Di suatu tempat yang sempit, seorang wanita terikat dengan tali sihir tersadar bahwa dia akan dihukum berat oleh para pendeta. Tindakannya yang berani menembus gerbang dimensi seseorang telah membuatnya terjebak dalam ruang sempit ini. Matanya melirik sekeliling, hanya untuk menemukan dirinya dikelilingi oleh tembok bertuliskan mantra yang membatasi geraknya. Cahaya lembut rembulan menusuk ke dalam sel melalui jendela-jendela jeruji besi.
Dia memandang keluar melalui jeruji besi dan melihat seorang wanita berjubah putih tengah mencari sesuatu di sekitar tempatnya berada. Hati Koharu dipenuhi dengan kebingungan dan penyesalan. Bagaimana dia bisa sampai pada titik ini?
"Haryuk, kau pikir kau bisa menahan aku di dimensi ini?" suara wanita itu menggema di udara.
Haryuk, yang berdiri di luar sel, menatap Koharu dengan ekspresi serius. "Bukankah sudah sepatutnya bagimu? Kau telah mengganggu Prosesi suci ini. Ingatlah kenapa kau diusir dari Tetua Suci dan dikembalikan menjadi manusia biasa. Beruntunglah kau masih muda saat itu, atau mungkin kau sudah mati."
Koharu menjawab dengan nada meremehkan, "Kau terlalu terbuai oleh ajaran Paleo. Kau buta pada kenyataan."
Haryuk berbalik, berjalan ke arah tangga, dan sambil mendaki, dia berkata, "Aku tahu semuanya tentang itu. Tapi bisakah kau bersabar? Kau tidak tahu apa-apa tentang anak itu."
Koharu, tanpa ragu, menyahut, suaranya penuh dengan keyakinan, "Aku tahu banyak tentang Eugene. Aku telah mengawasinya sebelum kau datang." Namun, jawaban Koharu hanya direspons dengan suara pintu yang ditutup erat oleh Haryuk, meninggalkannya dalam kegelapan selnya.
Dengan hati yang dipenuhi keraguan dan pikiran yang berputar-putar, Koharu duduk sendirian di dalam selnya. Cahaya rembulan masih terus menyinari ruang sempit itu, menciptakan bayangan-bayangan yang menari-nari di dinding-dinding tembok, seolah menggambarkan tarian ketidakpastian yang tengah ia hadapi.
Keesokan Harinya Di sudut lapangan, Eugene sedang terdiam dalam lamunannya, tidak terlalu memperhatikan penjelasan guru yang tengah mengajar di depannya. Sinar matahari menjelang senja menerpa wajahnya yang cemas.
Tiba-tiba, sebuah batu kecil terbang dan mengenai kepalanya dengan cepat, membuatnya tersentak dari lamunannya. Dia menggosok pelan bagian kepalanya yang terasa sakit, dan saat itulah dia menyadari bahwa guru mereka telah lama menatapnya dengan ekspresi tak terlalu senang.
"Pak... Holster... maaf..." gumam Eugene dengan terbata-bata.
Dengan pandangan tajam, Holster berbicara dengan tegas, "Eugene, berdirilah di depan sini dan praktekkan apa yang baru saja ku ajarkan. Jika kau tidak bisa melakukannya, konsekuensinya..."
Tiba-tiba, wajah Holster berubah menjadi seram dengan ekspresi yang berlebihan, dan dia melanjutkan dengan nada seram, "Kau tidak akan diperbolehkan pergi dari lapangan ini hingga berhasil menguasai materi tersebut. Kau akan menjadi tahanan rumput ini!" ucap Holster dengan vokal yang bergetar.
Pemandangan ini membuat Eugene terbelalak dan menelan ludah kering. Dia mengangguk cepat, melihat keseraman yang tak tertahankan dalam ekspresi guru itu.
Mario, yang juga menjadi sasaran sinar marah Holster, dengan cepat berdiri. Suaranya bergetar ketika dia menjawab, "Iya, Saya pak!"
"Kalian berdua akan bertanding, Eugene dan Mario," ujar Holster dengan tegas, memandang kedua muridnya dengan penuh tekad. "Praktekkanlah apa yang sudah kuajarkan tadi. Kelasku mungkin tidak selembut Koharu, tetapi jika ada yang berani mengabaikanku, konsekuensinya akan sama... atau bahkan lebih buruk!"
