Chereads / W.E(Wake Eugene) TRIBUNAL / Chapter 7 - Pertempuran Astral

Chapter 7 - Pertempuran Astral

Pertarungan Koharu dan Haryuk semakin dahsyat membuat tanah ruangan tersebut bergetar hebat Maori pun melihat kedua orang yang dibelakang Koharu menghilang dan muncul dihadapan mereka sembari merapalkan mantra,Maori semakin memperluas ruang sihir pelindungnya.dan tiba-tiba muncul Golem dari balik cahaya hitam yang diciptakan oleh kedua orang tersebut.

Golem itupun mendekat dan memukul perisai milik Maori hingga ia tersungkur namun untungnya Perisai tersebut masih bertahan dan melindungi mereka,"Omong-omong aku sudah muak dengan permainan ini"Ucap Koharu sembari menghentikan serangannya.Haryuk pun ikut menghentikan seraya memasang posisi siap bertempur."Sudah saatnya aku masuk ke dalam raga anak itu"Ucap Koharu sembari mengeluarkan aura hitam di sekeliling tubuhnya dan melemparkan Hana hingga ia menghantam tanah dan pingsan."Jangan Harap kau bisa mengelabui ku seperti yang sebelumnya,kau sudah menghancurkan hati keluargaku dengan mencoba teknik murahan itu lagi'Ucap Haryuk sembari memasang perisai sihir."Konyol sekali kau"Ucap Koharu sembari melirik ke arah Tubuh Eugene.Koharu pun melesat bagai cahaya ke arah tubuh Eugene.Melihat hal itu Haryuk pun berlari ke arah mereka bertiga sementara Koharu berhasil menembus pertahanan Maori dan masuk ke tubuh Eugene. kemudian Raksasa yang berada di hadapan maori pun mencoba melancarkan serangan terakhir dan mengenai Mario yang memasang sihir pelindung hijau,"Ini adalah perisai racun,jika Makhluk itu mencoba memukul maka sang pemanggil akan merasakan dampaknya"Kemudian Raksasa itu pun mundur perlahan setelah memukul perisai tersebut dan kedua orang pengikut Koharu pun muntah darah bercampur racun,dan kejang-kejang.

Di dimensi mimpi, Paleo merasakan adanya ketidakbiasaan dalam atmosfer langit dimensi tersebut. Shin pun mengangkat pandangannya ke langit dan berkata, "Kita memiliki tamu asing yang datang." Suaranya disertai dengan pandangan penuh kekhawatiran dari para pendeta lain yang turut mengamati langit.

Sementara itu, di dunia nyata, Maori dan Mario berhasil mengikat kelima pengikut Koharu dengan menggunakan tali sihir yang dipersiapkan oleh Haryuk. Setelah kelima orang itu diamankan, Haryuk mendekati Tajima dan Mizu dengan perlahan, seolah-olah merapalkan mantra pelan. Setelah sesaat, Tajima dan Mizu akhirnya terbangun dari keadaan lemas mereka. Mario pun mendekati Hana yang mulai sadar dan tersentak kaget saat melihat Mario hendak menyentuh kepalanya. Hana spontan berteriak, "Pria mesum...!!" lalu tanpa ragu, ia menampar pipi Mario dengan penuh energi, membuat Mario terhuyung mundur beberapa langkah.

Kejadian itu membuat suasana tegang di sekitar mereka berlima mereda sejenak. Meskipun dalam keadaan serius, momen lucu dan komedi seperti ini membawa sedikit cahaya dalam situasi yang penuh ketegangan.

Maori mendekati Hana dengan senyuman lega. "Syukurlah kau sudah siuman," katanya. Hana pun berdiri, seakan-akan masih merasa pusing, seraya menepuk-nepuk pakaiannya yang berdebu. "Ada apa ini? Kenapa aku bisa di sini?" tanyanya bingung.

