Di dalam dimensi mimpi, Kado menatap langit yang semula cerah, kini berubah menjadi kelabu. Ia berdiri sendirian, langkahnya terasa berat, seolah-olah memikul beban besar. Dengan langkah perlahan, ia mendekati sosok yang dikenalnya begitu baik, Shin, anaknya yang telah melalui banyak perjalanan bersamanya.
"Langit kembali menjadi kelabu, berarti masih belum ada penerus sah, bukan?" Tanya Kado, suaranya penuh kebingungan. Shin menatap langit dengan tatapan tajam, seolah-olah mencoba mencari jawaban di balik awan kelabu.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kau inginkan, Kado," ujar Shin, suaranya penuh dengan campuran pengertian dan rasa penasaran. "Dan bagaimana keputusanmu untuk menetap di sini? Bukankah aku sudah berkata agar jangan menemuiku untuk sementara waktu hingga tugasku selesai?" Matanya memancarkan kebijaksanaan, tetapi juga ada rasa lembut dalam penilaiannya.
Kado mengangguk perlahan, ekspresinya mencerminkan keraguan yang mendalam. "Aku tak ingin mengganggu perjalananmu, Shin. Namun, aku punya pertanyaan yang mungkin hanya kau yang bisa jawab."
Shin memandang Kado dengan ekspresi campuran. "Kau masih membawa dendam padaku, ya? Ingatkah waktu kau menjadi pendeta agung, aku tidak pernah menentangmu, bahkan membantumu mengikuti semua prosesi dengan cermat. Namun, pada akhirnya..."
"Sudahlah," potong Shin tegas, suaranya mengalir dengan tekad yang tak tergoyahkan. Ia mengangkat tangan, dan tiba-tiba cahaya berwarna ungu muncul tepat di samping Kado. Cahaya tersebut menggambarkan sebuah tombak, sebagai respons dari Shin.
Kado tersenyum tipis, seolah-olah tahu bahwa Shin memahaminya lebih dalam. "Sepertinya kau sudah mahir menggunakan mantra tingkat empat tanpa mengatakannya," kata Kado dengan nada ringan. Ia mengenal anaknya dengan sangat baik.
Shin merenggangkan bibirnya menjadi senyuman tipis. Ia menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan, lalu berjalan menjauhi Kado. "Ayo, ikuti saja langkahku," ajaknya dengan suara yang lebih lembut, menggambarkan hubungan yang lebih dalam antara keduanya. "Seseorang telah menunggumu di sana. Jika kau banyak berbicara, aku mungkin akan membunuhmu di tempat ini," tambahnya tegas sambil melanjutkan langkahnya. Kado tersenyum dan dengan penuh hormat mengikuti langkah Shin, merasakan kehangatan dalam hubungan antara ayah dan anak yang, meskipun penuh dinamika, tetap penuh kasih dan saling pengertian.
Di dunia nyata, keputusan Kado untuk tinggal di dimensi lain masih membuat Maori bingung. Raizo, ayah Mizu dan Tajima, hanya tersenyum melihat keraguan Maori. Setelah sejenak berpikir, Raizo akhirnya berkata, "Kau belum siap untuk mengetahui seluruhnya tentang ini. Tetapi, sekarang kita harus kembali ke desa dan bertemu dengan para tetua. Apa kau ingin ikut, Maori?"
Maori merasa perlu berbicara dengan keluarganya terlebih dahulu. "Aku akan menyampaikan ini kepada keluargaku sebelum mengambil keputusan," ucapnya hati-hati.
Namun, Raizo dengan tegas memotong, "Kita tidak bisa melibatkan keluarga lain dalam hal ini. Ini adalah rahasia besar yang harus dijaga."
Tajima dan Mizu, anak-anak Raizo, juga hadir dalam percakapan itu. Raizo menoleh kepada mereka, "Tajima, Mizu, nanti aku akan pergi ke desa. Apakah kalian ingin membeli sesuatu untukku bawa pulang?"
