Chereads / Viva Angels / Chapter 5 - Melangkah dengan Gagah

Chapter 5 - Melangkah dengan Gagah

Keesokan harinya, hari jumat. Hari khusus untuk berolahraga di sekolah. Kegiatan hari itu adalah jalan santai, setelah itu akan dilanjutkan dengan kegiatan ekstrakurikuler. Seluruh siswa SMA Melati berbaris rapi berpasangan sepanjang pinggir jalan.

Anka berpasangan dengan Eka, Lilis dengan Helena berjalan di belakang mereka.

"Itu siapa yang di depan? Kalau ga salah dulu pernah dihukum Pak Roy waktu kita latihan untuk upacara deh!" Anka menunjuk ke arah depan. Di barisan siswa kelas XI ada seseorang yang ia perhatikan.

"Oh... Yang itu. Itu David. Sering buat masalah memang. Dia berkelahi dengan siswa kelas XII waktu itu, makanya dihukum", jawab Eka.

"Oh..."

"Kenapa? Mau kenalan kah?" Tanya Eka lagi. Sangat jarang Anka memberi perhatian pada lelaki. Apalagi untuk orang yang belum dikenalnya sama sekali. Anka adalah gadis yang pemalu jika bertemu orang baru, tapi siapapun yang mengenalnya tahu, Anka sebenarnya adalah gadis yang menyenangkan. Kadang dia bahkan mempermalukan dirinya sendiri hanya untuk menyenangkan sahabat-sahabatnya.

"Ga juga. Gaya jalannya keren. Seperti ini... ", Anka memperagakan gaya berjalan yang ia usahakan terlihat segagah mungkin. Menggoyangkan bahu dan lengannya. Persis seperti langkah pemuda yang ia perhatikan di depannya. Selagi memperagakan gaya jalan itu, yang bersangkutan malah menoleh ke belakang. Apa ia mendengar apa yang Anka dan Eka bicarakan? Seketika itu Anka berubah berjalan normal kembali.

Merasa ketahuan telah meniru orang di depannya, Anka dan Eka tidak dapat menahan tawa. Hal tersebut malah dianggap lucu. Tapi ketika tidak dilihat, keduanya mencoba memperagakan lagi gaya berjalan kakak kelas bernama David itu.

Kembali ke sekolah, para siswa dibebaskan untuk memainkan olahraga kesukaan mereka. Mulai dari sepakbola, voli, takraw, dan badminton. Tapi Para Angels hanya mengobrol di belakang kelas X-1. Berjongkok di bawah pohon mangga sambil memainkan rumput. Banyak hal yang mereka obrolkan. Eka juga ada si sana.

Tapi ada yang menarik perhatian di dalam kelas. Dari balik kaca jendela, Anka dapat melihat seorang siswa yang bukan anggota kelasnya. Itu kak David. Ia terlihat mengobrol santai dengan Ari teman sekelas mereka. Sesekali ia menoleh ke arah gadis-gadis itu. Apa ia memperhatikan Anka?

Eka menyenggol lengan Anka.

"Dia cari kamu kayaknya... ", kata Eka.

"Jangan-jangan mau marah...", Helena khawatir. Kak David memang terkenal sering berkelahi. Seringnya karena alasan sepele.

"Cuek aja... Cuek aja... ", Anka berbisik. Tapi ia tetap menatap pemuda itu. Mereka pun melanjutkan obrolan mereka. Ketika Anka melirik kali berikutnya, kak David sudah tidak berdiri di situ lagi. Dan hari itu berakhir tanpa ditemukannya seorang yang menarik hatinya.

...

Esok harinya, Lilis menggaruk kepalanya lebih sering. Ulangan Harian pelajaran Matematika membuatnya ingin menangis. Bahkan dengan belajar bersama Anka dan Helena, sama sekali tidak membuat ulangan harian itu mudah. Anka yang paling pertama menyelesaikan soal. Ia diijinkan keluar dari ruangan agar tidak mengganggu.

Sambil menunggu teman-temannya, Anka mengambil posisi di samping kelas. Sebenarnya ingin berada di belakang kelas, tapi akan mengganggu konsentrasi teman-temannya yang duduk di dekat jendela.

Ia duduk sambil meletakkan kakinya di dalam selokan yang kering. Melihat bangunan asrama dari tempatnya berada. Ia melihat bahwa sekolahnya dan bangunan asrama dikelilingi oleh pagar kawat berduri. Tapi ada bagian yang dibengkokkan tidak jauh dari tempatnya duduk. Semak yang tinggi menutupi sebagian jalan rahasia yang menuju jalan di seberang pagar itu. Biasanya jalan itu menjadi jalur bagi mereka yang melarikan diri atau bolos dari sekolah.

