Ketiga Angels sedang duduk makan bersama. Anka dan Helena telah mendengar kisah Lilis. Mereka melihat tangan Lilis yang memerah karena percikan minyak panas.
Helena merasa lebih tidak enak karena ia mengenal baik kak Tasia dan Tania. Tapi ia baru mengenal kak Bulan saat masuk asrama beberapa bulan lalu. Mengenai hubungannya dengan kak En, ia juga tidak tahu. Tapi dia tahu ketiga seniornya itu memang sahabat karib dan saling membela.
"Yah... Dibiarin ajalah dulu mereka Lis. Nggak usah terlalu diambil hati", saran Anka.
"Iya, Lis. Kan kalau naksir aja nggak perlu ijin. Biarin aja dulu mereka selesaikan urusan mereka. Ya nggak?" Helena menambahkan.
"Iya, sih... Tapi sebentar lagi mereka mau lulus... Hik.. Hiks... Tinggal berapa bulan lagi lho!" Lilis akhirnya tidak bisa melanjutkan makannya. Mereka sedang duduk di sudut ruang makan. Sudah tidak banyak penghuni asrama yang menyantap makan malamnya. Kebanyakan telah kembali ke ruangannya masing-masing. Hanya beberapa orang masih datang karena terlambat mengambil jatah makan malamnya.
"Terus dirimu tetap mau PDKT sama kak En?" Tanya Anka.
"Hmmm... Menikmati dari kejauhan aja deh... Daripada cari masalah sama senior...", Lilis akhirnya menopang dagunya dengan dua tangan. Melayangkan pandangannya entah kemana.
Anka dan Helena tidak bisa berkomentar lagi.
"Terus Anka gimana? Yang kemarin duduk bareng di samping kelas waktu ujian matematika?" Helena bertanya pada Anka yang sudah menyelesaikan makannya. Seperti biasa, tidak ada nasi yang tersisa. Anka selalu memgambil nasi secukupnya dan menghabiskannya tanpa tersisa. Itu seperti kebiasaan untuk tidak membuang-buang makanan. Katanya, didikan ayahnya sangat ketat masalah makanan.
"Hmmm... Cuma ngobrol biasa aja koq!" Jawab Anka. Ia tahu Helena sedang membicarakan kak David.
"Obrolannya bisa aja biasa, auranya yang nggak biasa! Koq tumben juga kemarin dia ke kelas kita. Kayaknya memang ada yang diincar tuh di kelas kita. Kayaknya kamu deh!" Kata Helena.
"Eh, siapa?" Lilis akhirnya sadar dari lamunannya.
"Itu... Kak David. Kemarin waktu ujian matematika Anka kan duluan selesai. Jadi dia keluar duluan. Begitu kulihat, ternyata lagi ngobrol berduaan sama kak David dianya!" Jawab Helena.
"Serius?!" Lilis beralih ke Anka.
"Nggak berdua. Bertiga. Dia kan bareng dengan temannya yang gendut itu. Siapa sih namanya ya? Nggak kenal diriku. Itu juga karena mereka terlambat masuk, jadi sembunyi di situ...", jawab Anka.
"Ohhhh... Terus ngobrol apa?" Lilis sudah sepenuhnya teralihkan dari pikirannya tentang kak En. Lebih tertarik dengan kisah Anka dan kak David.
"Nggak banyak ah! Masalah biasa aja. Cuma... Memang kukira dia orangnya serem, ternyata nggak seseram yang orang ceritain", jawab Anka.
"Dia juga dari kampungmu ya?" Tanya Helena. Apa yang tidak dia tahu? Bahkan kampung asal kak David pun dia tahu.
Anka mengangguk mendengar pertanyaan itu.
"Oh, berarti dia tahu dong rumah Anka di mana? Bisa tuh minta diantar pulang sama dia kapan-kapan... ", kata Lilis.
Anka hanya tersenyum. Entah mengapa pembicaraan ini membuatnya merasa tidak nyaman. Mungkin kedua sahabatnya terlalu memaksanya untuk menyukai seorang pemuda.
"Kalau dia tipemu bukan?" Tanya Helena. Ketiganya sudah menghabiskan makan malamnya. Tapi tetap tidak beranjak dari ruang makan.
"Hmmmm... Misterius. Tapi belum kenal pun dengan dia. Jadi diriku belum kepikiran mau naksir dia atau nggak!" Jawab Anka.
Brakk! Tiba-tiba suara nyaring meja yang dipukul dengan telapak tangan terdengar. Itu adalah Karat Devils. Tepat di meja sebelah, ketiga pemuda itu baru saja datang untuk makan malam.
"Ngobrolin gue yah?" Hermas yang menggebrak meja untuk mengejutkan para Angels. Ia duduk lalu menghadap piringnya. Punggungnya tepat membelakangi punggung Anka. Sementara Ronal dan Andri duduk di seberangnya.
"Idih... Jangan GR dong!" Kata Anka.
"Cowok terus yang dibicarakan. Coba bicara masalah pelajaran...", kali ini Ronal yang bersuara.
"Berisik! Mau tahu aja urusan cewek!" Jawab Helena.
Ibu dapur melongok dari balik jendela kaca. Ia mendengar suara meje yang dipukul oleh Hermas barusan. Dan Ibu dapur memang tidak menyukai keributan, apalagi saat sedang makan. Ia memberikan tatapan melotot pada Hermas.