Mizu dengan riang menjawab, "Aku hanya ingin beberapa manisan buah, Ayah."
Tetapi Tajima tetap diam, sepertinya ada sesuatu yang ingin ia sampaikan, tapi ragu untuk mengatakannya. "Aku tidak yakin apa yang ingin kubeli, tapi aku..." Tajima berhenti di tengah kalimat, merasa canggung.
Raizo merasa ada yang berbeda dengan Tajima. "Tidak masalah, Tajima. Kita akan membelinya nanti," ucap Raizo dengan senyuman lembut. Sebagai seorang ayah, ia bisa merasakan ketidaknyamanan yang dirasakan anaknya.
Pada akhirnya, Raizo, Eugene, Mario, dan Maori bersiap untuk kembali ke desa. Mereka membawa beban rahasia yang harus dijaga dengan ketat. Namun, dalam kerumitan situasi ini, keluarga ini tetap bersatu dan siap menjalani apa pun yang akan terjadi.
Sesampainya di desa, mereka berempat bergerak menuju pertokoan untuk membeli perlengkapan yang diperlukan. Sementara sedang berbelanja, Eugene tiba-tiba melihat seorang pria berdiri di atas sebuah pohon, dengan tatapan yang tampak mengarah ke kerumunan orang. Raizo mendekati pria tersebut dan menepuk pundaknya, menyadarkannya dari pandangan anehnya.
Eugene terkejut dan segera memandang kembali ke arah pohon, namun tak ada seorang pun di sana. "Jangan terlalu lama menatap pasukan bayangan, atau kau bisa terjerat dalam urusan mahkamah kerajaan," ucap Raizo sambil tersenyum.
Mereka kemudian berkumpul dan melanjutkan perjalanan ke tempat di mana para penyihir tua berkumpul. Ada perasaan tegang dalam udara, karena mereka menyadari bahwa tugas besar tengah menanti di hadapan mereka. Dengan tekad dan persiapan yang matang, mereka melangkah maju untuk menghadapi takdir yang telah tertulis.
Di depan pintu, mereka disambut oleh suara Haryuk, "Kemana kalian ingin pergi? Paleo sedang pergi bersama dengan Ogho, dan di dalam, Tetsuya tengah bermeditasi. Tolong jangan mengganggu dia untuk sementara waktu. Jika kalian punya pesan, tinggalkan saja, aku akan menyampaikannya kepada Paleo," ucap Haryuk dengan penuh perhatian.
"Kami akan menunggu," jawab Raizo dengan sopan, sambil melihat Haryuk yang duduk tenang di bawah pohon. Kemudian, dengan suara tegas, Raizo melanjutkan, "Namun, kalian pergilah ke dalam dan jangan lakukan hal-hal aneh. Ada hal yang harus aku bahas dengan Haryuk."
Eugene, Mario, dan Maori pun mengangguk patuh, merasa ada suatu percakapan penting yang akan terjadi. Mereka masuk ke dalam tempat pertemuan, sementara Raizo mendekati Haryuk dengan penuh tekad.
Eugene, Mario, dan Maori mengangguk serta memasuki ruangan pertemuan. Sementara itu, Raizo mendekati Haryuk dengan langkah mantap. Dia mulai berbicara, "Ada hal yang harus aku ketahui tentang mereka."
"Maksudmu mereka bertiga?" tanya Haryuk dengan heran, mencoba memahami apa yang ingin disampaikan Raizo.
Raizo menggelengkan kepalanya, "Bukan itu." Ia duduk di samping Haryuk, tatapannya penuh pemikiran. "Aku merasa ada sesuatu yang Tajima dan Mizu sembunyikan. Aku melihat kecemasan di wajah mereka, terutama Tajima. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Haryuk hanya tersenyum dengan penuh pengertian, matanya terarah pada Raizo dengan penuh rasa cinta dan dukungan. Dia paham betul betapa Raizo sangat perhatian terhadap anak-anak mereka, dan dia siap mendengarkan apa pun yang akan Raizo katakan.