Mario melangkah maju dengan tekad, sementara Eugene hanya memberikan senyuman bodoh sambil mengedipkan mata pada Mario, seakan berkata, "Ayo, kita hibur mereka!"
"Eugene brengsek, gara-gara ulahmu aku juga harus kena batunya," gumam Mario dalam hati sambil mengangkat tangan untuk bersiap bertarung.
Ketika mereka berdua bersiap untuk mempraktekkan mantra yang diajarkan Holster, ternyata hasilnya lebih mirip pertunjukan kegagalan daripada praktik sihir. Mantra berjatuhan tidak teratur, dan mereka berdua terlihat lebih mirip penari ulang tahun yang kebingungan daripada murid yang tengah belajar sihir.
Tengah asyik mereka berdua saling serang dengan mantra, bel sekolah tiba-tiba berbunyi, mengumumkan pergantian kelas. Para murid berhamburan meninggalkan lapangan, meninggalkan Mario dan Eugene di tengah teriknya matahari.
"Kalian pikir kalian bisa lepas begitu saja?" seru Holster dengan ekspresi tak terlalu terkesan. " Eugene, dan Mario, kalian berdua akan tetap berada di lapangan ini sampai kalian berhasil menguasai setidaknya satu mantra dengan benar. Maori dan Hana akan mengawasi kalian. Jangan berpikir untuk pergi sebelum berhasil!"
Dengan kata-kata tersebut, Holster mengatur kopernya dengan hati-hati dan pergi dengan langkah mantap, meninggalkan kedua muridnya dalam perjuangan tak terduga ini. Di tengah teriknya matahari, sambil tatapan sinis Maori dan Hana yang jelas-jelas menikmati situasi, Mario dan Eugene sadar bahwa ini akan menjadi waktu yang panjang... sangat panjang.
"Heeeuuuhh, dasar idiot," keluh Maori dengan nada memelas.
"Hahaha, bisa-bisanya kalian tidak bisa menguasai mantra itu," tambah Hana sambil tertawa.
Eugene pun buru-buru memberikan alasan, "Aku tadi hanya sedang kurang konsentrasi dan..."
Hana langsung memotong dengan mata tajam, "Apa? Jangan pernah katakan alasan seperti itu. Jika kalian mengatakan itu di depan Tuan Holster, kalian bisa saja dikutuk menjadi ular, kau ingin mengalami nasib buruk seperti itu?"
Eugene dan Mario terdiam, tersadar bahwa alasan sembarangan tak akan bisa mengelak dari kenyataan ini.
"Sekarang, praktekkan kembali sihir itu sebelum matahari semakin panas," tantang Hana dengan tegas.
Maori dengan senang hati menimpali, "Baik , ayo kita saksikan aksi panggung dari dua badut penyihir ini dari bawah pohon itu."
Mereka berdua pun berjalan menuju bawah pohon yang rindang, duduk dengan nyaman di bawah dedaunan yang menyejukkan. Dari sana, mereka bisa dengan jelas menyaksikan tingkah konyol Eugene dan Mario yang sedang berjuang keras mempraktekkan ilmu sihir yang baru saja diajarkan oleh Holster.
Eugene dan Mario saling pandang, merasa cukup malu dengan pemandangan mereka yang patut jadi bahan tertawaan. Di bawah naungan pohon yang sejuk, adegan lucu ini menjadi hiburan tersendiri bagi Maori dan Hana, serta mengingatkan Eugene dan Mario akan betapa jauh mereka harus berjuang untuk menguasai ilmu sihir.
Di tempat yang berbeda, Tajima duduk di selasar teras rumahnya, matanya terpaku pada langit yang biru cerah. Suara serangga yang berirama mengiringi keheningan sekitar, menambah suasana tenang yang menghampirinya. Di tengah lamunannya, ia teringat kembali pada pertemuan menakjubkan dengan Haryuk.