"Nanti akan kukabarkan semuanya. Saat ini, yang penting kita harus menjaga seseorang yang sedang berada di tengah perjalanan ke dimensi mimpi," jawab Maori, sambil menunjuk ke arah tubuh Eugene yang tergeletak di tengah altar. Hana, setelah melihatnya, mendekat dan mulai merapalkan mantra pelindung pada tubuh Eugene. Namun, upayanya dihentikan oleh Haryuk.

"Jangan tutup tubuhnya dulu, Hana," ucap Haryuk dengan senyuman ramah. Hana, kaget dengan kehadiran Haryuk, hanya bisa menatapnya dengan wajah terkejut. "Bibi Haryuk?" ucapnya, masih dalam kebingungan.

Kemudian Haryuk pun menceritakan semua kejadian yang telah terjadi. Hana mendengarkan dengan seksama. "Jadi begitu, dia berhasil masuk," gumam Hana, mencerna informasi yang didapat. Haryuk mengangguk sambil tersenyum.

Tiba-tiba, Mario mulai sadar dan berjalan menuju mereka berdua. "Hei, kau memukulku menggunakan energi sihir kan? Aku hampir mati, tahu!" keluh Mario, masih terlihat sedikit lemah.

"Hampir mati? Untung saja aku bangun. Kalau tidak, aku pasti akan diperlakukan tidak senonoh oleh pria itu," jawab Hana dengan nada cuek sambil memalingkan wajahnya. Mario terlihat agak tersinggung dengan komentar Hana.

"Hei, aku yang membuatmu sadar dari pengaruh sihir, tahu! Kau tidak tahu ya?" keluh Mario sambil memasang wajah kesal.

Haryuk akhirnya ikut campur, dengan suara lembutnya. "Hentikan pertengkaran itu. Yang penting, kalian berdua sudah siuman," katanya, mencoba meredam suasana yang agak tegang.

"Jadi apakah ramalan itu benar? Penerus sudah ada dan dia adalah Eugene?" Tanya Hana dengan rasa ingin tahu yang membara. Haryuk berdiri dan memandangi kedatangan Mizu dan Tajima yang baru saja masuk ke ruangan tersebut. "Ini dimana? Siapa kalian?" Tajima bertanya dengan penuh kecurigaan, tangannya siap melepaskan sihir jika perlu. Sementara itu, Mizu memancarkan aura merah dari tubuhnya, menunjukkan kesiapannya untuk bertarung jika diperlukan.

Merasa perlu mengatasi ketegangan, Maori cepat berdiri di depan Haryuk. "Tenanglah, mari kita jangan membuat keributan di sini."

Tajima, yang awalnya bertindak dengan sikap tegas, akhirnya mengendurkan ketegangannya. "Baiklah, tetapi aku tidak tahu siapa kalian. Aku hanya mengenal lelaki bermulut besar itu," ucapnya sambil menunjuk Mario dengan pandangan sinis.

Tampaknya Mario sudah tidak bisa menahan emosinya. Dengan ekspresi kesal, ia hampir mengamuk, tetapi tindakan itu segera dihentikan oleh Hana yang menariknya menjauh. "Kau bilang apa, huh? Tenanglah, mari duduk dan biarkan mereka menjelaskan."

Haryuk mendekati mereka berdua dengan langkah tenang, mencoba meredakan suasana. "Kalian tidak perlu khawatir, kami bukanlah penjahat seperti yang kalian kira. Raizo sedang menyeberang ke dimensi mimpi, dan kalian akan aman di sini."

Tiba-tiba, Mizu mengajukan pertanyaan penting. "Bagaimana kami bisa tahu bahwa kalian bukan bagian dari mereka?"

Haryuk mengambil tindakan, membuka portal sihir menuju rumah mereka. Dengan penuh keyakinan, ia berkata, "Lihatlah, ini adalah mantra yang sering digunakan oleh ayahmu, bukan? Mantra ini hanya bisa digunakan oleh anggota Klan Tetua."

Namun, Tajima merespons dengan skeptis, "Semua orang bisa menggunakan mantra itu."

