Chereads / W.E(Wake Eugene) TRIBUNAL / Chapter 4 - Tanpa nama

Chapter 4 - Tanpa nama

Langit menghitam perlahan, pertanda hujan akan segera turun. Raizo menggumam pelan dalam hati sambil mengangkat secangkir teh hangat yang berada di sampingnya. Setelah beberapa tegukan, ia dengan hati-hati menempatkan cangkir itu kembali dan bangkit dari kursinya.

"Langit menghitam sebentar lagi akan turun hujan," gumamnya dalam hati, kemudian dia berbicara dengan suara nyaring, "Mizu, angkatlah pakaianmu! Hujan akan turun sebentar lagi!" Setelah memberi perintah, Raizo berdiri dan berjalan menuju ruang tengah, di mana ia menemukan Tajima tengah asyik duduk sambil merenung di hadapan beberapa perkamen mantra yang terbuka.

"Tajima!" panggil Raizo sambil dengan santai mengambil posisi duduk di dekatnya. Tajima mengangkat kepala dan menjawab dengan hormat, "Iya, Ayah." Dia melipat kembali salah satu perkamen mantra sebelum menatap Ayahnya dengan penuh perhatian.

Dengan tatapan serius, Raizo bertanya, "Mantra apa yang sudah kau pelajari, Nak?" Tajima menjawab dengan antusias, "Aku sedang mendalami beberapa mantra segel dan mantra defensif, Ayah."

Raizo mengangguk puas, menghargai semangat putranya dalam belajar. Perkamen-perkamen kuno itu memang telah menjadi warisan berharga bagi keluarga mereka, mengandung kebijaksanaan dan kekuatan kuno yang tak ternilai. Dalam senyap, mereka berdua kembali tenggelam dalam dunia mantra dan pengetahuan kuno yang tersimpan di hadapan mereka.

Hari itu, hujan turun perlahan, membasahi pemukiman dan genting-genting atap sekolah sihir. Di saat itulah, pelajaran di dalam kelas masih berlangsung dengan serius. Namun, suasana kantuk mulai menghampiri beberapa siswa, termasuk Eugene yang tengah membungkuk di kursinya, tangannya melipat di atas meja.

"Aku ngantuk," gumam Eugene, wajahnya tampak letih dan matanya terpejam.

"Eugene...!! Bangunlah, Koharu datang," bisik Mario dengan nada cemas.

Tepat pada saat itu, ketua kelas memasuki ruangan dengan anggun. "Semua berdiri, beri salam," pintanya dengan suara lantang.

"Selamat pagi Bu!" serentak seluruh siswa berdiri, kecuali Eugene yang masih terlelap dalam mimpinya.

Koharu, seorang guru yang sudah berusia lanjut namun tetap bertenaga, mendekati Eugene dengan langkah mantap. Tanpa ragu, dia berteriak di telinga Eugene, "Banguuunnn!!!!"

Eugene terkejut bukan main, tubuhnya melompat ke atas dan matanya melek. Dia memandang wajah Koharu yang ternyata sedang tersenyum. Dengan wajah setengah sadar, Eugene berkata, "Ahh, Selamat pagi Nenek Sihir."

Wajah Koharu tiba-tiba memerah seperti tomat. Dia berteriak dengan nada keras, "Keluar sekarang dari kelasku!"

Eugene bangkit dengan ekspresi lesu, hanya bisa mengangguk pasrah. Dia mengambil tasnya dan keluar dari kelas dengan pandangan mata yang masih kabur. Koharu menghela nafas, merasa agak bersalah karena membuat Eugene terkejut seperti itu.

Namun, setelah beberapa saat, dengan semangat yang kembali membara, Koharu menghampiri Eugene di luar kelas. Dia tersenyum ramah dan bertanya, "Kau sedang apa, Eugene?"

Eugene menoleh padanya, wajahnya masih setengah bingung. "Kan Ibu menyuruhku keluar," jawabnya dengan polos.

Koharu memandangnya dengan lembut, lalu dengan tiba-tiba dia berkata, "Sekarang kau berdiri di depan teman-temanmu dan angkat satu kakimu!"

Tentu saja, reaksi teman-teman sekelas tak bisa ditahan. Tawa riuh pun pecah di antara mereka, termasuk dari Mario yang tak mampu menahan gelak tawa. Wajah Eugene memerah bukan main, dia menatap Koharu dengan ekspresi campur aduk antara malu dan bingung.

"Ba-baiklah," Eugene berkata dengan suara serak, lalu dia berdiri dengan satu kaki diangkat, seperti yang diperintahkan Koharu.

Tawa semakin keras terdengar di seluruh ruangan, termasuk dari Koharu yang tak bisa menahan senyum. Momen lucu ini berhasil meredakan ketegangan kelas, membuat pelajaran sihir terasa lebih menyenangkan meskipun dalam situasi yang agak konyol.

