Hari minggu sore itu Lilis mendapat jadwal piket memasak. Jadwal piket itu selalu diacak setiap minggu, sehingga setiap tim piket akan selalu berubah-ubah. Masing-masing penghuni asrama pasti pernah menjadi satu tim dengan orang yang mereka sukai atau yang tidak mereka sukai. Tentu saja saat yang ditunggu adalah saat menjadi satu tim dengan seseorang yang disukai.
Hari ini Lilis menjalankan piketnya dengan lebih ceria, kak En juga piket bersamanya. Hermas juga ada di sana, tapi sepertinya dia tidak terlalu tertarik untuk mengganggu Lilis. Mungkin karena Helena dan Anka tidak bersamanya.
Sambil menyapu ruang makan, Lilis memperhatikan kak En melalui jendela kaca. Jendela itu memiliki lubang di bagian bawah yang berfungsi sebagai tempat para penghuni asrama menyerahkan piringnya untuk diisi petugas yang membagikan makanan.
Masih dengan pakaian olahraganya, kali ini berwarna jingga dengan nomor punggung sembilan. Kak En sedang berusaha membersihkan beberapa ekor ikan patin. Ikan itu berukuran besar, tapi kak En tidak kesulitan memotong-motongnya menjadi ukuran kecil dengan pisau.
Lilis membulatkan tekad. Berusaha mendekati kak En. Ia masuk ke ruang dapur, dua orang gadis dari ruang Mawar sedang memotong sayur. Yang satu adalah kak Tasia, juga kakak kelasnya di SMA. Yang satu lagi kak Bulan. Ia sekolah di SMA bawah.
Lilis memutuskan untuk membantu ibu dapur yang sedang menyiapkan penggorengan di atas kompor gas bermata "seribu" (begitulah mereka menyebutnya).
"Dek, ambilkan minyak goreng itu!" Pinta ibu dapur. Lilis mendapatkan barang yang dibutuhkan, ia juga langsung menuangkan minyak di penggorengan. Sambil menunggu minyak menjadi panas, Kak En sudah selesai membumbui ikannya.
"Tolong digoreng ya, ibu mau urus yang sayur dulu", kata ibu dapur sambil menunjuk kak En, tapi menyerahkan spatula pada Lilis. Yup! Terima kasih ibu, engkau tahu bagaimana membuat mereka melakukannya bersama.
Kak En, menatap Lilis. Dia tersenyum. Sambil memasukkan ikan ke dalam minyak panas, mereka mengobrol bersama.
Kak En, "ga pulang kah kemarin dek?"
"Mau pulang ke mana kak? Orang tuaku kan di pulau seberang...", jawab Lilis.
"Lho, jadi kamu ga pernah pulang ya? Ga kangen sama orang tua kah?" Kak En berhenti memasukkan ikan karena sudah tidak muat lagi di penggorengan. Mereka menunggu ikan itu matang.
"Kangen sih, tunggu liburan pembagian raport baru pulang. Tinggal beberapa minggu aja lagi koq! Minggu depan kan sudah ujian", jawab Lilis.
Mereka masih mengobrol ketika kak Bulan memanggil, "En, tolong di sini dong!"
Terlihat kak Bulan sedang menghadapi sepanci besar sayur santan. Ia terkenal jago masak, tapi untuk mencicipi masakannya kali ini ia meminta bantuan kak En.
Kak En mencicipi kuah itu lalu memberikan anggukan tanda setuju. Baru saja ia ingin kembali, kak Bulan mengajaknya mengobrol lebih lama. Saat itu Lilis mulai merasa kesepian. Kesepian dan hanya ditemani ikan-ikan gorengnya. Kak En dan Kak Bulan memang sekelas di sekolah. Keduanya sekarang sedang menjalani tahun terakhirnya di sekolah. Wajar jika mereka memang begitu akrab.
Ikan yang berada di penggorengan sudah mulai berubah warna, Lilis berusaha membalik ikan itu dengan spatula ketika tiba-tiba saja minyak panas terpercik ke tangannya disertai suara letupan-letupan. Hal yang serig terjadi jika menggoreng ikan berlendir seperti ikan patin. Lilis berteriak dan mundur selangkah dari kompor tersebut.
Hal itu menjadi perhatian mereka yang berada di dapur. Ibu dapur segera mengambil spatula yang dipegang Lilis, "pergi cuci tanganmu dengan air, supaya ga melepuh!"
Baru saja ibu dapur mengatakan hak itu, Kak En sudah datang dan menarik tangan Lilis. Ia membawa Lilis mendekati wastafel, menyalakan keran air, lalu membiarkan tangan Lilis tersiram air yang mengalir.
