Sore itu Anka, Helena, dan Andri meminta ijin untuk belajar di aula dan tidak bergabung bersama penghuni lainnya di ruang belajar masing-masing. Masalahnya adalah, ruang aula satu-satunya ruangan di mana penghuni asrama putra dan putri dapat berkumpul bersama.
Ibu Annisa, guru matematika yang juga wali kelas mereka, juga adalah istri dari Pak Doklas, pengurus asrama. Ini adalah mandat dari istrinya, tentu dia akan menyetujui.
Akhirnya, rencana belajar bersama mereka sore itu hanya sekedar belajar sambil duduk bersama. Masing-masing fokus dengan rencana belajarnya sendiri. Andri masih mengerjakan beberapa soal matematika di bukunya. Helena sedang menghafal klasifikasi makhkuk hidup. Helena memang lebih jago dalam menghafal. Terutama untuk hafalan mengerikan istilah-istilah biologi. Sementara Anka, membuat ringkasan rumus fisika yang ia pelajari beberapa bulan ini. Untuk cerdas cermat, ia tidak yakin harus mendalami fisika. Karena jika semua kelas akan diikutkan lomba, berarti jurusan IPS juga akan ikut. Tidak mungkin soal jurusan dikeluarkan saat cerdas cermat, itu tidak adil untuk jurusan lainnya.
Mereka masih sibuk sendiri. Pak Doklas sempat datang untuk mengecek mereka, lalu pergi lagi.
Setelah beberapa lama, akhirnya Ronal dan Hermas muncul.
"Aduh... Ada yang jadi penghianat ini!" Seru Ronal ketika ia muncul di pintu aula. Meskipun berkata demikian, ia mendekati Anka, Helena, dan Andri yang duduk di lantai di tengah ruangan aula. Beralaskan keramik yang putih dan dingin.
Anka, Helena, dan Andri baru menyadari jika jam belajar telah berakhir. Mereka terlalu asik belajar. Ketiganya enggan menutup buku mereka. Tapi karena kedatangan Ronal dan Hermas, Anka dan Helena pun berhenti belajar.
"Gitu ya kamu Andri...", kata Hermas. Ia dan Ronal duduk bersama ketiga teman sekelasnya itu.
"Duh, kayaknya harus pergi nih! Mulai ada bau-bau karat gitu...", singgung Helena. Ia membereskan perlengkapan belajarnya. Begitu pun Anka. Tapi selagi Helena sibuk menyusun buku-buku yang ia bawa, Ronal mengambil salah satunya. Sebuah buku catatan berwarna biru laut. Warna kesukaan Helena. Di halamannya tertulis namanya.
"Pinjam dulu...", kata Ronal. Bahkan sebelum Helena dapat berkata tidak, bukunya sudah berada di tangan Ronal.
"Kembaliin sini!" Pinta Helena. Ronal yang duduk di sampingnya berusaha menghindar. Ia tetap membolak-balik buku catatan milik Helena sambil berkelit menjauhkan buku itu dari tangan Helena.
Yang lain hanya tertawa melihat usaha Helena. Bahkan Anka juga. Ronal sebenarnya tidak hanya memiliki tubuh yang tinggi, lengannya juga panjang sehingga Helena kesulitan menggapainya.
Tapi bukan Helena namanya jika tidak punya jurus rahasia. Ia pun mencubit pinggang Ronal. Tidak melepaskan cubitan itu sampai Ronal mengembalikan buku catatannya.
"Kembaliin nggak?!" Cubitannya semakin diputar.
"Adududuh... Iya... Ampun... Ampun...", Ronal pun meringis kesakitan. Ia mengembalikan buku itu. Merasa lega ketika akhirnya Helena melonggarkan cubitan di pinggangnya. Tapi sebelum Helena benar-benar melepaskan tangannya, ia memberikan sedikit tekanan dengan kukunya. Hehehe...
"Aduh! Waaaahhh... Sakitnya itu Len...", kata Ronal.
"Makanya jangan cari gara-gara..."
