Di dalam asrama, Eugene hanya diam, seribu bahasa. Hanya suara burung dari luar jendela yang terdengar, mengisi keheningan ruangan. Kemudian, Mario mengambil segelas air dan memberikannya kepada Eugene.
Eugene meminum habis air tersebut dalam satu tegukan, menunjukkan ketidakberdayaannya. Melihat ini, Mario hanya bisa terdiam, takjub akan apa yang baru saja terjadi.
"Apakah aku tadi benar-benar tidak sadar?" tanya Eugene, mencoba mencari jawaban atas kejadian yang baru saja dialaminya. Mario hanya mengangguk lembut, karena memang itulah yang terjadi. Kemudian, Mario berdiri, menggertakkan giginya seolah tengah merenung, lalu berkata, "Ayo, ikuti aku. Aku punya sesuatu yang ingin kuberikan padamu."
Keduanya pergi ke kamar Mario, dengan Eugene mengikutinya. Sesampainya di sana, Mario mengambil sebuah kotak berwarna emas yang diukir dengan segel Naga Merah. Dengan hati-hati, ia membukanya dan mengambil botol berisi cairan merah. Sambil menunjukkan posisi kalungnya, Mario berkata, "Ini adalah Darah Naga Hutan Serenity. Ini bagus untuk menjaga kesadaranmu. Kalungku membantu menjaga aku tetap sadar seperti ini."
Kemudian Eugene pun mengenakan kalung tersebut dengan hati-hati, sementara Mario memberikan instruksi, "Jangan buka kalung ini kecuali dalam situasi darurat. Sekali segelnya terbuka, aku tidak akan bisa menutupnya lagi. Darah Naga Serenity adalah obat ampuh untuk menghilangkan kutukan, dan dengan membawanya seperti kalung, kamu akan terhindar dari pengaruh buruk seperti tadi." Eugene hanya mengangguk, memahami pentingnya apa yang baru saja dilakukan.
Tak lama setelah itu, ketukan keras terdengar di pintu kamar Mario. Mario membukakan pintu dan Maori masuk dengan tergesa-gesa. Ia menunjuk ke arah langit yang sekarang membentuk pusaran hitam dan berkata, "Lihat langit itu, aku merasa ada yang tidak beres dalam beberapa hari terakhir." Tatapan mereka semua tertuju ke langit, dan Eugene melihat cahaya ungu yang samar-samar terlihat di balik pusaran tersebut. Tanpa banyak kata, Maori menarik tangan mereka berdua.
Mereka berdua mengikuti Maori tanpa tahu tujuan pasti. Eugene berusaha bertanya, "Kemana kita pergi?" Namun, pertanyaannya tidak dijawab dan Maori terus menyeret mereka. Sesampainya di depan sebuah rumah, Mario mengetuk pintu. Pintu itu terbuka dengan sendirinya, dan dari dalam terdengar suara lemah. Maori langsung melangkah masuk dan menemukan kakeknya terbujur kaku. Mario mendekati kakeknya, lalu dengan lembut mengucapkan mantra "Kratum Avalios." Tak lama kemudian, kakek Maori pun tersadar dan mengucapkan kata-kata mengejutkan, "Putra Raja sudah kembali," sambil menunjuk ke arah Eugene.
Sebelum mereka bisa menyampaikan lebih banyak hal, suara Raizo terdengar di pintu. Semua orang berpaling dan melihat Raizo hadir di sana. "Kado, sudah saatnya," katanya sambil membopong tubuh renta Kado. Mereka bergerak menuju rumah Raizo, diikuti oleh Eugene, Maori, Tajima, Mizu, dan yang lainnya.
Sesampainya di rumah Raizo, Eugene melihat Tajima dan Mizu sudah mengenakan pakaian khas para pendeta. Mereka memasuki ruangan yang dirancang khusus untuk pertemuan ini. Raizo berbicara, "Inilah perjalanan terakhir kami." Kemudian, Raizo dan Kado membungkukkan tubuh mereka ke arah Eugene secara bersamaan, sementara Kado membawa perkamen dan membacakan mantra "Astra Magnusi Bolerius."
Tiba-tiba, cahaya biru memenuhi ruangan dan menyelimuti Eugene. Mario secara cepat memegang tangan Maori dan mereka berdua bergegas keluar. Cahaya yang kuat memancar dari dalam ruangan, dan Maori bertanya dengan kebingungan, "Kenapa kau menarikku?" Mario menjawab, "Itu adalah mantra terlarang, mantra untuk membuka jati diri dan segel jiwa. Sekarang kita aman di luar ruangan. Jika kita terkena efeknya, jiwa kita akan terhisap masuk ke dalam badan Eugene."
Di dalam ruangan, Eugene hanya terdiam, matanya tertutup seolah tertidur. Raizo dan Kado tiba-tiba menghilang. Padang rumput luas dan langit terbentang di hadapannya, dan di tengahnya berdiri pendeta Shin, Raizo, dan Kado sedang berdiskusi. Shin menoleh ke arah Eugene, lalu berkata, "Kemarilah, nak. Kamu harus segera diinisiasi." Raizo menambahkan, "Keluarkan gulunganmu."
Situasi menjadi semakin tegang, ketika langkah mereka semakin dalam ke dalam misteri yang melibatkan perjalanan dan tujuan Eugene yang semakin terungkap.
k
Kemudian, dengan hati berdebar, Eugene merogoh kantongnya dan membuka gulungan yang baru saja ditemukan. Matanya terpaku pada mantra yang tertera di dalamnya, berbeda dengan tulisan sebelumnya. Ketika ia mulai membacanya, langit tiba-tiba terbuka, memancarkan sinar terang yang menyilaukan. Sinar itu menerangi Eugene, dan tiba-tiba, Raizo, Shin, dan Kado pun menundukkan kepala mereka dengan hormat.
