Chereads / W.E(Wake Eugene) TRIBUNAL / Chapter 3 - Outside The Wall

Chapter 3 - Outside The Wall

"Kemana tujuan kita ?" tanya Eugene kepada Mario,"Kita akan menuju pemukiman Light of Serenitty mungkin kita akan menemuinya disana"Jawab Mario.

Pagi itu, Eugene dan Mario memulai perjalanan mereka menuju pemukiman Light of Serenity. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Maori yang tampak sedang melintas.

"Kalian mau ke pemukiman, ya?" tanya Maori.

"Betul sekali," jawab Mario.

"Tapi, Maori, kau sedang apa di sini?" tanya Eugene skeptis.

"Ah, aku baru saja mengunjungi kakekku," jawab Maori.

Eugene dan Mario saling pandang dengan kebingungan. Mario akhirnya bertanya, "Kau punya kakek di sini, tapi kenapa kau tidak tinggal bersamanya?"

"Kakekku orang yang sangat pendiam, dan terkadang ia melakukan ritual-ritual aneh. Aku merasakan aura hitam ketika dia melakukan ritual itu," jelas Maori sambil menggigil karena kedinginan. "Sudah memasuki musim dingin, pastikan kalian selalu membawa jaket ketika keluar dari asrama."

Kemudian mereka berdua tiba di desa, menuju sebuah kuil tua di ujung pedesaan. Kuil itu terlihat indah, dikelilingi oleh kolam ikan dan sungai. Saat mereka tiba di depan kuil, mereka disambut oleh seorang wanita dengan pakaian ala pendeta. Wanita itu mendekati mereka dan bertanya tentang tujuan mereka.

"Perkenalkan, namaku Mizu. Aku adalah penjaga kuil ini. Kalau boleh tahu, apa tujuan kalian datang ke sini?" tanya Mizu.

Tiba-tiba, seorang pemuda meloncat dari atas pohon dan bergabung dalam percakapan. Mario berbisik pada Eugene, "Kelihatannya ini pertanda buruk."

Pemuda itu langsung mengejek Mario, dan pertukaran kata-kata terjadi di antara mereka. Akhirnya, kepala pemuda itu, Tajima, terkena pukulan dari Mizu dan pingsan.

"Mohon maaf atas tingkah laku adikku yang nakal," kata Mizu sambil membungkuk.

"Mari masuklah," lanjutnya, mengalihkan perhatian. Ia pun memimpin mereka menuju rumah sambil menyeret Tajima yang masih tak sadarkan diri.

"Wanita ini cukup menakutkan," gumam Eugene dan Mario dalam hati.

Dengan langkah hati-hati, mereka akhirnya memasuki rumah itu, tidak tahu apa yang akan menanti mereka di dalam. Kehidupan penuh misteri dan petualangan baru terus menghampiri Eugene, Mario, di dunia mereka yang penuh dengan sihir dan keajaiban.

"Duduklah di sini, aku akan membuatkan kalian teh," kata Mizu sambil melangkah pergi menuju dapur. Tajima masih tergeletak lemas di hadapan Eugene dan Mario.

Tiba-tiba, mata Tajima perlahan terbuka, dan dengan gesitnya ia melompat serta bersembunyi di balik tembok. Dari tempat persembunyiannya, ia mengintip keduanya.

"Aku akan mengawasi kalian, orang mesum," bisik Tajima sembari menghilang dari pandangan mereka.

Beberapa saat kemudian, Mizu kembali dengan dua gelas teh hijau keramik. Mereka pun beralih ke percakapan dengan Mizu, tetapi suasana tiba-tiba terpotong oleh kemunculan seorang laki-laki tua yang datang dari pintu masuk.

Laki-laki tua itu muncul dengan langkah lambat, memegang sebatang tongkat kayu. Wajahnya yang penuh keriput dan tanda-tanda usia membuatnya terlihat sangat bijak dan menghormati. Dia memandang mereka dengan tatapan tajam, dan kemudian mulai berbicara dengan suara rendah yang penuh hikmat.

"Realita itu lebih sakit... jangan terpaku dengan mimpi," sahut seorang pria dengan pakaian pendeta dan topi caping. Suaranya terdengar tegas dan bijak. "Ayah," sambut Mizu dengan gembira, berbalik badan untuk menyambut kedatangan pria yang tampaknya sangat ia kagumi.

