Beberapa hari berlalu dengan membosankan. Para siswa tetap belajar seperti biasa walaupun ujian semakin dekat. Viva Angels dan Karat Devils melanjutkan belajar bersama mereka.
Tapi hari ini otak mereka diberi waktu istirahat. Hari jumat adalah hari yang sangat ditunggu karena mereka tidak akan membuka buku sama sekali di sekolah. Hari khusus untuk olahraga. Anka, Helena, dan Lilis sudah siap dengan seragam olahraga mereka.
Bel yang berbunyi delapan kali memerintahkan seluruh siswa untuk berkumpul di lapangan. Minggu lalu mereka jalan santai, jadi minggu ini adalah jadwal untuk kegiatan senam.
Semua berbaris rapi di lapangan yang biasa mereka gunakan untuk upacara bendera. Dari jauh, Anka melihat kak Eni berlari ke arahnya.
"Anka, bantuin jadi pemimpin senam hari ini yah? Tia sakit!" Kata kak Eni, ketua OSIS. Anka memang sering diminta untuk memimpin gerakan senam karena hafal dengan gerakan senam itu.
Anka mengangguk, ia hanya menepuk pundak Helena dan Lilis saat dia melangkah menuju tribun. Mengambil posisi di tengah tribun, sementara dua siswa lainnya di kiri dan kanannya akan mengikuti instruksi darinya.
Anka masih menunggu petugas yang lain selesai. Ronal membantu merapikan barisan. Sedangkan Hermas mempersiapkan peralatan sound system untuk memutar lagu pengiring senam.
Anka memperhatikan barisan di belakangnya. Ratusan siswa akan melihat dan mengikuti setiap gerakan yang ia lakukan. Ia bisa melihat dari atas tribun di mana barisan Helena dan Lilis. Bahkan tanpa sengaja, ia melihat barisan tempat kak David berdiri. Agak di belakang, tapi dia memang terlihat menonjol di barisan itu. Ronal yang selesai merapikan barisan, mengambil posisi paling belakang barisan. Bersiap mengikuti senam.
Terakhir, musik mulai mengalun dari speaker. Hermas baru menyadari jika Anka sudah siap di tribun sebagai pemimpin senam. Ia pun berseru, "jangan sampai lupa gerakan yah!" Lalu Hermas berlari ke barisan paling belakang. Bersiap mengikuti senam.
Mengikuti tempo musik yang mengalun dengan hitungan khas senam itu, Anka mulai memperagakan gerakan senamnya. Seluruh siswa mengikuti.
Selama beberapa menit melakukan senam, Anka mulai berkeringat. Gerakan yang dibawanya cukup mudah, tapi cukup menguras energi. Semakin lama gerakannya semakin rumit, beberapa siswa tidak begitu hafal dengam gerakan itu sehingga melakukan kesalahan.
Anka dengan yakin dan percaya diri melanjutkan gerakan senam. Ia masih membelakangi barisan saat keributan mulai terdengar.
Awalnya hanya sepeti keluhan karena kesulitan mengikuti gerakan senam. Tapi lama kelamaan terdengar beberapa siswa bertanya-tanya. Lalu ada teriakan. Anka mengira dirinya sedang dikeluhkan karena memimpin senam dengan buruk, begitu menoleh ke belakang ia baru tahu jika dua orang siswa sedang berkelahi.
Barisan siswa menjadi kacau. Para siswi menjauhi medan perkelahian itu. Sementara beberapa siswa mencoba melerai dua siswa yang masih terus bergulat. Pak Roy, guru olahraga yang bertanggungjawab dengan kegiatan senam langsung turun ke lapangan. Mencoba melerai kedua pemuda yang badannya sama besar dengan tubuh orang dewasa itu.
Pak Roy berusaha menempatkan tubuhnya di antara dua siswa yang saling melemparkan pukulan. Alhasil, pukulan itu justru mengenai wajah Pak Roy. Kesabarannya habis. Pak Roy meluapkan amarahnya. Berteriak sambil menendang tubuh kedua siswa itu agar menjauh.
Saat kedua siswa itu terpisah barulah Anka mengetahui siapa yang sedang berkelahi. Itu kak David dan kak Reno. Mereka lagi. Masih membekas di ingatan Anka mereka melakukan hal yang sama saat upacara penyambutan siswa baru. Mereka juga berkelahi.
"Kalian berdua! Ke kantor sekarang!!" Bentak Pak Roy. Wajahnya memerah karena marah. Terlebih karena wajahnya juga menerima pukulan.
Setelah kedua siswa yang berkelahi itu meninggalkan lapangan, lagu pengiring senam malah berakhir. Senam tidak lagi dilanjutkan.
Kak Eni mengambil alih pengeras suara dan mengijinkan seluruh barisan membubatkan diri untuk melanjutkan kegiatan ekstrakurikulernya masing-masing.
Setelah mendapat ucapan terima kasih dari kak Eni, Anka kembali ke lapangan. Menuju Lilis, Helena, dan Eka.
"Tadi yang berkelahi kak David ya?" Tanya Eka. Mereka mungkin tidak melihat jelas kejadian itu karena kelas X-1 selalu berbaris paling kiri. Setelah itu kelas X-2 dan seterusnya. Sementara kak David berada di barisan kelas XI-IPS 3 dan kak Reno di barisan kelas XII-IPA yang bersebelahan.
"He'eh", jawab Anka.
"Masalah apa sih?" Tanya Helena.