"Cuma mau pinjam aja koq. Kalian belajarnya keterlaluan sih! Nggak capek kah otak kalian?" Tanya Ronal.
"Eh, hidup itu harus dinikmati! Kalau terlalu banyak belajar bisa-bisa kalian itu stres!" Tambah Hermas. Ia juga memperhatikan buku yang dibawa Anka. Mengukur tebalnya dengan jarinya. Pas! Tebal buku itu tiga jari! Hermas menggeleng kepalanya.
"Masing-masing punya caralah untuk menikmati hidup! Kami kan memang suka belajar, tapi nggak cuma belajar, masih banyak hobi lainnya!" Anka sudah mengumpulkan barang-barangnya dan berdiri. "Ayuk! Lilis pasti sudah nungguin...", katanya pada Helena yang berusaha untuk berdiri.
"Lho? Koq sudah bubar? Baru juga datang...", kata Ronal.
"Nggak betah kalau ada kalian! Yuk!" Helena pun sudah melangkah menuju pintu keluar sambil membawa buku-bukunya. Anka mengikuti di belakang.
"Anka...", panggil Hermas. Suaranya tertahan, tak meyakinkan. Tapi mendengar namanya disebut, Anka tetap berhenti tepat di ambang pintu. Menunggu perkataan Hermas berikutnya.
Hermas ragu sesaat. Menggaruk kepalanya karena salah tingkah. Terlebih parah ketika Ronal dan Andri juga mengejeknya karena salah tingkah.
Anka yang tidak mendapat apapun akhirnya melanjutkan langkahnya. Tapi sebelum ia dan Helena menghilang dibalik dinding, ia menolej sesaat. Tepat ketika Ronal dan Andri tertawa terbahak - bahak setelah mendorong Hermas yang masih salah tingkah. Benar-benar kumpulan pemuda aneh. Pikir Anka.
Anka dan Helena sampai di ruang Anggrek. Mereka melihat Lilis duduk di depan jendela. Ia membawa sebuah kursi dari ruang belajar dan meletakkannya di sana. Lilis sedang memperhatikan keributan di luar sambik bertooang dagu.
Karena penasaran, Anka dan Helena pun menoleh keluar. Mereka terkagum melihat lahan kosong antara halaman asrama putri dan lapangan sepakbola telah berubah menjadi lapangam voli.
"Wuih... Sejak kapan di pasang net itu?" Tanya Helena.
"Barusan! Anak-anak cowok langsung main habis itu. Tuh, garis lapangannya aja cuma dari tali!" Jelas Lilis bersemangat. Tentu karena para pemain voli terbaik di asrama putra sedang mempertunjukkan aksinya. Kak En bersinar di antara pemuda lainnya. Ia memang pemain voli yang berbakat. Sayang, tidak banyak kompetisi yang bisa mereka ikuti di daerah kampung seperti ini. Seandainya bakat itu di bawa ke kota besar, Kak En pasti bisa menjadi atlet terkenal.
Masih menikmati keindahan permainan basket pemuda dari asrama putra, penghuni asrama putri pun menjadi penasaran dan ingin bermain voli. Beberapa gadis sudah mengelilingi lapangan itu. Menantikan kesempatan yang diberikan untuk masuk menggantikan pemain yang lelah.
Tiga sosok yang memberi aura berbeda lewat tepat di depan jendela di mana Lilis, Anka, dan Helena menonton. Ketiganya adalah Kak Bulan, Kak Tasia, dan Kak Tania. Mereka bahkan memberi tatapan tajam kepada Lilis sambil melangkah menuju sisi lapangan voli.
Entah apa yang mereka katakan kepada pemain-pemain junior itu sehingga mereka mengijinkan ketiganya bermain. Ya, mereka juga bermain cukup bagus. Sementara Lilis dan kawan-kawannya menyadari bahwa permainan voli bukanlah bidang mereka. Tidak, semua benda berbentuk bundar a.k.a bola adalah musuh besar mereka.
