Dengan pelan, mata Eugene terbuka. Di depannya berdiri seorang pria berpakaian layaknya seorang pendeta, lengkap dengan tongkat di tangannya. "Dimana aku…" gumam Eugene dalam kebingungan saat memandangi sekelilingnya. "Apakah kepalamu terbentur?" tanya sang pria sembari menyesuaikan posisi tongkatnya.
Eugene duduk dan merenung, pandangannya tertuju pada hamparan padang rumput yang memancarkan cahaya bulan. Cahaya itu seolah-olah mengiluminasi setiap helai rumput, menciptakan suasana magis di sekelilingnya. "Apa… apa ini?" gumamnya kembali dalam kebingungan yang semakin menggebu.
"Apa kau masih belum sadar, anak muda? Kau berada di bumi, halo!" sahut sang pria dengan nada agak mencemooh. Eugene memicingkan matanya, mencoba memahami situasi yang tak masuk akal ini. Dalam perlahan, ia mulai berdiri, mencoba mengatur keseimbangannya yang terganggu.
"Tidak, tidak, tidak. Aku tidak berada di sini," ucap Eugene dalam batin, tetapi tak ada yang bisa menjawab kebingungannya. "Terkadang manusia terlalu naif, mereka hanya melihat keindahan di depan mata, tanpa menyadari dimensi yang sebenarnya menjebak mereka," kata sang pria, matanya terpaku pada langit yang penuh dengan bintang-bintang.
Eugene menoleh ke arah yang ditunjuk pria tersebut. Sebatang pohon sakura berdiri dengan anggun, kelopak bunganya berhamburan seperti salju merah muda. Namun, kata-kata sang pria membuatnya memandang pohon itu dengan cara yang baru. "Pohon itu… pohon itu begitu indah, tapi…" gumamnya, merenungkan makna di balik kata-kata sang pria.
Sebuah suara samar terdengar, terdengar seperti seseorang memanggil namanya dari kejauhan. "Suara apa ini?" Eugene bertanya dalam hati, merasakan keanehan semakin menguat. Sang pria tersenyum, melihat Eugene dengan tatapan yang penuh dengan pemahaman. "Semoga kita bisa bertemu lagi," katanya lirih, lalu lenyap seperti angin.
Tiba-tiba, semua berubah. Cahaya yang memancar dari padang rumput perlahan padam, digantikan oleh kegelapan yang menghampiri. Eugene merasa seperti ditarik ke dalam dimensi lain. Ia berjuang menutup mata, mencoba meredakan perasaan cemas yang merayap di dalam dadanya.
"Brruuuk!" Semburan air menghantam wajah Eugene dengan keras, membuatnya terbangun dengan kaget. "Fufuah, hah… hah… hah…" Eugene menghela napas panjang, mencoba memulihkan diri dari pengalaman aneh tadi. Ia melihat sekitar, menemukan dirinya berada dalam sebuah kamar. Seorang wanita dengan ember berdiri di hadapannya.
"Sampai kapan kau akan terus tertidur, huh?" bentak wanita itu, ekspresi wajahnya penuh dengan ketidakpuasan. "Maori!! Apa yang kau lakukan di sini? Ini kan asrama laki-laki…" Eugene bingung, mencoba mengingat kembali situasinya.
"Orang tolol, selalu saja merepotkan," keluh Maori dengan nada agak kesal. "Lihatlah jam, berapa ini? Kau pasti akan dimarahi oleh Koharu nanti." Maori menunjuk jam di dinding dengan ekspresi jengkel. Eugene melihat jam dan mengerutkan dahi, menyadari bahwa waktunya benar-benar terbatas.
"Ah, aku bisa terlambat kalau begini!" seru Eugene panik, segera mengambil handuk dan beranjak dari tempat tidur. "Aku menunggu di depan kamarmu, cepatlah!" Maori pergi, menutup pintu kamar dengan keras. Eugene segera bergerak, mandi dengan cepat dan bersiap-siap untuk berangkat.
