Semenjak melihat laki-laki bertubuh kekar itu di toilet lapangan, pikiranku jadi agak kacau. Bayangan sosok menawannya terus bermain-main dalam benakku. Wajah tampannya dan kemolekan tubuh jantannya membuat imajinasiku berkelana kemana-mana. Dan ketika aku memikirkan hal itu, ada yang bergerak-gerak di area selangkanganku. Benda bulat panjangku berontak mengoyak katun. Kontolku mendadak ngaceng tak terkontrol. Aku tidak tahu mengapa aku tiba-tiba jadi merasa horny begini. Semakin aku tahan semakin aku tak kuasa. Hingga akhirnya aku melakukan kegiatan senam lima jari. Bercoli ria di kamar mandi. Sambil membayangkan kejadian tadi siang saat ibuku digagahi oleh seorang pria.

Seperti gulungan film, gambaran adegan yang super hot itu berputar-putar di memori otakku. Menghantarkan aku pada permainan semu yang mengguncangkan kalbu. Jemariku mengurut lembut organ kelelakianku. Membentuk gerakan naik-turun. Maju-mundur. Mencengkram kuat dan meremas kasar. Aku terus memanjakan perkakas yang menggantung kokoh ini, hingga sekujur tubuhku bergidik merasakan getaran elektrik yang mencabik-cabik. Geli, tapi asik. Mendebarkan, tapi nikmat. Tubuh ini menggeliat seirama jamahan tanganku yang merangsang syaraf-syaraf libido yang menenggelamkan pikiran warasku.
Otot-ototku meregang dahsyat. Kontolku menegang hebat. Cengkraman tangan di batang kemaluanku semakin kuat. Hingga aku merasakan aliran deras yang sangat nikmat. Seperti basoka yang meluapkan amarahnya. Menyemburkan percikan peluru hingga tak bersisa. SERRR ... CROOOT ... CROOOT ... CROOOT ... Kontolku muncrat. Menebarkan sari madu kejantanan. Tubuhku banjir keringat. Bersama pecahnya rasa kepuasan. Napasku kembang kempis. Sejalan dengan lubang ujung kontolku yang pipis. Pipis enak yang memunculkan rasa penyesalan sekaligus kecanduan.
Huh ... setelah memuaskan diri sendiri, aku langsung mandi. Mengguyur seluruh tubuhku dengan sejuknya air hingga aku merasa suci kembali. Ingin rasanya aku berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan ini. Namun sayangnya nafsu terkadang datang tak terkendali. Menggeser niat teguh sebuah janji. Janji untuk tidak coli, tapi itu hanya ilusi. Karena pada kenyataannya aku melakukannya lagi, lagi, dan lagi.
Usai mandi aku berpakaian rapi, lalu menyantap hidangan malamku. Sendiri. Karena ibu belum pulang dari tempatnya bekerja. Selanjutnya aku belajar untuk menyiapkan materi pada esok hari, hingga mata ini meredup kehabisan daya. Saat mata ini tak bisa diajak kompromi lagi, aku segera membaringkan tubuhku di atas kasur. Dan tak lama kemudian, aku pun tertidur. Larut dalam alam yang bertajuk mimpi. Good night and happy nice dream!

Aku terjaga dari tidurku, ketika suara deruman sepeda motor berhenti tepat di depan rumah. Saat aku melihat beker di atas meja, waktu sudah menampilkan angka 11. Aku yakin itu suara sepeda motor yang menghantarkan ibuku balik pulang. Kira-kira Ibu pulang dengan siapa? Tukang ojek atau ...? Hmmm ... Jadi penasaran, 'kan?'
Aku bergegas bangkit dari ranjang tidurku dan berjalan cepat ke arah depan rumah. Namun sayangnya, aku terlambat. Sepeda motor dan pemiliknya sudah kabur dan hanya meninggalkan tubuh ibuku yang berdiri terpaku menatap kepergiannya.
''Ibu ...,'' panggilku.
Ibu menoreh perlahan, ''Vivo ... kau belum tidur, Nak?'' ujarnya sembari melangkah mendekati aku.
''Vivo terjaga ...'' jawabku.
Ibu menatapku dengan pandangan cemas. Telapak tangannya langsung mengusap lembut pipiku. Beliau menghela napas panjang sebelum menuntunku masuk ke rumah.
''Kamu sudah makan, Vo?'' tanya Ibu.
''Sudah!'' jawabku.
''Sudah belajar?'' tanya Ibu lagi.
''Sudah!''
''Kalau begitu, tidurlah kembali, Nak ...'' Ibu mengecup keningku.
''Ibu pulang dengan siapa?'' ujarku pelan, tapi membuat Ibu jadi sedikit tersentak.
''Tukang ojek ...'' jawab Ibu setelah beliau melepas satu senyuman. Senyuman kaku.
''Laki-laki?''
''Ya, tentu saja laki-laki, Vo ... mana ada tukang ojek perempuan narik malam-malam begini.''
''Maksud Vivo, tukang ojek itu bukan pacar Ibu atau laki-laki simpanan Ibu?''
''Bukan, kenapa sih, Vo ..., kok kamu jadi posesif begini sama Ibu?'' Ibu mengkerutkan keningnya. Matanya fokus menyorotku. Tajam. Menyelidik. Waswas.
''Karena Vivo sayang sama Ibu.''
''Hmmm ... Vivo, Ibu juga sangat sayang sama kamu, Nak ... kamu tidak perlu mengkhawatirkan Ibu. Ibu pulang dengan siapa, kamu tidak usah memikirkannya. Vivo ... Ibu bisa jaga diri, Ibu baik-baik saja. Oke ...''
Aku jadi terdiam dan merunduk.
''Vivo ...'' Ibu mengangkat daguku, ''Ibu tahu ... kamu pasti merindukan sosok seorang ayah, tunggulah ... Ibu pasti akan membawa ayah tiri buat kamu,'' imbuhnya.
Aku masih terdiam.
''Sudah ... bobo lagi sana! Besok kamu sekolah, 'kan?'' Ibu mengacak-ngacak rambutku dengan kasar.
Aku mengangguk pelan. Lalu tanpa banyak bicara aku langsung masuk kembali ke ruang tidurku. Di dalam kamar pikiranku masih menerawang. Mataku lurus menatap langit-langit. Apa yang dikatakan Ibu memang benar. Aku sangat merindukan sosok seorang ayah yang selama ini tak pernah aku lihat. Tak pernah merasakan seperti apa belaian tangannya. Tak penah mendengar nasihatnya. Tak penah melihat amarahnya. Tak penah mendapatkan didikannya. Dan aku ingin mendapatkan sosok itu. Sosok laki-laki yang menjadi ayahku.

__Oh, Ayah ... semoga engkau tenang di alam sana.
Tanpa sadar aku menitikan air mata. Menangis haru tanpa tahu sebabnya.