Mizu segera membantu Raizo membawa barang bawaannya. "Aku pulang... eh... Mizu? Siapa mereka? Apakah mereka calon menantuku?" tanya Raizo dengan penuh antusiasme, tetapi juga tatapan tajam ke arah Eugene dan Mario.

Terdengar jelas oleh mereka, tanpa bisa mengendalikan reaksi, Eugene hampir tersedak mendengar komentar Raizo. Wajahnya memerah, mencoba untuk mengontrol rasa malu. Mizu pun memalingkan wajahnya, terlihat sangat malu.

"Hmm, jadi begitu ya... kau telah bertemu dengan Shin," ujar Raizo dengan tatapan penuh pengertian. "Dia adalah Seorang Pertapa tua yang sudah meninggal beberapa puluh tahun lalu. Saat ia masih hidup, ia diberi mandat untuk menemukan penerus Kaisar. Namun, dalam misinya, ia dikubur hidup-hidup oleh adik sang Kaisar." Raizo menjelaskan dengan suara serius.

Eugene dan Mario mendengarkan dengan seksama, terpesona oleh cerita yang tak terduga ini. Suasana menjadi serius, namun tiba-tiba Raizo berpaling ke Mizu dengan senyum lebar.

"Aku harus menghubungi beberapa Serikat tua. Ini akan menjadi berita besar bagi para tetua," kata Raizo sembari berdiri dan berjalan menuju kamar Mizu.

Sesampainya di depan pintu, Raizo berkata lagi dengan penuh semangat, "Mizu, siapkan pakaian simbolis keluarga kita. Aku akan menemui para tetua besar di desa."

Mizu pun hanya bisa tersenyum dan mengangguk, berbicara dalam hati kecilnya, "Aku bertemu dengan dia dalam mimpiku." Semua peristiwa misterius ini telah membawa mereka lebih dekat pada rahasia yang tak terpecahkan, dan takdir yang lebih besar dari yang mereka bayangkan.

Sore harinya, Raizo bersama Eugene dan Mario memasuki suatu tempat yang terletak di Desa Serenity. Tempat ini dipenuhi dengan nuansa keheningan dan keagungan, memberikan mereka perasaan khusyuk dan hormat saat memasuki area tersebut.

Di tengah kerumunan, terdapat beberapa petinggi kuil yang langsung menyambut kedatangan mereka. Salah satu di antara mereka adalah seorang lelaki tua dengan jubah merah yang terlihat anggun. "Raizo, kau tahu sudah berapa lama kau tidak menginjakkan kaki di sini," ucapnya, menyambut dengan tulus.

Raizo menjawab dengan hormat, "Tetua Tetsuya, aku sedang mencari pemahaman tentang kejadian-kejadian akhir-akhir ini." Tatapan mereka bertemu, mencerminkan sejumlah peristiwa yang belum terselesaikan.

Tiba-tiba, Tetsuya melihat Eugene dan Mario sambil tersenyum. "Jangan takut, anak muda. Kami bukan penyihir hitam," katanya, menghilangkan ketegangan.

"Hai, Pak Tua. Kau tahu kan, selain kita berlima, tak boleh ada orang asing masuk ke sini, kecuali terkait dengan Mimpi Kaisar?" Suara lain terdengar dari seorang lelaki tua dengan jubah hijau. Tatapan mereka bertemu dalam momen yang penuh makna.

Raizo merespons dengan sinisme, "Tumben hari ini kau sensitif sekali, Ogho." Namun, Ogho memotong dengan nada tajam, "Dari awal kau datang kesini, aku benci denganmu. Kuharap kau membawa berita baik untuk kita."

Raizo menjawab dengan senyum di wajahnya, "Ini bahkan lebih dari bagus, Hai Ogho." Tampaknya ada lapisan makna yang lebih dalam dalam obrolan mereka.

Tak lama kemudian, terdengar suara yang mengagetkan semua orang. "Hei, apakah ini calon menantu kita?" sahut suara seorang wanita dari lorong kuil. Raizo tersenyum dan berkata, "Aku harap kau menyukai seleraku." Mario hanya bisa tersipu malu, melihat tatapan tajam wanita tersebut.

Saat obrolan dan pertemuan berlanjut, suara tegas seorang pria dengan jubah emas muncul. "Hahahaha... anak muda, selamat datang di perkumpulan para pendeta tua." Suaranya bergema di seluruh kuil.

Seluruh pendeta pun menundukkan kepala mereka dengan hormat, memberikan salam kepada seorang ketua bernama Paleo. "Raizo, ada apa? Kau datang dengan angin berbeda hari ini. Angin yang berhembus di dalam altar... pasti membawa berita baik," sapa Paleo dengan bijak.