Di dalam kuil, mereka bertiga melihat seorang pria yang duduk bersila sembari membaca mantra dengan khusyuk. "Siapa dia?" tanya Maori dengan rasa ingin tahu.
"Eh, dia adalah Tetua Tetsuya," jawab Eugene. "Sudahlah, kita datang ke sini untuk mengetahui tentang kejadian yang akan terjadi nanti. Mari kita tunggu sampai dia selesai bermeditasi."
Namun, keheningan mereka tiba-tiba terpotong oleh suara tegas dari belakang, membuat mereka terkejut. Mereka berbalik dan melihat Tetsuya berdiri dengan tenang, menjaga jubahnya. Mario terkejut melihat bahwa meditasi Tetsuya tadi hanyalah ilusi belaka, dan kini Tetsuya berdiri di hadapan mereka dalam keadaan utuh.
"Ilusi ini, tidak salah lagi kau dari klan kami, bukan?" ujar Maori dengan nada tajam.
Tetsuya hanya tersenyum misterius. "Hahaha, Nona Maori, kau sudah tumbuh besar sejak Kado membawamu ke sini. Tapi, sebenarnya kau masih sangat kecil dalam pandangan kami."
"Apakah aku ketinggalan sesuatu?" Suara Paleo menghentikan pembicaraan antara Haryuk dan Raizo. "Ah, salam untuk ketua," ucap Raizo seraya berdiri dan membungkukkan badannya dengan sopan.
"Sudahlah, jangan terlalu formal begitu," jawab Paleo dengan senyuman ringan. Raizo perlahan mengangkat kepalanya dan melihat bahwa Ogho memalingkan wajahnya.
"Ada apa kau datang kemari, Raizo?" Tanya Paleo dengan wajah serius.
"Titah telah turun, ketua," jawab Raizo tegas.
"Paham. Berarti sudah tidak ada waktu lagi," ucap Paleo sambil mengangguk. Dia dan Ogho kemudian berjalan pergi dengan langkah mantap.
"Ayo, segera kita siapkan semua keperluan itu," ucap Paleo sembari pergi, meninggalkan Haryuk dan Raizo di belakang. Raizo hanya menatap Haryuk, menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan atas apa yang telah dilakukan.
Di dalam kuil, Paleo bertemu dengan mereka bertiga dan berkata, "Tuan Muda, sudah waktunya Anda menjalani prosesi upacara. Silahkan ikuti aku," ucap Paleo sembari melangkah maju. Eugene, Maori, dan Mario pun mengikuti langkah mereka sampai tiba di sebuah ruangan luas yang berisi sebuah altar dengan berbagai macam simbol di lantai dan dindingnya. Mereka berlima berdiri di posisi masing-masing, sementara Haryuk mengambil beberapa peralatan upacara.
Sesaat upacara dimulai, Paleo berkata, "Apa ada pesan yang hendak kau sampaikan, Tuan Muda, sebelum pergi ke dimensi mimpi?" Eugene menoleh ke Mario dan Maori, kemudian berkata, "Tolong jaga tempat ini sementara aku bersama yang lain pergi."
"Tentu, katakan pada kakek untuk pulang. Jika dia tak ada, rumah ini akan aku hancurkan," ucap Maori dengan sedikit kesal.
"Cepatlah kembali," tambah Mario. Haryuk kemudian memberi mereka jaminan, "Tenanglah, aku bersama mereka bertiga akan berada di sini untuk menjaga tubuhmu."
Raizo berdiri di tempatnya dan mengucapkan beberapa mantra untuk membuka gerbang. "Hornarium," teriak Raizo, lalu sebuah cahaya terang muncul dari tubuh Eugene. Angin kencang berhembus, dan Mario serta Maori menutup mata mereka. Saat mereka membuka mata, yang terlihat hanya Eugene yang tergeletak di tengah altar.
"Kita harus menjaga tubuh ini sampai mereka semua kembali. Sekarang biarkan tubuhnya berada di situ, kita akan keluar dan ruangan ini akan kusegel," ucap Haryuk tegas.
