makan bareng ... ibu sudah buatin masakan kesukaan kamu!'' Ibu merangkul bahuku, lalu menuntunku berjalan menuju ke ruang makan.

''Ibu sengaja pulang lebih awal buat masakin makanan kesukaan kamu, Vo ...'' kata ibu pas kami berada di meja makan, kami duduk berhadapan. ''Ibu juga sudah lama tidak makan siang bareng kamu, ibu kangen ...'' lanjut ibu seraya mengambil sebuah piring, lalu mengisinya dengan secentong nasi dan lauk pauknya. Ada ayam goreng, sayur asem, dan sambal terasi. Tak luput ada tahu dan tempe goreng.

Aku terdiam. Menggembok mulutku rapat-rapat. Tatapanku hampa. Bola mataku seolah enggan untuk menatap wanita yang telah melahirkanku ini. Aku merasa jijik melihat tubuh ibuku sendiri setelah apa yang aku lihat beberapa waktu yang lalu. Saat ibu berjibaku bersama seorang laki-laki untuk menggapai kepuasan syahwat.

''Vivo ... kenapa kamu diam saja, Nak. Kamu sakit?'' ujar ibu sembari meletakan sepiring nasi beserta lauknya tepat di depanku.

Aku menggeleng dengan kepala yang merunduk. Lesu.

''Kok tumben diam saja, kamu sedang menghadapi masalah? Ayolah ceritakan kepada ibu!'' Mata ibu menyelidik jeli ke arahku.

Perlahan aku mengangkat kepalaku, lalu kutatap wajah ibu baik-baik, ''Kenapa ibu tidak menikah lagi?'' ucapku pelan.

Ekspresi wajah ibu mendadak berubah, beliau tampak tercengang mendengar ucapanku. Namun tidak lama, beliau segera merubah mimiknya lagi dengan senyuman tipis.

''Vivo ... Ibu tidak menikah lagi karena Ibu sayang sama kamu, Nak. Bagi Ibu, kebahagiaan dan masa depanmu adalah prioritas utama.''

''Vivo sudah besar, Bu ... Ibu tidak perlu memikirkan Vivo lagi. Bila Ibu ingin menikah. Menikahlah! Vivo ikhlas, Bu ...''

''Hehehe ...'' Ibuku terkekeh, ''Anak Ibu pemikirannya sudah dewasa ya, sekarang ...'' imbuhnya sambil mencubit daguku.

''Ibu berhak mendapatkan kebahagiaan juga.''

''Ya ... suatu saat Ibu pasti akan menikah lagi, Vo ... sekarang lebih baik kamu makan aja, tidak usah memikirkan hal-hal yang lain!''

''Ibu ...,'' Aku menatap Ibu dengan pandangan yang nanar, ''Vivo tidak mau melihat Ibu bawa pulang laki-laki lagi ... kecuali laki-laki itu sah menjadi suami Ibu!'' tambahku sembari bangkit dari tempat duduk dan ngacir menuju ke kamar.

''Vivo!'' pekik Ibu menahan langkahku, namun aku tidak menggubrisnya. Aku masuk ke ruang tidurku dan membanting pintunya dengan kasar.

''Vivo!'' seru Ibu sembari berjalan mengejarku, lalu beliau menggedor-gedor punggung pintu.

Doog ... Doog ... Dooggg!!!

''Buka pintunya, Nak!'' seru Ibu lagi. Aku diam saja.

''Ibu mau bicara sama kamu, Nak! Ayo buka pintunya!''

Aku masih bergeming.

''Baiklah ... Ibu janji, Ibu tidak akan membawa pulang laki-laki lagi ...'' ucap Ibu dengan suara yang parau.

Sejurus kemudian,

Klik!

Aku membukakan pintunya. Aku melihat Ibu berdiri terpaku dengan pandangan mata yang berkaca-kaca. Aku jadi tak tega. Merasa terharu dan bersalah.

''Ibu ...'' Aku memeluk tubuh ibuku dengan erat, ''Vivo sayang sama Ibu, Vivo tidak mau melihat Ibu menderita,'' kataku.

''Iya, Nak ..., Ibu juga sayang sama kamu!'' balas Ibu sambil mengusap lembut rambutku.

''Vivo tidak melarang Ibu untuk menikah lagi ... Vivo hanya tidak ingin melihat Ibu berhubungan dengan banyak laki-laki ... pilihlah salah satu saja, Bu ... pilihlah yang Ibu sukai ... dan menikahlah dengannya ...''

''Vivo ...'' Ibu melepaskan pelukanku. Beliau menatapku dengan tatapan teduh, ''Ibu tidak menyangka ... kalau kamu punya pandangan yang jauh lebih terbuka dan dewasa ... kamu memang sudah cukup umur, Vivo ... dan ibu sudah tidak perlu mengkhawatirkan kamu lagi bila seandainya ibu menikah nanti ...''

''Vivo mengerti, Bu ... Ibu membutuhkan pendamping hidup yang bisa memberi nafkah lahir dan juga batin Ibu ...''

''Hehehe ...'' Ibuku jadi terkekeh, ''tahu apa kamu soal nafkah batin, Vo ...'' ujarnya sambil mencubit pipiku dengan gemas.

''Hehehe ...'' Aku turut terkekeh, ''Ibu ... dengan siapa pun Ibu menikah, Vivo pasti setuju ... asal laki-laki itu baik dan sayang sama Ibu,'' lanjutku.

''Ya, Ibu pasti akan memilih pendamping yang cocok buat Ibu ... udah ah, kita tidak perlu memikirkan ini lagi. Sekarang ... sebaiknya kita makan, yuk!''

''Yuk!''

Akhirnya kami berdua pun berjalan kembali ke meja makan dan mulai menikmati santapan makan siangnya bersama-sama. Terima kasih Ibu, aku sayang sama Ibu.

Usai makan Ibu pergi lagi untuk bekerja menjaga konter pulsa. Sementara aku membuka buku pelajaran untuk mengulang materi yang telah kudapatkan di sekolah. Hingga sore tiba.