"Nggak tahu", jawab Anka lagi. Itu juga bukan urusannya.
"Jadi kita ke mana?" Tanya Lilis. Pertanyaan itu selalu muncul setiap hari jumat. Sejak awal, mereka jarang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Anka mendaftat ekskul catur, setelah kalah beberapa kali, ia pun menyerah. Ia kadang ikut bermain hanya untuk absen kegiatan ekskul saja. Helena mendaftar ekskul Karate, terutama karena banyak siswa tampan di sana. Tapi karena kurangnya pendaftar perempuan, ia jadi merasa kesepian. Lilis mendaftar ekskul paduan suara, karena tidak membutuhkan olah fisik, tapi suaranya bahkan tidak mendukung. Eka, sejak dulu suka bermain bola, jadi ia langsung bergabung dengan timnya. Meninggalkan ketiga temannya yang masih bingung.
Anka dan Helena tidak buruk dalam olahraga. Anka sebenarnya lebih baik di senam dan atletik. Sedangkan Helena memang sejak SMP bergabung di Karate. Ia cukup baik dalam bela diri.
Sayangnya, karena aliran mereka yang berbeda, dan mereka lebih memilih untuk tetap bersama, maka setiap jumat mereka hanya akan berkeliaran saja.
"Lihat takraw gimana?" Usul Anka. Di sudut taman, beberapa pemuda sedang bermain takraw.
"Lihat bola kaki aja sekali-sekali... ", usul Lilis.
" Koq aku jadi mau ke kantin aja yah?" Helena mengusulkan hal yang berbeda.
"Woi!!" Suara Hermas yang nyaring mengagetkan ketiganya.
"Apa sih?" Helena yang pertama memberikan keluhan. Mereka melihat Hermas, Ronal dan Andri muncul entah darimana. Ronal memegang bola voli di tangannya.
"Ayo... Kita passing!" Kata Ronal pada ketiga gadis itu. Mereka masih berada di lapangan, tempat yang tepat untuk melakukan passing.
Akhirnya ketiga gadis itu mengingat janji yang disampaikan saat belajar bersama. Mereka ragu. Apa ini bukan cara para Karat Devils untuk mempermalukan mereka?
"Cuma passing aja koq! Nggak langsung main di lapangan!" Andri mencoba meyakinkan gadis-gadis itu. Hmmm... Jika itu Andri, sebenarnya mereka masih bisa mempercayainya.
Hermas, Ronal, dan Andri lalu membentuk barisan berhadapan dengan Anka, Helena, dan Lilis.
Ronal yang pertama melempar bola ke arah Helena. Helena sering menonton pertandingan bola voli, ia cukup tahu bagaimana seharusnya menempatkan posisi tangannya menerima bola itu, tapi itu sama sekalk tak membantu. Tangannya bahkan tak menyentuh bola sama sekali.
Bola itu memantul di tanah. Anka dan Lilis yang pertama tertawa melihat kegagalan Helena, lalu diikuti para pemuda itu.
"Eh, kalau berani ketawa, coba kalian lagi deh!" Kata Helena sambil mengambil bola voli itu.
Helena melempar bola ke arah Andri, dengan lincah Andri mengembalikan bola itu kepada Anka.
Hup! Anka menerima bola tersebut dengan satu tangan. Memantulkan bola itu tanpa arah. Sebenarnya, Anka hanya menganggap bola itu seperti serangan dan menangkisnya dengan tinju. Hal yang pernah ia pelajari saat masih aktif Pencak Silat.
"Bolanya bukan dipukul Anka!" Seru Hermas. Tapi Anka tidak peduli. Selama bola itu berhasil ia tangkis, itu sudah sebuah kesuksesan baginya.
Hermas mengejar bola yang ditangkis Anka, memulai lagi permainam mereka. Kali ini Lilis mendapat kesempatan. Hup! Usaha yang dilakukan Lilia lebih baik, bola cukup terarah meskipun terlalu tinggi.
Untuk itu, ia melompat kegirangan karena merasa lebih unggul dari kedua temannya. Padahal dalam belajar, dia selalu di bawah mereka.
Bola itu berhasil diterima dengan baik oleh Andri. Diarahkan lagi kepada Anka. Tapi karena bola datang cukup tinggi, Anka hanya memukul bola itu seperti palu dengan tangannya. Bola menukik ke tanah. Sontak teman-temannya tertawa melihat pantulan bola itu.
Wajah Anka memerah. Entah mengala tangannya memiliki reflek seperti itu.
"Coba tanganmu seperti ini...", Hermas akhirnya memberi contoh. Ia mendekati Anka untuk menunjukkan cara yang benar saat menerima bola. Helena memperhatikan dengan seksama apa yang ditunjukkan Hermas. Hal yang tidak perlu dilakukan, karena Ronal mendekatinya dan mengatur kedua tangannya. Hanya beberapa detik. Lalu kembali ke posisinya semula. Tapi cukup membuat Helena kaget. Ia tidak menyangka Ronal akan menyentuh tangannya dengan lembut untuk membantunya memposisikan tangan dengan benar.
Akhirnya permainan kembali dilanjutkan. Mengalami sedikit kemajuan. Paling tidak akhirnya Helena dapat mengembalikan bola dan Anka tidak lagi menangkis bola. Hari itu pengalaman baru bagi mereka. Meskipun tidak suka bermain voli, paling tidak mereka puas untuk tertawa.