Semakin banyak yang menonton pertandingan voli dadakan sore itu. Lahan kosong yang berubah menjadi lapangam voli itu benar-benar hiburan bagi seluruh penghuni asrama. Bahkan tiga Karat Devils yang tadi masih di aula, akhirnya menyadari keberadaan lapangan itu. Mereka pun ikut bergabung sebagai penonton di pinggir lapangan. Menantikan juga kesempatan untuk bermain voli.
Melihat ketiga Karat Devils, Lilis menyadari sesuatu. Ia harus belajar sendiri karena Anka dan Helena belajar bersama Andri hari ini.
"Jadi gimana belajar kalian hari ini? Aku kesepian tahu!" Katanya pada kedua sahabatnya. Mereka masih berdiri di belakangnya.
"Biasa aja. Aman aja sih sampai tu Ronal sama Hermas datang mengganggu!" Jawab Helena. Matanya masih tertuju keluar jendela.
"Kenapa dengan mereka hari ini yah?" Anka berbalik. Sepertinya telah puas menonton permainan voli. Ia meletakkan buku yang dari tadi dipegangnya di atas lemari lalu merebahkan diri di ranjang. Matanya mengantuk karena tidak tidur siang.
Helena baru menyadari ia juga masih memegang bukunya. Akhirnya ia pun meletakkan buku itu di atas lemari. Bersebelahan dengan lemari Anka.
"Len, koq Ronal suka mengganggu dirimu yah? Kalau dengan diriku dan Lilis nggak begiti loh!" Kata Anka.
"Ah, dia memang jahil begitu. Dikira aku nggak bisa balas kali yak?" Jawab Helena.
"Tapi kalau sama aku, mereka nggak jahil koq sebenarnya!" Lilis menambahkan. Ia pun berpindah dari jendela menuju ranjangnya. "Pokoknya mereka mulai jahil itu kalau ada kalian berdua!" Tambahnya lagi.
"Hmmm... Waktu piket sama Ronal, cuma bercanda biasa sih. Tak ada pun diriku dijahilinya. Biasanya memang Helena terus yang jadi sasarannya. Hehehe... Curiga diriku Len...", Anka juga menambahkan.
"Iya, jangan-jangan...", Lilis menggiring mereka ke pemikiriannya.
"Nggak ah! Jangan mikir macam-macam yah! Anka tuh... Sama aja. Hermas juga cuma mau jahilin kamu kan? Coba kalau sama aku dan Lilis, dia biasa aja tuh!" Kali ini Helena membahas Hermas.
"Ya sama aja dong kalian berdua. Kayaknya memang Karat Devils tuh ada niat begitu deh... Tapi kalian masih ingat janji kita kan?" Lilis mengingatkan. Mereka sudah sempat membahas ini sebelumnya. Tidak boleh ada Viva Angels yang berpacaran dengan Karat Devils. Titik.
"Idiiihhh... Siapa yang mau sama mereka?" Helena bergidik.
"Diriku pun tak berpikir untuk naksir sama mereka!" Jawab Anka tegas.
"Ya terserah deh! Kalau memang jadi juga nggak apa koq! Kita kan ngoming begitu kemarin cuma main-main aja", kata Lilis.
Ketiganya masih mendengar keramaian permainan voli di luar sampai hari semakin gelap. Lilis hendak menutup jendela ruang Anggrek ketika sosok terakhir yang masih bermain voli beranjak pergi dari lapangan. Ia sendirian. Dalam keremangan senja, Lilis masih mengenal siluet itu adalah Kak En. Bahkan ia masih bisa melihat senyumannya karena cahaya dari lamlu di dalam ruang Anggrek yang telah dinyalakan.
"Tutup sudah jendelanya, nanti nyamuknya masuk", kata Kak En kepada Lilis sambil berjalan ke arah asrama putra.
Lilis baru menyadari ia sedang terpaku. Belum menyelesaikan niatnya untuk menutup jendela karena terpesona ileh idolanya yang baru saja lewat. Akhirnya, setelah menarik napas yang juga tertahan karena terpaku tadi, ia pun menutup jendela itu. Mencoba merekam ingatannya akan senyuman yang diberikan kak En barusan, mungkin akan menjadi mimpi indah baginya malam ini.
...