Terjadi pemadaman listrik malam itu, padahal cuaca sedang bagus. Cahaya bintang menyinari lapangan sepak bola yang terbentang di depan asrama. Salah satu gawang yang dicat warna putih terlihat berdiri tegak dari jendela ruang Anggrek. Ruangan itu gelap, sepi. Padahal empat belas ranjang yang berbaris sedang menantikan majikannya. Hanya tiga ranjang yang memperlihatkan kehidupan. Tiga orang gadis masing-masing berbaring di atas ranjangnya. Sementara di luar, gadis-gadis lain berkumpul mengelilingi api unggun, didampingi para pemuda dari asrama putra yang mencoba menenangkan mereka.
Beberapa waktu yang lalu, setelah terjadi pemadaman listrik keributan itu dimulai. Dengan kompak dua orang gadis dari ruang Mawar dan Dahlia berteriak histeris. Teriakan itu menggema di seluruh gedung asrama putri dan menyiagakan semua penghuni mulai dari ruang Mawar, Anggrek, Dahlia, dan Asoka. Saat itu mereka baru saja kembali ke ruangan masing-masing setelah jam belajar berakhir. Belum ada yang tertidur, bahkan tiga gadis yang berbaring di ranjangnya itu. Mereka belum tertidur. Mereka mendengar teriakan itu. Mereka mengetahui adanya keributan yang terjadi.
Teriakan itu terjadi karena dua orang penghuni asrama merasa melihat penampakan sosok hantu. Beberapa menit kemudian, seorang gadis yang lain mengalami kerasukan. Ia meronta dan mengamuk.
Dengan panik, beberapa gadis meminta pertolongan kepala asrama dan penghuni asrama putra. Gadis itu dibawa ke ruangan kepala asrama agar tidak menimbulkan kepanikan yang lebih besar lagi. Para ketua ruangan dipanggil. Mereka masih berusaha menenangkan gadis kerasukan itu sementara mereka memanggil pemimpin agama untuk mengambil alih urusan ini.
Akibat kekacauan itu, tidak ada yang ingin bertahan dalam kegelapan di dalam gedung asrama. Mereka berlarian keluar, berkerumun saling menenangkan. Hal ini direspon oleh penghuni asrama putra, mereka menyalakan api unggun di halaman tepat di depan kantor kepala asrama. Berniat memberi ketentraman untuk para gadis yang ketakutan. Modus...
Tapi kekacauan itu tidak mengganggu tiga orang gadis di ruang Anggrek.
"Katanya ada hantu loh!" Lilis memperjelas informasi pada kedua temannya.
"Biar aja, mau tidur gue...", Helena yang berbaring di tengah mengubah posisi tidurnya dari terlentang menjadi berbaring miring.
"Ga mau ninggalin selimutku... Dingin...", Anka menarik selimutnya lebih tdekat ke dagunya. Sementara Lilis yang hanya menggunakan tank top satin tipis berbaring dengan menopang kepalanya.
"Aku mau ikut main api unggun eh... Tapi malas pakai baju..." keluhnya. "Siapa tahu bisa PDKT sama cowok ganteng kan?" Wajahnya nakal.
"Oi Pipa! Ga takut hantu kah?!" Suara mengagetkan seorang pria muncul dari jendela yang terbuka. Jendela itu dibiarkan terbuka agar cahaya bulan masuk, dan bukannya seorang pemuda!
"Aaaa!! Hermaaaasss! Ini asrama putri!" Teriak Lilis. Ia menarik selimut menutupi tubuhnya.
"Hati-hati nanti kalian juga kerasukan loh!" Wajah lain menampakkan diri di jendela lainnya. Itu Ronal. Andriawan juga berada di sana, tubuh kecilnya menyelip di balik tubuh Ronal yang tinggi dan ramping.
"Tenang... Para pangeran ada di sini...", sambung Andriawan. Wajahnya paling menggemaskan di antara mereka. Dia juga sopan. Tapi karena menjadi bagian dari kelompok menyebalkan Karat Devils, Andriawan tetap harus dilawan!
"Hueeeekkk!!" Dengan kompak para gadis berakting muntah mendengar kata "pangeran".
"Mereka sih ga perlu takut, mereka kan hantunya!" Kata Hermas. "Tuh, Helena itu kan Wewe Gombel. Nah, Anka itu kuntilanak. Kalau Lilis..."
"Hermaaaaasss! Awas ya kalau sama-samain aku dengan hantu!" Lilis melemparnya dengan bantal. Meleset. Bantal itu melompat keluar. Jatuh di semak-semak. Ketiga pemuda itu malah tertawa. Akhirnya Lilis bangkit dan mengejar mereka. Hanya pose sebenarnya, ia tidak akan benar-benar melompat dari jendela untuk mengejar mereka. Untuk mengambil bantalnya, mungkin. Paling tidak, itu membuat Hermas dan kawan-kawan pergi melarikan diri.
"Dasar Karat Devils! Awas ya berani ke ruangan kami lagi, kulaporin Pak Doklas kalian!" Teriaknya dari jendela.
"Ah, bantalku...", Lilis menatap bantalnya dari jendela. Ia hampir naik ke atas jendela, tapi urung karena sesosok pemuda mengambil bantal itu. Itu Kak En. Jantung Lilis hampir meluncur ke kakinya. Entah berapa kali sosok itu membuatnya meleleh hanya dengan melangkah ke arahnya.
"Ga takut kah?" Tanyanya seraya menyerahkan bantal itu kepada Lilis.
"Nggak... Ada Helena sama Anka juga koq!" Wajahnya tersipu malu. Terpesona.
"Ya udah. Hati-hati aja". Kak En mengingatkan. Sebelum berbalik pergi, ia melirik tubuh Lilis yang hanya mengenakan tank top. Hal itu membuat Lilis sadar dan menutupi tubuhnya dengan bantal. Kak En beranjak pergi. Melihat punggungnya saja, Lilis merasa terpesona. Bahunya yang lebar terbentuk jelas dibalik baju basket yang dipakainya. Tanpa lengan, baju itu memperlihatkan otot bisepnya yang keren. Kak En memang rajin berolahraga. Tubuhnya terbentuk sempurna.
Sangat berbeda dengan tiga Karat Devil yang menyebalkan. Ketiga pemuda itu adalah penghuni asrama putra. Khususnya ruang Ulin. Di sekolah mereka juga tidak pernah akur. Selalu mencari masalah dengan kelompok Anka, Helena, dan Lilis. Mereka dijuluki Viva Angels.
Setiap hari, baik di asrama maupun di sekolah adalah perang antara Viva Angels dan Karat Devils.
Lilis kembali ke ranjangnya, masih berangan-angan. Tapi kedua sahabatnya semakin bergulung dalam selimut. Cuek. Selalu. Helena dan Anka adalah gadis paling tidak peduli di dunia. Bahkan jika ada bom meledak pun, belum tentu mereka berdua akan bangun dari tidurnya. Apalagi jika itu tidur siang. Selain membaca buku, tidur siang adalah hobi mereka. Jangan ada yang berani mengganggu mereka tidur siang! Apapun yang mereka pegang akan melayang. Entah itu boneka, selimut, atau pisau sekalipun!
Tapi akhirnya Lilis ikut berbaring dan tidur. Jadwal belajar pukul 4.30 tetap akan menjadi rutinitas meskipun ada kekacauan malam ini. Jadi ia bersiap untuk rutinitas besok. Yang terutama, bersiap untuk mengalahkan Karat Devils dalam bidang apapun!