Ketika pintu kamar terbuka, Maori sudah berdiri di sana dengan wajah penuh kesabaran. "Ayo, cepatlah! Kita harus berangkat," pintanya sambil berjalan menuju pintu. Eugene segera mengikuti, namun langkahnya terlihat sangat terburu-buru.
Tapi, tiba-tiba saja Maori berbalik, ekspresinya berubah menjadi seorang inspektur mode yang serius. Ia mengamati penampilan Eugene dengan seksama, seolah sedang melakukan inspeksi mendalam atas setiap lipatan pakaian.
"Satu lagi, kau lupa mengencangkan ini!" tegas Maori sambil meraih dasi yang menggantung kendur di leher Eugene. Sebelum Eugene bisa bereaksi, dasinya sudah ditarik dengan kuat, membuatnya terdengar suara kikisan kain dan... ehm, suara tersedak dari Eugene.
Wajah Eugene memerah dan ia merasa seolah-olah baru saja melewati ujian tak terduga. "Ma-Maori, sedikit lebih hati-hati, tolong," gumam Eugene dengan lemah, masih merasakan efek penarikan dasi yang agak terlalu keras.
Maori tertawa kecil, seolah tak tergoyahkan oleh peristiwa tadi. "Kau benar-benar sosok yang unik, Eugene. Jangan khawatir, kita tak ingin kau terlambat karena dasimu yang nakal ini."
Eugene hanya bisa mengangguk, masih tercengang dengan kejadian sebentar tadi. Semua ini seakan menjadi guncangan lucu setelah pengalamannya yang aneh, seperti berada dalam sebuah komedi tak terduga. Tapi tak ada waktu untuk merenung lebih dalam. Kini saatnya melangkah, mengejar ketertinggalan, dan menghadapi hari yang baru dengan segala kejutannya.
Sesampainya di sekolah, suasana mulai ramai dengan kegaduhan para siswa yang bersiap-siap untuk memulai hari. Tidak terkecuali Eugene, yang dikejutkan oleh suara teriakan keras yang membahana di lorong.
"Eugene!!!" teriak salah seorang pria yang duduk di kursi. Dengan wajah penuh semangat, ia menarik kursi di sebelahnya. "Ayoo, cepat sini!"
"Hooamh... Mario, apa kau benar-benar harus berteriak seperti itu di pagi hari?" guman Eugene sambil meletakkan tasnya dengan malas.
"Hey, jangan tidur di kelas nanti, Eugene. Guru yang masuk itu..." bisik Mario, mengingatkan.
"Tidak, aku tidak akan tertidur," gerutu Eugene.
"Tolong berdiri semua dan memberi salam!" teriak seorang wanita di hadapan kelas. Eugene pun berdiri bersama murid-murid lainnya, wajahnya tampak lesu. Namun, segera mereka kembali duduk.
"Gara-gara kalian, aku jadi merasa bersemangat untuk mengadakan ulangan hari ini dan..." Ucapan sang guru terhenti tatkala matanya tertuju pada Eugene yang tertidur pulas di belakang.
Langkah-langkah guru itu mendekati Eugene, yang tak sadarkan diri atas apa yang terjadi. Mario dengan sigap berbisik pada Eugene, "Eugene, bangunlah! Kau tahu kan guru kita siapa..."
Namun, sebelum Mario sempat menyelesaikan ucapannya, sebuah buku terbang meluncur dan mendarat dengan cukup dramatis tepat di kepala Eugene. "Aaaaw, sakit! Nenek tua..." rintih Eugene sambil mengusap kepalanya yang baru saja ditimpa buku.
"Siapa yang kau panggil nenek tua?!" balas sang guru dengan wajah serius.
"Eeeh, b-b-bu Koharu," gumam Eugene terbata-bata, wajahnya memucat melihat ekspresi sang guru yang semakin membara.
"Sepertinya kau memerlukan waktu untuk merenungkan tindakanmu, Eugene. Sekarang berdiri di depan kelas dengan ember di atas kepalamu," ditegaskan Koharu sambil menunjuk pintu kelas dengan tegas.