Selama pelajaran berlangsung, Eugene terus berdiri di depan kelas dengan satu kakinya diangkat. Tatapan-tatapan aneh dari teman-temannya tak mampu membuatnya merasa nyaman. Mario, yang duduk di belakangnya, mencoba menutupi tawanya dengan tangan agar Eugene tidak tersinggung.

Saat jam pelajaran akhirnya berbunyi, Koharu berdiri dengan senyumannya yang khas. "Baik, kelas sudah selesai, dan sampai jumpa lagi," ucapnya ramah. Seluruh murid bergegas keluar dari kelas dengan riuh.

Mario mendekati Eugene, wajahnya penuh penyesalan. "Maafkan aku, Eugene. Aku sudah memperingatimu, namun kau ternyata segila itu."

Maori yang masih tertawa kecil dari sudut ruangan mendengar kata-kata Mario. Ia menatap tajam Eugene, lalu berkata dengan nada main-main, "Dasar bodoh," sambil menjulurkan lidahnya.

Hana, yang sebelumnya hanya menatap mereka sekilas, segera meninggalkan ruangan dengan tenang, seolah tak mau terlibat dalam situasi kocak ini.

Tak lama kemudian, hanya tinggal Eugene dan Koharu di dalam ruangan. Eugene melirik ke arah Koharu dengan tatapan penuh makna, tapi dalam hati ia berbisik, "Nenek tua sialan, suatu saat kau akan kubalas."

Tapi sepertinya Koharu bisa membaca pikiran Eugene. Dia tersenyum bijak, "Tidak usah berfikir aneh-aneh. Perlu waktu seribu tahun untukmu membalasku."

Tiba-tiba, Koharu mengalihkan perhatiannya ke arah kakinya sendiri. "Angkat kakimu! Tunggu sampai aku selesai dan keluar dari ruangan ini," katanya tegas.

Dengan sedikit kesal, Eugene mengangkat kakinya kembali dan mendengarkan cerita Koharu dengan setengah hati. Dia memalingkan wajahnya ke arah jendela, seakan membiarkan kata-kata Koharu mengalir begitu saja tanpa masuk ke dalamnya.

"Pendeta Shin adalah sosok baik dan jujur," lanjut Koharu. "Tapi kejujuran itu sendiri bisa berbuah pahit. Suatu hari, Kaisar datang ke kuil untuk berdoa dan memberikan beberapa Gulungan Kehormatan kepada Shin. Namun, adik sang Kaisar rupanya mengintip dari balik pintu kuil. Keesokan harinya, sang adik ditemukan tewas dengan cara yang mengerikan. Ia diduga dikubur hidup-hidup karena dituduh mendapat perintah dari sang Kaisar. Meski sang adik dianggap bersalah, ia berhasil melarikan diri dari hukuman dan akhirnya menjadi Kaisar. Aku yakin cerita ini benar, namun beberapa anggota RAITOGADO tampaknya memilih untuk membungkam, tak ingin mengungkap kebenaran yang sebenarnya."

Koharu melangkah ke pintu, hampir keluar dari ruangan. Namun, ia berbalik dan berbisik di telinga Eugene dengan senyuman misterius, "Kalau kau penasaran, temui aku di ruanganku."

Lalu, dengan langkah mantap, Koharu melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya. "Turunkan kakimu!" teriaknya dari luar.

Eugene pun dengan cepat menurunkan kakinya, merasakan getaran campuran antara kebingungan, kejutan, dan keingintahuan. Ia diam sejenak, memandangi pintu yang tertutup, seolah merenung tentang petualangan aneh yang baru saja dimulai.

Sementara itu, Mario yang kebetulan hendak kembali ke kelas, bertemu dengan Koharu. "Berikan sedikit motivasi hidup padanya, dan aku meminta agar dia tidak tidur selama jam pelajaranku," sahut Koharu. Mario pun hanya terdiam, menganggukkan kepalanya sambil melihat Koharu pergi menjauh.

Setelah Koharu pergi, Mario memasuki kelas dan mendekati Eugene. Dengan suara lembut, ia bertanya, "Kau baik-baik saja, kan?" Mendengar suara Mario, Eugene kaget seolah terbangun dari lamunannya.

"Mario!" seru Eugene sambil memegang pundak Mario, membuat Mario terkejut oleh sentuhan tiba-tiba tersebut. "Aku akan menemui Nenek Sihir, eumm maksudku Koharu," ujar Eugene terbata-bata, sebelum melepaskan tangannya dan berlari meninggalkan ruang kelas menuju ruangan Koharu. Namun, langkahnya terhenti ketika Mario hendak menyusulnya, dihadang oleh Maori dengan ucapan, "Sudahlah, jangan dikejar."