Sementara itu, di dalam rumah, Mizu tengah asyik menjahit baju-baju adiknya yang sobek. Jarum dan benang bergerak dengan lincah di bawah tangannya yang terampil. Namun, pikirannya tak hanya tenggelam dalam urusan menjahit. Ia juga merenung tentang momen luar biasa ketika ia berjumpa dengan Haryuk.
Tiba-tiba, suara Raizo memecah keheningan, membuat Mizu terkejut dan hampir menusuk jari dengan jarumnya, "Aduh, kau ini benar-benar suka melamun, ya?"
Mizu menghentikan pekerjaannya sejenak, menatap ayahnya dengan sedikit kesal, "Ayah, bukankah kau seharusnya pergi tadi?"
Raizo menggeleng, "Urusan di perkumpulan agak terhambat. Mereka sudah tahu aku ada di rumah. Tapi hei, bisakah kau membuatkan aku secangkir teh seperti yang kau sajikan untuk Eugene?"
Ucapan Raizo disertai senyuman usil, dan Mizu tak bisa menahan senyuman malu, "Ayah, itu hanya teh biasa."
Namun, Raizo tetap bersikeras dengan senyumannya, "Aku punya firasat, itu bukan teh biasa."
Wajah Mizu semakin merona, dan ia buru-buru berjalan menuju dapur,
Sementara di selasar, Raizo kembali melanjutkan pandangannya ke langit, merasa begitu dekat dengan alam dan kedamaian. Di dapur, Mizu sibuk berusaha menenangkan diri, terpancar raut wajah campur aduk antara malu dan kegugupan.
Setelah teh selesai, Mizu membawakan cangkir itu kepada Raizo. Tatapan lembut sang ayah diiringi senyuman kecil, "Kau naksir Eugene, ya?"
Mizu terkejut dan dengan cepat membantah, "Ayah, sudah kubilang aku tidak tertarik padanya."
Raizo tertawa, "Putriku sudah besar rupanya... hahahaha."
Tajima, yang tanpa sengaja mendengar percakapan mereka, ikut bersuara, "Kak, apa yang sedang kalian bicarakan tentang wanita di kuil tadi?"
Mizu dan Raizo terdiam mendengar pertanyaan tajam Tajima. Raizo akhirnya bangkit dari duduknya dan duduk di sebelah Tajima dengan penuh makna. Ia menunjuk kepada anak kucing yang sedang bermain dengan induknya di halaman, memberikan isyarat tersirat dalam kata-katanya.
"Tatapanmu terlalu mendalam, Nak," ucap Raizo, menunjuk pada anak kucing tersebut. "Apakah kau tahu apa makna dari tindakan induknya menjilati anaknya?"
Tajima menggeleng, "Apa, Ayah?"
"Itu artinya, induknya takkan pernah meninggalkan anaknya dalam keadaan apa pun, sampai anak itu siap dan mampu berdiri sendiri," lanjut Raizo sambil tersenyum.
Mizu mendengar kata-kata ayahnya, hatinya bergetar. Air matanya hampir jatuh, namun ia berhasil menahannya. Kejadian dengan Haryuk menguatkan pemahamannya tentang arti kata-kata tersebut, tentang ikatan yang kuat di antara mereka bertiga, seperti keluarga yang tak pernah berpisah.
"Ayah, di mana ibu?" Tanya Mizu, pertanyaan itu membuat Raizo terdiam sejenak, lalu dengan hati-hati dia menjawab, "Ibu kalian berada di suatu tempat yang jauh. Aku hanya berharap dia bisa kembali dengan selamat, karena selama bertahun-tahun aku tidak pernah bertemu dengannya."
Tajima menambahkan, "Aku merindukan ibu."
Ia merebahkan kepalanya di pangkuan Raizo, mencari kenyamanan dalam dekapannya. Dengan penuh kelembutan, tangan Raizo mengelus lembut rambut Tajima sambil berkata, "Suatu hari nanti, dia pasti akan kembali dan membawakan makanan kesukaan kalian."
Di bawah langit yang cerah, di tengah keheningan selasar teras rumah mereka, tiga hati saling terhubung dalam kerinduan dan harapan.