"Salam untuk Ketua Paleo," sahut Raizo, menghormati. "Aku mendapatkan berita tentang Penerus Kaisar," lanjutnya dengan serius.

Paleo menanggapi dengan perhatian. "Beberapa bulan yang lalu, kau juga membawa seorang pemuda. Kuharap ini yang terakhir," kata Paleo dengan nada khawatir.

"Kini aku berjumpa dengan seorang pendeta dalam mimpiku. Dia memberiku ini," Raizo menjawab sambil menunjukkan simbol di tangannya. Suasana pun menjadi serius.

"Sesungguhnya ini adalah Simbol Kaisar!" seru Paleo. Ia dan seluruh pendeta menundukkan kepala mereka sebagai tanda hormat kepada Kaisar yang mereka layani.

"Salam untuk Raja," terdengar seruan bersamaan dari seluruh pendeta. Kini, mereka telah mendapat persetujuan dari Kaisar yang menjadi pusat keberadaan mereka.

Paleo berbicara lagi, kali ini dengan penuh keyakinan, "Raizo, kau tidak salah membawa pemuda ini." Suara-suara persetujuan pun mengalir dari para pendeta lainnya.

Paleo meminta mereka untuk mengikuti langkahnya, membawa mereka ke suatu ruangan perpustakaan yang penuh dengan buku-buku bersejarah. Disini, Raizo dan Ogho terlibat dalam perbincangan intens. Dalam obrolan itu, masa lalu yang kelam, rahasia keluarga, dan masa depan yang belum terkuak menjadi pusat pembicaraan.

Raizo: "Haryuk, apakah kau masih mengenang hari-hari awal kita? Bagaimana kita pertama kali bersama?"

Haryuk: "Tentu saja. Seolah baru kemarin, kita menyelamatkan desa ini dari serangan iblis."

Raizo: "Namun, apakah kau merasakan bahwa perjalanan ini akan menjadi akhir dari kita?"

Haryuk: "Aku punya firasat yang sama. Kita tak bisa mengabaikan keberadaan pemuda itu."

Raizo: "Kau merasakan aura aneh di sekitar Paleo juga, bukan?"

Haryuk: "Ia berbeda, mungkin karena ia masih muda di antara kita yang sudah berumur ratusan tahun."

Raizo: "Aku pun berharap ia bisa menemukan kebenaran yang selama ini disembunyikan."

Haryuk: "Semoga saja. Kita tak bisa membawa rahasia ini selamanya."

Raizo: "Tetapi, Haryuk, aku ingin berbicara tentang Mizu dan Tajima."

Haryuk: "Kedua anak itu, mereka memiliki peran penting dalam cerita ini."

Raizo: "Aku khawatir, dan aku ingin memastikan mereka aman."

Haryuk: "Kau sangat mirip denganku pada zamannya. Tetapi, kau tahu, ada keberanian dan tekad dalam hati mereka."

Raizo: "Tentu saja. Aku hanya ingin menjaga mereka, seperti yang kau lakukan padaku dulu."

Haryuk: "Ingatlah, takdir tak bisa kita prediksi. Namun, jika mereka mengikuti jalan yang benar, masa depan bisa lebih cerah."

Raizo: "Aku mengerti. Terima kasih, Haryuk."

Haryuk: "Kita harus kembali. Para pendeta menunggu."

Raizo: "Tentu saja."

Mereka berdua bergegas kembali ke ruangan pertemuan. Namun, tatapan mereka mengandung makna yang mendalam dan mengungkapkan hubungan yang telah terjalin selama ratusan tahun. Kedekatan mereka bukan hanya sekadar pertemanan, tapi juga mengandung beban masa lalu dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Di dalam ruangan yang penuh dengan aroma kertas kuno, Paleo tengah asyik membaca beberapa perkamen tua. Namun, tiba-tiba matanya berbinar dan ia meraih sebuah perkamen dengan penuh antusiasme. Ia lalu memberikannya kepada Eugene, sementara raut wajahnya bersemu kagum dan kegembiraan.

Dengan hati-hati, Eugene membuka lembaran perkamen tersebut. Di sana terpampang sebuah tanda simbol yang sangat mirip dengan simbol pada segel gulungan yang selalu ia bawa dalam perjalanannya.