Mizu memutuskan untuk berbicara. "Tapi, ini adalah mantra milik ayah, aku bisa merasakan auranya dari warnanya."

Tanpa banyak kata, Haryuk berjalan ke pintu keluar dan memanggil Mizu. "Kamu Mizu, bukan? Ikutlah aku, sementara adikmu tinggal di sini."

Namun, Tajima memiliki pendapatnya sendiri. "Tidak, aku akan ikut bersama kakakku."

Mizu memberikan isyarat pada Tajima untuk tetap tinggal, lalu dia dan Haryuk meninggalkan ruangan. Di lorong, Haryuk dengan lembut bertanya, "Bagaimana kabar ayahmu? Apakah dia masih memiliki masalah dengan sakit pinggang?" Meskipun Haryuk belum tahu bahwa dia adalah ibu kandung mereka, pertanyaannya terasa penuh perhatian. Mizu hanya diam, menunjukkan perasaannya yang kompleks selama perjalanan keluar.

Di luar bangunan, Haryuk menatap dedaunan pohon seraya berkata, "Maafkan aku karena tidak merawat kalian dengan benar." Mizu terdiam, wajahnya penuh dengan tanya. "Apa maksudmu?" bisik Mizu, sepertinya mencoba meresapi kata-kata Haryuk.

Haryuk, dengan penuh kelembutan, mengulurkan tangannya hendak memegang tangan Mizu, namun Mizu menepisnya dengan perasaan campur aduk. "Tidak apa-apa, kau harus tahu tentang hal ini, Mizu," ucap Haryuk dengan suara lembut. Mizu pun memutuskan untuk membiarkan tangan Haryuk menggenggam tangannya.

Haryuk mulai merapalkan mantra pembalik waktu, dan dengan mata terpejam, ia memasuki aliran waktu yang membawanya kembali ke masa lalu. Ia melihat suasana di rumahnya, di mana Raizo duduk di samping seorang wanita yang memeluknya dengan penuh kasih sayang. Mizu menyaksikan mereka tertawa bahagia, seolah tenggelam dalam kebahagiaan pekarangan rumah mereka.

Tapi latar berganti, kini ia melihat seorang wanita yang baru saja melahirkan, dan Raizo yang menunggu di luar kamar, gemetar dalam antusiasme menanti kelahiran sang anak. "Anakmu sudah lahir, dia perempuan," ucap wanita itu, senyum bahagia menghiasi wajahnya.

Seketika latar berubah lagi, kali ini ia melihat seorang wanita yang menggendong bayi kecil, dan di dekatnya tergeletak bayi yang ditinggalkan. Wanita itu dengan lembut memungut bayi yang ditinggalkan itu, seolah tak tega meninggalkannya. Seketika mata Haryuk berkaca-kaca, menghayati setiap momen dengan intensitas yang luar biasa.

Kemudian, tiba-tiba seperti dihentikan dalam waktu, Mizu merasakan genggaman tangan Haryuk terlepas dan Mereka kembali ke tempat semula, berdiri di tengah dedaunan. "Apa yang ingin kau katakan? Siapa wanita itu?" tanya Mizu dengan suara yang serak, keheranan memenuhi matanya.

Haryuk meneteskan kedua air matanya, suara lembutnya terdengar jauh. "Itu kalian, Mizu. Kalian berdua." Suaranya seperti bisikan angin, merasuk ke dalam hati Mizu. Ia merasa hancur dan terkejut sekaligus, tak mampu menahan kekacauan emosinya.

Keheningan tercipta di antara mereka. Sebuah pelukan bisa jadi sebuah jawaban, tetapi kini Mizu malah terdiam, tak sanggup menatap wajah Haryuk. Hatinya penuh dengan kebingungan, pertanyaan, dan rasa ingin tahu yang tumbuh semakin besar. Dalam langkah hening, Mizu kembali masuk ke dalam bangunan.

Haryuk masih berdiri di luar, wajahnya tercermin dalam hening malam. Suara bisikan batin Mizu terdengar dalam hati, "Apakah itu kau, ibu?"