Di dalam kuil, Ogho masih tenggelam dalam bacaan beberapa buku sihir, matanya terfokus pada halaman-halaman yang penuh dengan rahasia. Di sela-sela itu, ia melemparkan pandangan dalam ke dalam sel tempat anak buah Koharu ditahan. Dengan menggerakkan tangannya, ia merapalkan mantra kuno yang membangkitkan keajaiban dalam diri mereka.
"Sekarang, jawab pertanyaanku," ucap Ogho, suaranya sarat ancaman. Mantra sihir yang disiapkan di tangannya membuat anak buah Koharu merasakan ancaman yang nyata.
"Siapa yang memerintahkan kalian datang ke tempat suci ini?" desak Ogho, tatapannya tajam seperti pedang.
Beberapa pengikut Koharu terdiam, namun salah satu dari mereka akhirnya menjawab dengan enggan, "Sihir apa pun tidak akan bisa membuat kami mengkhianati sumpah kami."
Tak berdaya, Ogho melemparkan sihirnya ke arah orang yang bicara, dan dalam sekejap, pengikut Koharu itu berubah menjadi debu yang tertiup angin. Kejadian itu membuat para pengikut lainnya merasa ngeri, dan salah seorang dari mereka akhirnya bersuara, "Kami hanya mengikuti perintah dari Kerajaan. Mereka menginginkan agar kami mencegahmu mengambil jalan yang salah."
Ogho menarik kursi dan duduk di depan sel mereka dengan sikap santai, "Baiklah, lanjutkan kisahmu tadi, anak muda. Aku tertarik mendengarnya." Suaranya mengandung kebijaksanaan dan ketenangan, yang kontras dengan suasana yang tegang di sekitarnya.
"Kerajaan hanya tidak ingin kalian mengungkit masa lalu, dan mereka meminta kami untuk mencegah tindakan kalian, yaitu melantik anak muda yang bernama Eugene. Perintah itu langsung turun dari Raja Morve yang Agung," jawab pria itu dengan nada gemetar.
Ia melanjutkan ceritanya dengan hati yang berat, "Mungkin seluruh keturunan sudah tahu tentang tragedi kematian Kaisar dan tuduhan kejam terhadap Pendeta Agung. Aku bersama yang lainnya hanya menjadi alat dari kekejamannya. Setiap hari, kami harus membunuh beberapa pendeta suci yang berkeliaran di beberapa kuil untuk menjaga rahasia ini," lanjutnya.
Mendengar kisah itu, Ogho merasa amarahnya memuncak. Dengan suara tegas, ia berkata, "Kalau begitu, kalianlah yang mengirim mantra kematian kepada penerus yang tidak bersalah selama ini." Tatapannya menusuk tajam pada para pengikut Koharu yang tersisa di sel.
di dalam ruangan yang sesak para pengikut Koharu hanya terdiam menatap Mata Ogho yang memancarkan kengerian tersendiri di hati mereka.
Di dalam ruang altar, Paleo dan Tetsuya sedang tengah merapalkan mantra guna membangun sebuah sihir tembok pelindung baru. Namun, tiba-tiba datanglah guncangan hebat yang mengguncang kuil. Bukan gempa bumi, tapi gempa dimensi yang misterius.
Akibatnya, sebuah portal tak terduga terbuka dengan sendirinya, dan dari dalamnya keluarlah Shin, merangkak dengan susah payah. Tanpa ragu, Paleo dan Tetsuya meraihnya dan meletakkannya dengan lembut di pangkuan Paleo.
"Larilah... Pengkhianat telah datang," ucap Shin dengan suara lemah, kata-katanya terbata-bata.
Saat itu, dia tiba-tiba batuk dengan keras dan keluarlah darah hitam dari mulutnya. Kemudian, tubuhnya terkulai tak berdaya.
"Tutup semua akses! Kita harus menghindari agar tak ada yang bisa masuk atau keluar dari kuil ini. Pertempuran besar sedang mendekat," teriak Paleo dengan nada tegas, memerintahkan semua orang di sekitarnya.
Tetsuya dan Paleo pun segera bergerak keluar, menyampaikan kejadian ini kepada Haryuk. Haryuk mengangguk seraya memahami situasi yang genting ini.
Dia mengirimkan sinyal ghaib kepada Raizo, memanggilnya untuk segera datang ke kuil.