Namun, suasana berubah menjadi tegang saat suara tak asing terdengar dari ujung lorong. Semua mata memandang ke arah sumber suara, dan di sana berdiri Koharu, yang menahan Hana dalam pelukannya. "Aku sudah tahu kedatanganmu, adik pengkhianat. Datang kesini untuk mengacau," kata Haryuk dengan nada tegas. Sebuah kilatan energi menyambar menuju Koharu, tapi ia dengan cepat mengeluarkan perisai energi yang memecah kilatan tersebut sebelum menyentuh tubuhnya.
Namun, situasi semakin rumit ketika lima orang laki-laki tiba-tiba muncul, mereka telah menyekap Tajima dan Mizu. Ruangan yang tadinya cerah berubah menjadi gelap gulita, petir menyambar dengan ganas, dan angin berhembus kencang.
"Diam di situ, Koharu!" teriak Haryuk dengan suara menggema. Tatapan tajam mereka bertemu, menciptakan tensi yang terasa seperti listrik di udara.
Koharu hanya tersenyum sinis. "Haryuk, kau kira aku datang ke sini karena hendak menghentikan upacara ini seorang diri?"
Semakin lama, ruangan semakin penuh dengan ketegangan yang hampir tak tertahankan. Mata-mata saling memandang dengan penuh kecurigaan dan ancaman. Tiba-tiba, sinar petir yang menyilaukan memenuhi ruangan, menerangi wajah-wajah tegang.
"Jangan kau sakiti mereka," ucap Haryuk dengan suara serak, tatapannya tetap menantang Koharu. Adegan ini merupakan titik puncak ketegangan, yang mengisyaratkan pertempuran tak terhindarkan yang akan datang.
"Aku tidak akan menyakiti mereka kok, aku cuma memberikan mereka beberapa mantra," ucap Koharu dengan senyuman sinis sembari meniupkan sesuatu ke arah Mizu dan Tajima. Tanpa berkutik, keduanya pingsan dengan tiba-tiba. "Kalian bisa bertarung bukan?" tanya Haryuk, matanya memandang tajam Mario dan Maori, lalu dia menatap tajam ke arah Kaoru.
Maori mengangguk mantap, dan Mario menjawab dengan percaya diri, "Hei, kita adalah murid sekolah sihir dan kita hanya diajarkan mantra untuk bertarung pemula."
"Tetap ikuti aku dan lindungi tubuh Eugene," ucap Maori dengan suara tegas. Tanpa ragu, keduanya melangkah maju mendekati tubuh Eugene yang tergeletak.
Seketika itu, udara di sekeliling mereka berdua mulai berdesir dengan energi sihir. Awan gelap dan bertiup angin kencang, menciptakan atmosfer yang memilukan. Mata mereka fokus pada Koharu dan kelompoknya, yang siap menghadapi pertarungan.
Koharu tertawa dengan penuh penghinaan. "Kalian hanya dua remaja ceroboh. Akan kubiarkan kalian merasakan kekuatan sejati sihir!"
Tiba-tiba, sinar cahaya melingkupi tubuh Koharu dan lima orang laki-laki yang menyertainya. Mereka mulai merapalkan mantra dengan penuh konsentrasi. Energi sihir mulai berkumpul di sekitar mereka, menciptakan simbol-simbol cahaya di udara.
Mario dan Maori tidak tinggal diam. Dengan gerakan tangan yang fasih, mereka melepaskan mantra-mantra pertahanan dan serangan. Ledakan sihir menyambar udara, menyebabkan guncangan dan ledakan cahaya di seluruh ruangan. Pertarungan sihir yang hebat pun meletus dengan cepat.
Sinar-sinar sihir berkelebat, serangan-serangan tajam dihindari dengan gerakan cepat. Koharu dan rekannya menjawab dengan serangan balik yang mematikan. Suara mantra dan letupan sihir mengisi udara, menciptakan pemandangan yang luar biasa dan mencekam.
