Entah bagaimana caranya, Andri mendapatkan ijin dari Pak Doklas agar mereka berenam dapat belajar bersama di aula. Mereka membentuk satu lingkaran besar dengan lengkungan yang terbagi antara laki-laki dan perempuan. Sengaja memasang jarak agar Pak Doklas tidak menegur mereka karena terlalu berdekatan dengan lawan jenis.
"Kalau untuk cerdas cermat bagaimana strategi kita?" Tanya Andri. Otomatis menjadi pemimpin keenam orang itu.
"Nggak mungkin kita sanggup belajar semuanya, apalagi kita masih kelas X, lawannya kelas XI dan XII lho! Kita harus tentukan siapa yang khusus belajar mapel tertentu!" Kata Anka. "Misalnya, Helena kan jago di Biologi. Biar dia pegang biologi aja. Jadi kalau ada soal biologi, itu jatahnya dia", lanjutnya lagi.
"Terus, untuk mapel Fisika dan Kimia, itu jatahnya Anka yah!" Helena menambahkan.
"Oke, biar Matematika sama Ekonomi jadi bagianku! Bahasa Inggris siapa?" Tanya Andri.
Dan mereka pun melanjutkan pembagian mata pelajaran sore itu. Dengan pembagian itu, mereka tidak harus mempelajari semua mata pelajaran. Sementata Lilis, Ronal dan Hermas hanya bisa menggelengkan kepala melihat ketiga sahabat mereka memiliki semangat yang luar biasa untuk belajar.
Sore itu berlalu cukup cepat dan tanpa kejahilan yang ditimbulkan oleh Karat Devils.
"Aku mau duluan, mau main voli!" Hermas merapikan bukunya.
"Kalian nggak mau main kah? Masa cuma nonton di jendela terus setiap sore?" Tanya Ronal tiba-tiba. Matanya tertuju pada Helena. Jadi sepertinya pertanyaan itu harus dijawab oleh Helena.
"Nggak perlu! Nanti bolanya takut sama kami", jawab Helena.
"Atau jangan-jangan kamu yang takut sama bola ya?" Hermas bertanya lagi.
"Mereka tuh nggak bisa main voli...", jelas Andri. "Nanti deh kami ajarin!"
"Ya malu dong kalau diajari di situ, nanti malah diketawain sama yang lain!" Jawab Lilis.
Sambil terburu-buru, Ronal, Hermas, dan Andri beranjak dari tempat duduknya. "Hari jumat nantilah kami ajari di sekolah!" Kata Andri sebelum mereka berlari ke arah asrama putra. Menghilang sesaat, lalu muncul kembali tanpa membawa buku tapi berganti dengan bola voli. Mereka kegirangan dan tak sabar bermain. Persis seperti anak kecil. Anak laki-laki memang berbeda.
"Kita nonton yuk... ", pinta Lilis saat mereka melangkah kembali ke ruangan mereka. Sayangnya, posisi di jendela sudah ada yang mengambil. Mereka terlambat.
"Nonton di luar aja... Di pinggir lapangan...," usul Helena.
"Tapi, nanti si kembar ada di sana lho...," Anka mengingatkan.
"Ughhh... Aku mau nonton. Dari jauh aja deh lihatnya. Ayukkk...," Lilis semakin meminta.
Akhirnya mereka tetap pergi keluar. Duduk di atas rumput dengan beralaskan sandal jepit yang mereka pakai. Posisi mereka hanya beberapa langkah dari lapangan. Paling tidak, mereka mengambil posisi berseberangan dengan kak Tasia dan Tania yang juga menonton kak Bulan yang sedang bermain voli. Kak En belum bermain. Sore ini dia agak terlambat.
Setelah beberapa lama permainan berlanjut, akhirnya kak En muncul. Ia berdiri tidak jauh dari Anka, Lilis, dan Helena duduk. Lilis yang menyadari kehadiran kak En merasa kaku. Ia selalu tak bisa berpaling jika sosok itu muncul. Bahkan jika ia tahu ada yang sedang memperhatikan bagaimana caranya menatap kak En, ia akan tetap melakukannya.