"Te-tapi bu..." Eugene mencoba membantah.
"SEKARANG!!" teriak Koharu dengan suara yang menggelegar. Tanpa punya pilihan lain, Eugene pun bangkit dari kursinya dan berjalan terhuyung-huyung ke depan kelas, merasa seperti menjadi bintang utama dalam sebuah drama komedi yang tak terduga.
Diluar kelas, Eugene menaruh ember berisi air di atas kepalanya dengan susah payah, tangannya gemetar menahan berat ember tersebut. Keringat bercucuran di wajahnya, dan dalam hati ia terus berpikir tentang mimpi aneh yang dialaminya semalam. "Tadi malam itu hanyalah mimpi, kan?" bisiknya dalam hati sambil berjuang menahan ember.
Beberapa menit kemudian, akhirnya ember itu tumpah di atas kepalanya, mengguyurinya dengan air dan membasahi seragamnya. Eugene mengangkat ember itu sejenak, ekspresinya penuh dengan frustrasi, lalu dengan kasar membantingnya ke tanah sambil berteriak dalam hati, "Dasar Nenek Sihir sialan, suatu saat aku akan mempelajari hipnotis tingkat tinggi hanya untuk membungkam mulutmu!"
Bel kelas berbunyi, mengakhiri adegan yang memalukan itu. Siswa-siswa lain keluar dengan wajah ceria, sementara Eugene masih berdiri di tempatnya dengan tatapan kesal. Pandangannya melotot ke arah murid-murid dan terutama ke arah Guru Koharu yang meninggalkan kelas dengan sikap bangga. "Kuharap kau belajar sesuatu dari ini, Eugene," ujar Koharu sebelum pergi.
"Sudah kubilang jangan tidur kan?" suara dari seorang wanita mengagetkan Eugene yang tengah merenung. "Maori sudah kubilang jangan mencera... mahi..." ucapnya terbata-bata, terkejut karena wanita itu bukan Maori.
"Hana?" Eugene memandang dengan rasa heran, sebab wanita itu bukanlah Maori yang diharapkannya.
"Maori lagi dikelas. Pemalas sepertimu selalu bikin masalah," sambung Hana dengan nada menggoda.
"Apa katamu...?!" balas Eugene dengan nada kesal.
"Memang benar, kan? Eugene Straft, si pemalas yang hanya kerjanya tidur dan tidur," ejek Hana sambil memainkan handphonenya dengan acuh.
"Hei, aku tidak seperti itu, tahu!" balas Eugene dengan nada marah.
"Yaah, mau bagaimana lagi, orang bodoh tetaplah bodoh," Hana berkata sambil pergi dengan angkuh, meninggalkan Eugene yang semakin kesal. Eugene memutuskan untuk kembali ke asrama, mengganti seragam yang basah, dan memulai hari yang baru.
Sesampainya di kelas, Eugene duduk di sebelah Mario dengan wajah yang suram. "Euh, aura apa ini? Apa kau sedang mencoba belajar mengendalikan auramu?" ledek Mario.
"Aku sedang sial," gumam Eugene dengan kepala tertunduk, masih merenungkan pertengkaran tadi.
"Braak!" tiba-tiba meja mereka dipukul oleh Maori. "Sudah kukatakan jangan berulah dalam kelas. Kau hampir saja terkena ilmu magisnya, tahu!"
"Nenek tua sial, aku pasti akan membalasnya!" teriak Eugene dengan penuh emosi dan kesal.
Pagi itu berlalu dengan canda tawa para siswa, mengakhiri adegan kekacauan dan konflik di sekolah tersebut. Meskipun diawali dengan kejadian konyol dan situasi yang memalukan, Eugene dan teman-temannya memutuskan untuk menjadikan hari itu sebagai kenangan lucu yang tak terlupakan. Dan dengan langkah ceria, mereka melangkah menjalani hari yang baru dengan semangat dan tawa.
Kemana kau pergi bunga tidur selalu mengikuti
Jangan takut mungkin itu hanya peringatan bagimu
Sang penjelajah Mimpi