Saat menerima sinyal tersebut, Raizo yang sebelumnya duduk bersama kedua anaknya, langsung bangkit dengan serta merta. Dia mengambil nafas dalam-dalam dan berkata pada anak-anaknya, "Mizu, ambilkan jubah dan perlengkapanku. Setelah itu, temuilah Eugene dan sampaikan bahwa ada sebuah hal darurat."
Mata Mizu penuh dengan kekhawatiran saat mendengar ini. Dia tak bisa menahan rasa cemasnya dan bertanya, "Ada apa, Ayah?"
Sambil bersiap-siap pergi, Raizo berkata dengan tekad, "Ada pertempuran besar yang akan datang. Minimal, kalian harus mencari tempat berlindung di belakang dinding sekolah. Katakan pada Eugene untuk meminta izin kepada Kepala Sekolah YAMI NO KAMI."
Dengan atmosfer yang semakin tegang dan situasi yang penuh dengan ketidakpastian, Raizo bersiap-siap untuk menghadapi ancaman yang datang.
Sebelum meninggalkan tempat itu, Raizo dengan penuh perhatian memberikan sebuah gulungan surat kepada Mizu. Dia berkata dengan serius, "Sampaikan ini kepada Eugene. Mintalah dia mengantarkanmu ke ruang Kepala Sekolah. Setelah itu, buka Portal yang akan membawamu langsung menuju sekolah."
Dengan gulungan surat yang dipegang erat oleh Mizu, Raizo membuka Portal ke tempat terdekat dari kuil. Tiba-tiba, Tajima memberikan pertanyaan, "Bukankah ayah bisa membuka Portal langsung menuju kuil?"
Raizo menghentikan langkahnya sejenak, memandang Tajima dengan penuh kasih sayang. "Kuil ini dilindungi oleh tenaga Tetua Lain. Aku yakin kalau aku dilarang membuka Portal langsung menuju kuil karena itu sangat berbahaya."
Mizu, sementara itu, merasa kaget melihat Portal yang terbentuk. Ada suatu kemiripan antara Portal ini dengan yang sering dia lihat saat Haryuk membuka Portal.Hal Itu membuatnya semakin yakin bahwa Haryuk adalah ibu kandung mereka berdua.
Dengan pertempuran besar yang semakin mendekat dan rahasia-rahasia yang mulai terkuak, semua orang merasakan beban yang semakin berat di pundak mereka.
Sementara itu, di sekolah, Eugene selesai dengan sesi latihannya di tengah lapangan, tapi tampaknya sedang menggerutu. Mario, yang jelas marah, pun berkata, "Gara-gara kau, aku malah jadi sasaran kemarahan Tuan Holster."
"Sudahlah, kalian memang kerap kali bikin masalah sendiri," Maori mencoba menenangkan suasana dengan komentarnya yang diikuti tawa lembut dari Hana.
Tiba-tiba, langit disekitar desa dipenuhi oleh pancaran cahaya biru dan hitam yang memberi isyarat bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi. Maori buru-buru meninggalkan lapangan, meninggalkan Eugene, Mario, dan Hana dalam kebingungan.
Sementara itu, kedamaian lorong sekolah tiba-tiba terganggu dengan munculnya Mizu dan Tajima. Mereka mendekati trio tersebut kemudian Eugene dan Mario menyambut mereka, "Ada apa ini? Hari ini bukan hari kunjungan atau pelatihan sihir, kan?" Tanya Mario.
Tajima dengan serius menjawab, "Lebih baik kau diam saja, gendut. Situasinya semakin parah."
Mario hampir meledak, "Apa yang barusan kau katakan cebol?"
Namun, Hana cepat-cepat meredam suasana, "Sudahlah, berhenti bertengkar."
Saat itulah, Mizu menghampiri Eugene dan memberikan gulungan surat. Ia berkata dengan nada tegas, "Aku ingin menemui Kepala Sekolah kalian."
Eugene dan Mario sama-sama terkejut mendengar permintaan tiba-tiba ini. Tanpa banyak kata, mereka mengantarkan Mizu dan Tajima menuju ruang kepala sekolah.
Tiba di depan pintu ruang kepala sekolah, Eugene membuka pintu itu dan memasuki ruangan, di mana Kepala Sekolah tampak tengah bermain dengan kucing kesayangannya.