Lilis merasa tangannya yang perih karena percikan minyak panas menjadi dingin. Anehnya, dari tangannya mengalir rasa dingin yang menyejukkan ke dadanya. Lalu naik ke wajahnya dan membuat wajahnya menjadi panas.
"Makasih...", hanya itu yang bisa Lilis katakan saat kak En melepas tangannya, tapi masih berdiri di sampingnya.
"Makanya hati-hati... Ada spatula koq pakai tangan balik ikannya!" Kata Kak En bercanda. Seketika saja suasana kembali normal. Mereka kembali melanjutkan pekerjaan dan menyelesaikan piket sore itu tepat waktu.
Sebelum lonceng makan malam dibunyikan, Lilis bergegas kembali ke asrama putri untuk mengambil perlengkapan mandinya. Ia ingin makan bersama Helena dan Anka. Keduanya sedang mengobrol di ranjang seperti biasa, sudah mandi, dan menunggu dirinya.
"Aku mandi dulu yah!" Kata Lilis. Ia lalu pergi menghilang setelah melihat kedua sahabatnya memberikan jempol.
Ia sampai di kamar mandi, hampir memasuki bilik ketika ada yang memanggilnya.
"Dek Lilis...", suara lembut dari kak Tasia terdengar.
"Kenapa kak?" Tanya Lilis dari pintu.
"Tangan adek gak apa-apa kah?" Tanya Kak Tasia lagi. Ia sebenarnya memiliki saudara kembar, tapi mereka benar-benar tidak mirip. Kak Tasia (Anastasia) lebih lembut dan keibuan, sementara Kak Tania (Ataliana) lebih kasar dan memiliki suara tinggi saat bicara.
Lilis memperhatikan tangannya yang memerah, tapi ia menggelang dan berkata, "gak apa".
Kak Tasia mendekati Lilis, ia mulai memasang wajah serius saat berbicara, "dek, katanya kamu naksir ya sama Kak En?"
Lilis memang mengatakan perasaannya itu kepada beberapa orang, mungkin saja hal tersebut telah menyebar sehingga kak Tasia pun tahu. Pada akhirnya, Lilis pun hanya tersenyum malu dan mengangguk, mengiyakan.
"Oh, ga apa juga sih. Cuma, dia sama Kak Bulan itu pernah pacaran, sekarang mereka ni lagi bertengkar, tapi gak ada kata-kata putus. Kakak takut aja, nanti kamu dibilang sebagai perusak hubungan kalau dekat-dekat sama Kak En sekarang ini... " kata Kak Tasia. Suara lembutnya terdengar sangat peduli.
Lilis sama sekali tidak mengetahui hal itu, tapi ia paham, apa yang kak Tasia katakan sebenarnya adalah agar ia tidak mendekati Kak En. Dengan alasan untuk tidak menjadi perusak hubungan mereka maksudnya adalah mendukung agar mereka kembali berbaikan.
"Gak apa kan dek? Kalau memang mereka sudah putus sih ga masalah, tapi ini kan belum. Jadi biar aja mereka selesaikan malasahnya dulu ya. Kakak tahu koq, Kak En itu orangnya baik dan sopan, wajar aja kamu suka sama dia. Sama semua orang dia selalu sopan koq! Kamu aja tadi dibantuin sama dia kan?" Lanjut kak Tasia.
Lilis masih diam, tidak dapat menanggapi apapun yang dikatakan kak Tasia. Setiap katanya seperti memiliki arti yang berbeda.
"Yaudah... Mandi sudah sana, kakak juga mau mandi dulu", akhirnya Kak Tasia juga yang menutup percakapan mereka.
Lilis masuk ke dalam bilik kamar mandi. Masih merenungkan kata-kata kak Tasia. Jika saja ia tidak mengatakannya dengan tersenyum dan suara selembut itu, maka Lilis akan menganggap maksud kata-kata itu sebagai ancaman. Hadirnya Lilis dapat menjadi orang ketiga dan mengakibatkan hubungan itu putus. Walaupun itu sebuah keuntungan, Kak Tasia akan menganggap Lilis sebagai perusak hubungan sahabatnya. Itu bisa berarti ancaman. Di asrama putri, mereka adalah senior. Apa akan terjadi sesuatu jika Lilis menjadi penyebab putusnya hubungan itu? Ia tidak tahu apa yang biasa dilakukan Kak Tasia, tapi saudara kembarnya Kak Tania bisa melakukan apapun jika ia sedang membenci seseorang.
Membuang pikiran-pikiran itu, Lilis mulai menyiramkan air di kepalanya. Ia harus mandi. Lalu bertemu dengan kedua sahabatnya. Mereka pasti bisa membuat keadaan menjadi lebih menyenangkan. Entah masalah apapun yang mereka hadapi, keceriaan selalu membantu mereka melaluinya.
...