Tanda simbol itu memancarkan aura misteri dan seakan membisikkan suatu rahasia besar yang telah lama tersembunyi. Dalam pesan di perkamen itu tertulis kata-kata yang seolah menjadi kunci untuk memahami suatu makna yang lebih dalam.

Terkumpul di sekitar meja, mereka merasa dunia mereka menyatu dengan masa lalu yang kini terbuka lebar di depan mata. Semua tanda dan simbol di perkamen itu menuntun mereka pada suatu pemahaman yang lebih besar tentang takdir mereka.

Suasana ruangan berubah, seolah waktu melintas dengan cepat dan membawa mereka pada titik pertemuan antara sejarah dan masa kini. Ketika mereka melihat satu sama lain, tatapan mereka memancarkan rasa persaudaraan dan tekad yang kuat untuk mengungkapkan setiap rahasia yang tersembunyi.

Pesan di perkamen itu adalah pengingat bahwa mereka memiliki peran penting dalam mengurai benang kisah yang telah dijalani selama berabad-abad. Dengan tekad bulat, mereka siap menjalani setiap langkah yang dibutuhkan demi mengungkap kebenaran yang telah lama terpendam.

Takdir telah memanggil mereka, dan mereka siap menghadapi setiap perjalanan yang akan datang. Dengan segala rahasia dan harapan yang tersemat dalam diri mereka, mereka merasa semakin dekat dengan menggapai masa depan yang mereka idamkan.

ia membaca sebuah pesan didalam perkamen tersebut yang bertuliskan:

"Simpan sebuah perkamen tersebut dan tunjukan padaku dihari dimana aku akan menghadap kelangit dan tanganku akan menunjuk ke beberapa orang yang lalu lalang dan aku akan membawa sebuah obor dibawah sinar rembulan yang terang Bukalah perkamen tersebut dihadapanku Seluruh pendeta yang bersamamu akan menunduk saat gerbang ku terbuka disanalah aku akan menemui mu"

"Apa ini maksudnya?" ucap Mario sambil mengerutkan kening, matanya meneliti perkamen tersebut dengan penuh rasa ingin tahu. "Bolehkah aku membawa perkamen ini?" tanya Eugene kepada Paleo, dengan wajah penuh harap. "Tentu saja, Tuan Muda," jawab Paleo sambil membungkuk hormat. Mereka berdua keluar dari ruangan dan tak lama kemudian bertemu dengan Ogho.

"Anak muda, jangan sembarangan membuka dimensi atau sihir di sini. Aku tidak suka dengan hal itu," ucap Ogho sambil melotot tajam pada mereka. "Oh, dan satu lagi, jangan membawa kalung itu masuk ke sini. Rasanya mengganggu sekali," tambahnya sambil menunjuk kalung yang tergantung di leher Mario. Meskipun Ogho memberi peringatan dengan serius, mereka berdua tampaknya tidak begitu memperdulikannya dan langsung pergi mendekati Raizo yang terduduk lemas.

Lalu Eugene berkata, "Kami akan kembali ke sekolah." Namun, Raizo tiba-tiba meminta bantuan dengan ekspresi memelas di wajahnya. "Bolehkah aku meminta tolong sebelum kalian pergi?" tanya Raizo, wajahnya tampak sangat menderita. Eugene mendekat dan bertanya, "Ada apa?"

Raizo menjawab dengan nada serius, "Bantu aku berdiri, kakiku kesemutan." Dia terlihat meringis karena kesemutan yang cukup mengganggu. Mario tak kuasa menahan tawanya dan bergumam, "Dasar kakek tua, sudah tua-tua merepotkan."

Eugene tak kuasa menahan senyumnya sementara ia membantu Raizo berdiri. Setelah berhasil berdiri dengan susah payah, Raizo melihat Mario dengan mata berbinar. "Hei, Gendut. Kau tahu suatu saat kau juga akan merasakan yang sama sepertiku." Mario hanya bisa menggelengkan kepala sambil tertawa.

"Sudahlah, ayo kita kembali," potong Eugene sambil tertawa sembari menggandeng lengan Raizo. Mereka berjalan menjauh, sementara Raizo dan Mario masih saling ejek dengan riang.

Tentu saja, Ogho yang mendengar interaksi kocak itu hanya bisa menggelengkan kepala, merasa agak terganggu dengan keributan yang mereka buat. Namun, ia tidak bisa menyangkal bahwa kehadiran mereka juga telah membawa semangat dan keceriaan di tempat yang selama ini begitu kaku dan serius.

Mimpi.....

Aneh.....

#Pejalan Mimpi