Eugene tiba di depan pintu ruangan Koharu, perasaan campur aduk memenuhi hatinya. Ia mencoba mengetuk pintu, namun pintu itu terbuka dengan sendirinya. Di dalam, Koharu duduk di kursi kerjanya dengan pakaian ketatnya. "Masuklah," ucap Koharu, suaranya lembut. Dengan hati berdebar, Eugene memasuki ruangan tersebut dan pintu pun tertutup di belakangnya. Pandangannya melihat sekeliling ruangan yang dipenuhi gambar dan simbol, dengan perpaduan warna biru yang indah menghiasi sudut-sudutnya.

Eugene duduk di kursi yang terletak di hadapan Koharu, merasa sedikit tegang namun juga penasaran. "Baik, ada sesuatu yang ingin kau utarakan padaku?" tanya Koharu dengan penuh perhatian, sambil tetap menyelipkan waktunya untuk membaca bukunya. Eugene mulai menceritakan tentang pertemuannya dengan Shin dalam mimpinya, tentang perang besar yang akan datang dan pohon sakura yang diartikan sebagai refleksi diri.

Namun, Koharu memotongnya dengan bijak, "Filosofi Sakura yang berarti refleksi diri, beberapa orang sudah pernah mengalaminya. Mereka menemukan diri mereka dalam situasi besar, baik itu untung atau celaka. Kadang orang-orang berfikiran naif, tidak memahami arti sebenarnya dari filosofi tersebut." Ekspresi wajah Koharu penuh pengertian, seperti seorang guru yang memberi pelajaran berharga.

Eugene merasakan kebingungan dalam dirinya, mengenai mengapa ia seolah selalu mengantuk di kelas. Koharu menambahkan, "Eugene, kau tidak seharusnya menceritakan hal ini kepada orang lain. Tapi biarlah, karena aku sudah mengetahui alasan di balik kekuatanmu itu." Saat mereka tengah dalam pembicaraan, pintu pun tiba-tiba terbuka, mengakhiri momen mereka.

"Keluarlah dan pastikan bahwa kau tidak menceritakan hal ini kepada siapapun," perintah Koharu dengan tegas. Eugene mengangguk, merasa semakin paham akan pentingnya merahasiakan hal ini. Ia pun berdiri dan melangkah keluar dari ruangan, pintu pun kembali tertutup di belakangnya. Di lorong, Eugene merenung sejenak. Ia menyadari bahwa ia telah mengungkapkan rahasia yang seharusnya hanya diketahui oleh para pendeta dan Mario. Namun, tekadnya tetap teguh, dan ia memutuskan untuk melanjutkan petualangannya, tanpa terlalu khawatir akan akibat yang mungkin akan datang. Dengan langkah mantap, Eugene melangkah pergi.

Di dalam ruangan, Koharu membuka sebuah peti kecil yang berisi bola Kristal. Suara lembutnya terdengar, "Putra Raja sudah ditemukan, persiapkan segalanya." Bola Kristal tersebut kemudian bersinar terang dan berkata dengan suara ajaib, "Salam untuk Putra Raja." Cahaya tersebut perlahan memudar, dan Koharu dengan hati-hati menutup peti kecil itu. Matanya dipenuhi oleh ketenangan dan tekad yang tak tergoyahkan.

Eugene kembali berlari menuju kelas dan duduk di kursinya, rasa kagum dan cemas memenuhi pikirannya. Mario mendekatinya dan bertanya, "Ada apa, bung? Kau terlihat begitu muram." Dia duduk di kursi di depan meja Eugene, menunggu penjelasan dari sahabatnya.

Dengan suara pelan, Eugene mulai bercerita, "Koharu mengetahui sesuatu tentang mimpiku." Wajahnya tertunduk, merenungkan konsekuensi dari perbuatannya. Mario terkejut, "Astaga, kau menceritakan semuanya padanya?" Eugene menganggukkan kepala dengan rasa menyesal.

Mario langsung mengambil tindakan, "Ini berbahaya! Sedikit informasi untukmu, Koharu adalah keturunan adik Kaisar. Kita harus pergi ke kuil sekarang!" Dia bangkit dari kursinya, menarik tangan Eugene dengan tergesa-gesa. Tatapan Eugene masih dalam kekosongan, namun Mario tak ragu membisikkan sebuah mantra untuk memecahkan hipnosis yang tak disadari Eugene, "Kratum Avalios."

Eugene tersentak kaget dan merasa sadar, menyadari bahwa ia telah dihipnotis. "Ayo, kita pergi!" ujar Mario dengan tegas, sambil bergerak menuju pintu kelas. Eugene meraih tasnya dan mengikuti Mario keluar dari kelas, langkah mereka menuju asrama penuh dengan rasa penasaran dan tekad yang baru saja terbangkit.