Dari langit, turunlah sebuah tongkat yang ujungnya dihiasi oleh sebuah batu berwarna ungu. Eugene meraihnya dengan hati-hati, merasa kekuatan yang mengalir di dalamnya. Ia mengarahkan tongkat itu ke arah sebuah pohon tua yang sudah mati. Dengan penuh konsentrasi, ia merapalkan mantra yang baru saja ia baca. Keajaiban terjadi, pohon yang mati itu tiba-tiba hidup kembali, daun-daun segar bermekaran di ranting-rantingnya.
Tidak berhenti di situ, Eugene mengarahkan tongkatnya ke langit yang gelap dan mendung. Dengan tekad yang kuat, ia merapalkan mantra lagi. Langit perlahan terbelah, seperti tirai yang terbuka, mengungkapkan kecerahan dan sinar matahari yang memancar di baliknya. Namun, energi yang ia gunakan begitu besar, hingga tubuhnya tidak mampu menahannya. Eugene pun pingsan di tempat.
Ketika ia akhirnya terbangun, pandangannya berkeliling. Ia melihat Raizo dan Kado duduk berbincang di dekatnya. Raizo berkata dengan tulus, "Mungkin aku akan tinggal di sini, sambil menunggu istriku." Kado menjawab tenang, "Kau pulanglah. Aku akan tinggal di sini untuk sementara bersama pendeta Shin." Raizo menggelengkan kepala, khawatir, "Kau gila!! Apa kau bisa sendiri?" Kado dengan tenang menjawab, "Aku memang mungkin sudah gila, tapi aku bukanlah orang yang langsung menawarkan diri tanpa persiapan."
Sementara itu, Shin mendekati Eugene dengan senyuman lembut. "Tuan muda, apa kau ingin kembali?" tanyanya dengan penuh perhatian. Eugene menjawab dengan mantap, menganggukkan kepalanya. Shin mengeluarkan segenggam bibit dari dalam jubahnya, meletakkannya di tangan Eugene sambil merapalkan mantra dengan lembut. Tak lama kemudian, di depan mereka, sebuah gerbang mulai muncul. Gerbang itu perlahan terbuka, mengundang Eugene untuk melangkah lebih jauh lagi dalam petualangan yang baru saja dimulai.
Segera setelah mereka tiba di rumah Raizo, suasana penuh ketegangan dan kecemasan merayap di dalam ruangan. Mario dan Maori, wajah mereka mencerminkan kegelisahan, menunggu dengan gelisah. Pintu terbuka perlahan, dan Maori dengan langkah ragu memasuki ruangan. Namun, yang ditemuinya hanyalah Raizo dan Eugene. Ekspresi bingung melintas di wajah Maori saat ia mencari-cari sosok yang selama ini menjadi pelindung dan panutannya.
"D-dimana kakekku?" suaranya terdengar gemetar, mengungkapkan kecemasan yang merasuki hatinya. Raizo hanya tersenyum dengan bijak, mencoba menghentikan gelombang kekhawatiran yang melanda. Sejenak, keheningan mengisi ruangan ketika mereka menyerap kabar yang baru saja diungkapkan.
Tajima, yang sebelumnya terdiam dalam lamunannya, akhirnya mengangkat kepala. Pandangannya tajam memandang Raizo, mencari jawaban pasti. "Apakah benar ayah tidak akan pergi?" Suaranya penuh dengan kekhawatiran yang mendalam. Raizo hanya mengangguk lembut, mencoba meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Namun, pandangan Maori masih penuh kebingungan. Dia merasa seperti sedang tersesat dalam kegelapan, mencari arah di tengah kabut ketidakpastian. Ekspresi bingungnya semakin dalam saat dia mencoba memproses semua informasi yang baru saja dia terima. Di sudut matanya, dia melihat Eugene dengan raut wajah yang serupa, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Di tengah suasana yang tegang, tawa kecil tiba-tiba meledak dari bibir Maori. Ini adalah reaksi spontan dari kebingungannya yang kian memuncak. "Raizo, kau benar-benar tahu cara membuatku bingung sampai tak tahu arah, huh?" gumamnya dengan nada campuran antara keterkejutan dan kelegaan.
Raizo hanya tersenyum, tanggap akan perasaan Maori. "Ini hanyalah permainan kecil, Maori. Kami hanya ingin melihat reaksimu," ucapnya dengan nada lega. Walaupun kabar yang dihadapi sangat serius, kehangatan dan kebersamaan di antara mereka terasa begitu kuat.
Eugene pun merasakan sentuhan kehangatan dalam ruangan itu, meskipun perasaan bingungnya masih menghantuinya. Dia merasa bahwa meskipun banyak hal yang belum terpecahkan, mereka adalah keluarga yang akan saling mendukung satu sama lain. Dalam momen itu, di tengah bingung dan kecemasan, cahaya harapan mulai menyinari, menggambarkan bahwa meskipun kakeknya memilih untuk tinggal, mereka tetap bersama dalam semangat dan tekad untuk menghadapi masa depan yang tak terduga.
"Terkadang Ada yang harus disembunyikan ,akan tetapi harus dikeluarkan sebelum menjadi api"
Api Takdir