"Lilis, awas!" Seru Anka tiba-tiba. Bola voli yang baru saja di smash melesat dengan cepat ke arah Lilis. Lilis tak melihat bola itu, ia hanya menatap kak En. Terlalu terpaku. Lilis baru menyadari ada yang terjadi ketika ia melihat kak En bergerak dengan cepat ke arahnya. Tangannya yang kokoh dan kuat tiba-tiba berhenti tepat di depan wajahnya. Lilis bisa merasakan angin dari gerakan tangan kak En di pipinya, apalagi saat suara bola menghantam telapak tangan itu.
Kak En menghentikan bola voli itu hanya dengan telapak tangannya. Meninggalkan Lilis yang masih syok. Bola akhirnya kembali ke lapangan dan permainan kembali dilanjutkan.
"Nggak apa-apa?" Tanya kak En pada Lilis.
Lilis akhirnya menyadari yang baru saja terjadi. Ia telah diselamatkan oleh pangeran impiannya. Seperti adegan sinetron romantis yang selama ini dia tonton.
"Nggak apa", jawab Lilis. Ia bersyukur wajahnya selamat dari ciuman cola voli.
Kak En yang sudah terlanjur berada di samping Lilis memutuskan untuk duduk bersama di rerumputan itu. Sebaris dengan Anka, Helena, dan Lilis. Kak En terlihat santai, matanya kini tertuju ke arah permainan bola voli. Merasa tidak bersalah duduk terpat di samping Lilis, padahal Lilis menyadari ia akan mendapat masalah karena hal ini.
Tepat di seberang lapangan, dengan aura gelap dari tatapan mata si kembar, Lilis bahkan tak berani mencari tahu. Momen saat ini terlalu berharga untuk dibuang hanya demi mereka. Lilis mencoba untuk menikmati pertandingan voli, melihat bagaimana bola itu terombang-ambing di tengah lapangan.
Ia menoleh kepada Anka dan Helena yang sejak tadi juga grasak-grusuk menyenggol sikunya. Mengetahui apa yang ia pikirkan. Mereka saling berbalas senyum. Satu pikiran.
Seandainya saja terjadi sesuatu dan Lilis bisa menjadikan momen ini sebagai magnet antara ia dan kak En. Membuat mereka semakin dekat. Membuat dia berharap lebih dari sekedar mengagumi sosok kak En dari kejauhan. Atau hanya menikmati sikap sopan darinya seperti gadis-gadis lainnya. Berharap bahwa apa yang ia lakukan pada Lilis bukan hanya karena dia pemuda yang baik, tapi karena Lilis satu-satunya gadis yang layak diperlakukan seperti itu.
Satu-satunya.
Bahkan dalam hati, Lilis berdoa agar bola voli itu bisa datang dan mengulangi adegan tadi. Tapi harapan itu tak terjadi. Seorang junior memanggil kak En untuk masuk ke lapangan. Kesempatan yang sejak tadi ditunggu olehnya. Kak En langsung memasuki lapangan, secara kebetulan menjadi satu tim dengan kak Bulan. Riuh para penonton pun bergema, mendukung kak En dan kak Bulan dalam kekompakkan permainan voli mereka. Terlebih si kembar Tasia dan Tania yang memberi sorakan pada kak Bulan. Dengan sengaja sepertinya. Memanaskan seseorang yang juga menonton permainan sore itu.
"Cieeee... Pasangan kekasih mulai beraksi!" Sahut kak Tasia.
"Ehemm... Ehemmm... Serasa dunia milik sendiri nih! Yang lain cuma numpang ngekos!" Teriak kak Tania.
Kak Bulan langsung bersikap malu, tapi senang mendengar ejekan kedua temannya. Berbeda dengan kak En yang tidak memperdulikan kata-kata itu. Ia fokus bermain. Benda bulat berwarna biru dan kuning itu lebih menarik perhatiannya daripada gadis-gadis di pinggir lapangan yang sedang berteriak tentang sesuatu hal yang tidak mereka mengerti
Tentu berbeda dengan seorang gadis lain yang menikmati pertandingan itu dengan tenang. Kak En tahu, selama dia berada di tengah lapangan, gadis itu akan menatapnya. Matanya selalu terarah kepadanya. Dan dia menyukai hal itu. Tak perlu lagi seribu penggemar, jika satu orang itu selalu ada untuk mendukungnya.