Dengan sopan, Eugene berkata, "Permisi, Pak Holand. Kami membawa tamu yang ingin bertemu dengan Anda."
Holand memalingkan pandangannya dari kucingnya dan terlihatlah sosok pria tua dengan janggut panjang berwarna putih, berpakaian putih, lengkap dengan kacamata.
Kepala Sekolah menyambut, "Tentu, silakan masuk." Ia menurunkan kucingnya dari pangkuannya, menunjukkan ketertarikannya pada tamu-tamu baru ini.
"Kau Mizu dan Tajima, bukan?" Tanya Holand sembari membenarkan kacamata matanya.
Mizu dan Tajima mengangguk sebagai jawaban. Holand tersenyum dan menyambut dengan antusias, "Selamat datang, keponakanku. Apa yang membawa kalian kemari? Dan di mana ayah kalian?"
Mizu menjawab dengan serius, "Situasinya sedang gawat, paman. Aku membawa surat ini." Ia menyerahkan gulungan surat kepada Holand.
Eugene, Mario, dan Hana terkejut mendengar bahwa Holand adalah paman dari Mizu dan Tajima. Tanpa menunggu lama, Holand mengambil surat tersebut, lalu masuk ke dalam ruangan kecil, dan mulai merapalkan mantra.
Kemudian, Holand keluar dengan ekspresi serius, "Eugene, Mario, dan Hana, tunjukkan ruangan istirahatku pada mereka. Mulai hari ini, Hana akan menemani Mizu, dan kalian berdua akan menemani Tajima."
Mario, dengan emosinya, langsung menolak, "Tunggu dulu, berikan aku alasan kenapa aku harus menemani bocah cebol ini?"
Tajima juga tidak kalah marah, "Aku juga tidak ingin dikawal olehmu!"
Tanpa ragu, tangan Mizu dan Hana langsung memukul kepala Tajima dan Mario, membuat keduanya tersungkur. Holand hanya melihat kejadian itu sambil tersenyum.
Situasi yang tegang itu terpecahkan dengan sentuhan kecil keceriaan.
Dalam perjalanan menuju kuil, Raizo dihadang oleh beberapa orang dengan pakaian ala pasukan bayangan. Namun, baju mereka memiliki perbedaan yang mencolok, yakni adanya sebuah tanda berwarna biru di kerahnya.
"Huh, tak kusangka aku harus bertemu dengan pasukan Raja secara langsung," keluh Raizo, sedikit terkejut.
Kemudian, seorang pria yang tergabung dalam pasukan itu maju ke hadapan Raizo sambil berkata, "Pengkhianat harus mati."
"Aku kenal suara ini," sahut Raizo dengan tenang, sembari mengeluarkan aura di seluruh tubuhnya.
"Jashin? Apakah kau itu?" tanya Raizo.
"Ku kira kau sudah melupakan aku. Bertahun-tahun lamanya aku menunggu waktu untuk menghabisimu. Ternyata ini adalah saat yang tepat," jawab pria tersebut, suaranya penuh dengan penentuan.
"Baiklah," jawab Raizo sambil menurunkan peralatan yang dibawanya.
"Ayo, kita mulai perang sesungguhnya," ucap Raizo dengan serius, siap untuk menghadapi tantangan yang ada di depannya.
Di dalam Sekolah YAMI NO KAMI, sebuah penghalang tiba-tiba terbentuk dengan cepat, menyebabkan seluruh siswa dan guru terkejut dengan kejadian yang tak terduga ini.
Seorang guru wanita mengenakan dress hitam dan legging ketat mendekati Holand dengan wajah penuh pertanyaan. Dengan suara tenang, dia bertanya, "Bisakah kau menjelaskan apa yang sedang terjadi?"
Holand menatapnya dengan serius dan menjawab, "Sylphine, sebaiknya kau bersiap-siap karena perang akan dimulai dalam waktu dekat." Tatapannya berpindah ke langit yang perlahan-lahan tertutup oleh lapisan pelindung sihir.
Keadaan di sekolah kini semakin tegang dan tak menentu, dengan ancaman perang yang semakin nyata.