Akhirnya Hermas dan kedua temannya hanya tersenyum. Berbeda dengan Helena dan kedua temannya yang cekikikan karena puas melihat ekspresi Hermas yang tertunduk malu.
Merasa ada yang mengganggu obrolan mereka, akhirnya Helena, Anka, dan Lilis berdiri meninggalkan ruang makan. Meninggalkan Karat Devils menyelesaikan makannya.
Malam itu ketiganya tidur lebih cepat. Ujian semester tinggal satu minggu lagi, artinya jam belajar akan ditambah. Jika biasanya mereka hanya belajar saat pagi dan malam hari, maka sore hari juga akan ada jam belajar. Cukup ketat memang jadwal belajar yang diberikan pengurus asrama. Masing-masing jam belajar diberi waktu 1,5 jam. Asrtinya, dalam sehari penghuni asrama diwajibkan tambahan waktu belajar sebanyak 4,5 jam selain jam pelajaran di sekolah. Tidak ada waktu untuk tidur siang! Itu yang jadi masalah bagi Anka dan Helena.
...
Keesokan harinya di sekolah, seperti biasa keempat gadis itu mengobrol bersama. Meskk bel istirahat sudah berbunyi sejak tadi, mereka tidak beranjak dari tempat duduknya. Hanya, Anka dan Eka selalu membalik posisi duduknya untuk menghadap Lilis dan Helena. Di belakang kelas para Karat Devils juga mengobrol bersama.
Tiba-tiba seorang siswa dari kelas sebelah berdiri di pintu. Ia melayangkan padangannya ke dalam kelas, mencari seseorang. Atau mungkin beberapa orang. Sambil menunjuk dengan jarinya dia mengecek satu oer satu.
"Anka... Helena... Sama Andri. Kalian dipanggil sama ibu Annisa di kantor!" Katanya. Sambil memastikan nama yang disebutkan merespon, dia teyap berdiri di sana.
Anka dan Helena bergantian menatap Lilis dan Eka. Terakhir mereka pun bertukar tatapan dengan Andri, lalu entah mengapa juga dengan Hermas dan Ronal. Melirik sedikit. Toh, mereka sedang duduk bersama Andri di sana. Arah yang sama.
Siswa itu menunggu hingga orang yang dipanggilnya berdiri. Mereka menuju ke arah pintu dan menatapnya penuh tanya. Tapi dia pun tak tahu apa lasan ibu Annisa memanggil mereka bertiga, jadi dia hanya mengangkat bahunya lalu kembali ke kelasnya.
Di kantor guru, Andri, Anka, dan Helena menghadap ibu Annisa. Ibu Annisa terlihat cantik seperti biasanya dengan jilbab berwarna keunguan hari ini. Ia pun tersenyum pada mereka. Tanda bahwa tidak ada masalah yang telah mereka perbuat.
"Ibu memanggil kami?" Andri bertanya lebih dulu. Ia berdiri di tengah, antara Anka dan Helena. Anehnya, bahunya sedikit lebih rendah dari Helena. Dibandingkan dengan Anka, tingginya tentu kalah jauh. Bagaimana jika Anka menggunakan high heels? Itu seperti jari kelingking dan jari manis!
"Iya, ibu mau minta tolong sama kalian... Boleh ya?" Ibu Annisa mulai menjelaskan. "Jadi, setelah ujian semester selama seminggu, akan ada kegiatan lomba cerdas cermat antar kelas. Nah, dari kelas X-1 ibu minta kalian bertiga yang mewakili kelas kita. Mau ya?"
"Antar kelas? Lawan kakak kelas juga kah bu?" Tanya Anka.
"Iya, tapi materinya memang untuk umum. Jadi ga diambil dari pelajaran tingkat tertentu saja. Kalian masih ada kesempatan koq untuk menang! Masih ada dua minggu waktu untuk belajar... "
"Dalam rangka apa ni bu?" Tanya Helena.
"Yah... Untuk mengisi kegiatan setelah ujian saja. Kan ada waktu kosong sambil menunggu guru-guru selesai mengisi rapor kalian. Pasti ada hadiahnya koq! Tenang saja...", lanjut ibu Annisa.
Ketiga siswa kelas X-1 itu saling bertatapan. Ketiganya tersenyum. Mereka memang tertarik untuk hal ini.
Akhirnya, Anka dan Helena memberi anggukan pada Andri. Dengan tegas Andri pun memberi jawaban pada ibu Annisa, "ya bu. Kami mau mewakili kelas X-1 untuk ikut lomba ini!"
Ibu Annisa tersenyum mendengar jawaban itu. Ia mengucapkan terima kasih lalu mengijinkan ketiganya kembali ke kelas.
Dalam perjalanan ke kelas, ketiga perwakikan kelas X-1 itu mengatur rencana.
"Jam belajar sore nanti kita di ruang depan aja yah... Belajar sama-sama...", kata Helena.
Ia tidak terlalu bermasalah menjadi satu tim dengan Andri walaupun dia anggota Karat Devils. Karena musuh mereka yang sesungguhnya tentu saja Hermas dan Ronal. Tapi untuk persiapan ujian semester dan lomba cerdas cermat, sepertinya mereka harus melakukan gencatan senjata dulu. Bersikap profesional. Urusan sekolah lebih penting dibandingkan masalah pribadi. Mungkin akan menjadi agak sepi, jika perseteruan dihentikan. Hihihi...