Fajar menyingsing membuka dunia. Kokok ayam jantan bersautan menebar pesona. Berirama seperti nyanyian menghibur betina. Bukan, bukan itu! melainkan tanda waktu bahwa hari telah berganti. Sinar matahari cerah menghias langit. Tersenyum indah menyambut pagi. Cahayanya yang terang menghalau kabut. Menghempas embun. Dan menyentil kulit telanjangku.
Seperti biasa, usai menghabiskan menu sarapanku yang hanya segelas susu dan sebutir telur setengah matang. Aku langsung mengkayuh kereta anginku menerobos dinginnya udara pagi yang masih berselimut kabut tipis. Menelusuri jalanan pedesaan yang belum tersentuh aspal. Masih berupa hamparan batuan kerikil yang keras dan kasar.
Inilah desaku. Masih tampak asri di tengah majunya teknologi. Sepanjang jalan yang kulalui masih berjajar rapi perkebunan bunga melati. Harumnya kerap kali tercium di hidung yang melewati. Segar. Wangi. Mengilhami. Membuat pikiran tenang dan berseri-seri.
Aku terus menggenjot pedal sepeda ini, berjibaku mengejar waktu yang tak pernah mau mengalah. Bergerak tanpa henti. Merubah detik menjadi menit. Tak sedikit pun terlewati. Tak pernah mengulang dan tak mau diterjang. Enggan berkompromi pada apa pun dan siapa pun. Mutlak. Tak bisa ditawar-tawar lagi. Memaksa kita untuk tetap diperbudak oleh perjalanan waktu yang tak pernah mangkrak.
Di tengah laju perjalananku menuju gerbang sekolah, tiba-tiba aku memperlambat gerakan sepeda. Aku melihat pemandangan yang cukup menyita perhatianku. Dari jarak yang tak begitu jauh, aku memperhatikan Oppo sedang berboncengan dengan seorang cewek. Aku tahu cewek itu. Namanya Motorola. Panggilannya Ola. Rambutnya panjang tergerai melampaui dada. Berponi rata segaris dengan alis. Mempunyai kulit putih seperti orang Jepang. Hidungnya imut, nyaris pesek. Bibirnya ranum dan lehernya jenjang. Bila tersenyum semut-semut mengejarnya karena kelewat manisnya. Pintar dan cukup populer di sekolah. Body-nya yang seksi menjadikan ia sebagai cewek incaran cowok-cowok seantero sekolah. Aku dulu sempat naksir sama dia, namun kini aku harus mengangkat topi karena kalah start dengan teman sebangkuku sendiri. Oppo.

Motorola
Oppo memang lebih segalanya bila dibandingakan dengan aku. Apa yang aku harapkan Oppo telah memilikinya. Terkadang aku iri sama Oppo, ia terlahir dengan berbagai macam keberuntungan yang menyertainya. Ia nyaris sempurna. Berwajah tampan. Anak orang kaya. Dan mudah mendapatkan pacar. Tidak seperti aku yang masih mempunyai banyak sekali kekurangan. Jangankan mendapatkan seorang pacar, teman pun terkadang enggan mendekat. Namun demikian, aku tetap sangat bersyukur. Walau rasa syukur ini prosentasenya masih sangat kecil.
Kriing ... Kriiing ... Kriiing!!!
Ada sebuah sepeda mini berwarna pink. Ia mencoba berjalan beriringan dengan laju sepedaku. Saat aku mendongak ke arah pemilik sepeda itu, ia langsung menebarkan senyuman lebar yang tersungging di bibirnya. Gadis berhijab. Teman sekelasku. Blackberry, namanya. Biasa di panggil Berry. Anaknya supel dan kendel. Dan karena sikapnya itu, ia dipercaya sebagai wakil ketua kelas mendampingi Advan.

Blackberry
''Hai, Berry!'' sapaku.
''Hai, Vivo!'' balasnya semringah.
''Wah, cerah sekali senyumannya, apa sih, rahasianya?''
''Iya, dong, Vo ... kita harus selalu cerah, ceria setiap saat ... gak ada rahasianya, tapi ini justru rahasia hidup bahagia.''
''Ingin aku seperti lo, Ber ... bisa senyum setiap saat biar bahagia.''
''Gampang ... perbanyak bersyukur, kurangi mengeluh!''
''Hehehe ... gaul sama Bu Ustadzah emang selalu bikin adem, ya?''
''Hahaha ... bisa aja lo, Vo!''
''Hehehe ...'' Aku dan Berry jadi tertawa. Ngakak di antara banyak pengguna jalan yang rata-rata anak sekolahan.
''Eh, Vivo ... kita balapan, yuk! Siapa yang datang belakangan harus rela traktir minuman? Gimana?'' cetus Berry tiba-tiba.
''Boleh, siapa takut!'' timpalku.
''Baiklah, kalau gitu kita mulai saja!'' seru Berry sembari nyerobot mendahului. Dengan sekuat tenaga ia mengkayuh sepeda hingga meluncur dengan kecepatan di atas rata-rata meninggalkan aku beberapa meter.
''Woyy ... curang!'' pekiku.
''Hahahaha ...'' Berry hanya ngakak.
Tak mau kalah, aku pun langsung mengejarnya. Seperti pembalap sepeda aku dan Berry saling kejar mengejar. Tak ada yang mau mengalah. Saling sikut. Saling ingin menunjukan kebolehan. Saling menyalip setiap ada kesempatan. Hingga kami tiba di gerbang sekolah. Kami seimbang. Tak ada yang kalah atau pun menang. Sama-sama ngos-ngosan. Kehausan.
Perlombaan belum berakhir. Masih berlanjut untuk menentukan juara. Salah satu dari kami harus tiba terlebih dahulu di dalam kelas. Dan aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan gesit aku berlari menuju kelas. Lari tunggang langgang untuk menjadi sang pemenang.
Sejurus kemudian,
Ketika aku sedang asik fokus berlari, tiba-tiba aku kehilangan keseimbangan saat melewati lantai yang becek dan licin. Akibatnya aku terpeleset dan jatuh tersungkur. Sakitnya sih, tak seberapa, tapi malunya luar biasa. Aku jadi bahan tertawaan para siswa. Huh ... sial!