Eugene tetap terbaring tak sadarkan diri di tengah pertarungan sengit ini, tubuhnya menjadi taruhan utama di antara ketegangan dan kekuatan yang bertabrakan. Semua harapan bergantung pada upaya Mario dan Maori yang berjuang untuk melindunginya dan mengalahkan lawan-lawannya dalam pertempuran sengit ini.
Sementara itu, di dalam dimensi mimpi, mereka berlima akhirnya bertemu dengan Shin dan Kado yang sedang tengah berdiskusi. Kado menoleh ke arah mereka dan berkata, "Ternyata kalian sudah sampai."
"Hei, Kado," sapa Raizo. Kado memandangnya dengan penuh perhatian.
"Cucumu menunggu di dimensi nyata, kembalilah," lanjut Raizo. Namun, Shin segera memotong pembicaraan dengan suara tenang, "Tuan-tuan sekalian, ada hal yang perlu kita bahas sebelum mengantarkan Tuan Kado pulang."
"Kebetulan sekali, Pendeta Agung Shin. Apa kau punya beberapa mantra pelindung? Aku merasa bahwa dimensi ini sangat kuat, bahkan aku merasakan ada kejanggalan di tempat ini," tanya Ogho, dengan wajah serius.
"Tempat ini memang didesain khusus untuk para pendeta, terkecuali dari Klan Ular. Maafkan aku atas ketidaknyamanan ini," jawab Shin sambil membungkukkan badannya sebagai tanda penghormatan.
Kemudian, Shin bangkit dan merapalkan beberapa mantra dengan gerakan tangan yang tenang. Setelah selesai, ia berkata, "Mantra Tabir sudah dilepaskan. Silahkan ikuti aku." Dengan langkah pasti, Shin melangkah pergi diikuti oleh rombongan para pendeta lainnya dan Eugene. Para pendeta itu membentuk formasi pelindung di sekitar mereka, menyelubungi mereka dalam lapisan energi sihir yang mampu melindungi dari kekuatan yang kuat dan misterius di dimensi mimpi ini.
Di dimensi nyata, pertempuran sengit antara Haryuk dan Koharu berlangsung dengan gemuruh dan cahaya sihir yang memenuhi udara. Koharu melemparkan mantra-mantra dan kertas jimat dengan gerakan cepat, menghasilkan burung elang api yang menyambar menuju Haryuk, diikuti oleh cahaya hitam yang mengejutkan. Haryuk dengan lihai menangkis serangan-serangan tersebut dengan sapuan tangannya yang menghasilkan lingkaran energi pelindung.
Tidak mau kalah, Haryuk membalas dengan menggunakan mantra Ular Air, menciptakan arus air yang mengalir deras menuju Koharu. Kemudian, dia membentuk naga dari sambaran petir yang berkilauan, mengirimkannya menuju lawannya dengan kecepatan yang mengagumkan.
Pertarungan tersebut begitu intens dan cepat, dengan mantra-mantra dan energi sihir yang saling berkejaran. Maori dan Mario, yang berdiri di belakang, menyaksikan dengan hati-hati, siap untuk melindungi Eugene dan turun tangan jika diperlukan.
"Kau tetap berada di belakangku dan jaga Eugene. Jika situasi darurat, kita akan membawanya pergi," ucap Maori sambil mengeluarkan sebongkah batu yang telah diukir dengan mantra-mantra pelindung.
Mario memandang batu tersebut dengan heran. "Kau tahu mantra yang diajarkan oleh Tuan Holster?"
"Aku tahu sedikit tentang ini. Kuharap ini bisa memberikan perlindungan ekstra dari tekanan roh bertarung mereka," jawab Maori tegas, matanya tetap fokus pada pertempuran di depan.
"Tetapi jangan lupakan dua orang yang berada di belakang Koharu," tambahnya sambil menatap penuh perhatian pada dua sosok misterius di belakang Koharu, yang sepertinya juga memiliki niatan tersendiri dalam pertarungan ini.
"Telusuri jejak mimpi hingga kau temukan jawabannya di dunia nyata"
Musafir Mimpi.