Biasanya sepi, tapi saat itu dua orang bergerak keluar dari semak-semak. Warna seragam pramuka yang digunakan mengatakan bahwa mereka siswa sekolah. Anka terkejut ketika melihat kak David bersama seorang temannya muncul di sana. Apa mereka baru saja bolos dan kembali ke sekolah?

"Sudah masuk Vid! Terlambat kita!" Kata temannya saat mengintip dari balik tembok. Kelas ini memang sudut mati. Guru-guru tidak bisa mengawasi sisi di sebelah kelas X-1 yang merupakan kelas paling ujung.

"Ga apa. Biar kita di sini aja dulu. Sebentar lagi juga istirahat", jawab Kak David. Ia berdiri bersandar di dinding. Menoleh pada Anka yang tidak memberi komentar apapun pada mereka.

"Kamu bolos atau dikeluarkan guru?" Tanyanya pada Anka.

"Kami ulangan aja, aku sudah selesai", jawab Anka. Mengingat kejadian kemarin ia merasa tidak enak. Apa kak David merasakan bahwa kemarin ia dipermainkan? Meniru gaya jalannya bisa saja dianggap sedang mengoloknya.

"Kamu anak Pak Widodo kan?" Tanya kak David lagi.

Itu mengejutkan Anka, bahwa Kak David ternyata mengenal orangtuanya. Anka mengangguk. Selama di asrama, tidak ada yang peduli siapa orangtuanya. Itu bagus, mereka akan dianggap sama rata. Seringkali mereka yang mengenal orang tua Anka akan menganggap Anka bukan gadis sembarangan.

Kak David duduk di sampingnya. Memasang jarak agak jauh. Ada perasaan segan sepertinya.

"Aku juga dari kampung Muara Sina. Bulan lalu waktu kecelakaan motor pernah ditolong sama Bapakmu", Kak David menjelaskan. Dia memperlihatkan sikunya yang masih melukiskan luka yang sudah mengering. Kak David bukan anak asrama, artinya dia berangkat ke sekolah dari kampung Muara Sina. Jarak yang cukup jauh untuk sampai ke sekolah. Tapi jarak yang jauh bukan masalah utama, jalan ke kampung Muara Sina masih jalan tanah. Jika hujan turun, wajar jika jalan itu licin dan berlumpur. Terlebih lagi ketika truk-truk sawit melewati jalanan itu. Pengendara sepeda motor hanya bisa memilih jalan terbaik yang dapat ditempuhnha di antara kolam-kolam genangan air. Anka bahkan pernah menikmati sakitnya jatuh di jalanan itu. Itu juga yang menjadi alasannya untuk tinggal di asrama.

"Trus?" Tanya Anka. Entah apa yang harus dia katakan untuk mengatasi rasa canggungnya.

"Ya, ga apa. Kamu ga ada rencana pulang kah?" Lanjut kak David.

Semua orang tahu, penghuni asrama hanya diijinkan pulang ke rumah setiap dua minggu sekali. Itu pun pada saat akhir pekan saja.

"Minggu lalu aku sudah pulang, jadi belum diijinkan lagi...", jawab Anka.

"Ohh...", David menjawab. Apa dia kecewa? Ada niat apa bertanya? Mau memberi tumpangan? Berbagai pertanyaan dan prasangka muncul di benak Anka.

Dan saat itulah, dalam kecanggungan yang semakin menjadi, Helena muncul. Merasakan aura tidak biasa dalam situasi yang dihadapi Anka, kak David, dan temannya yang masih berdiri bersandar di dinding, Helena tanpa sengaja berkata, "Upss!" Matanya melirik Anka dengan penuh tanya.

"Udah selesai kah?" Akhirnya Anka yang memecahkan kecanggungan situasi itu. "Ayo kita ke kantin... Aku lapar...", kata Anka.

Keduanya beranjak ke kantin. Jaraknya cukup jauh karena menyeberangi lapangan upacara dan taman. Apapun itu, Helena tahu Anka hanya ingin melarikan diri. Anka bahkan tidak sabar untuk menunggu Lilis dan Eka menyelesaikan ujiannya.

Ah, bercakap-cakap dengan seorang pemuda saja ia merasa tidak nyaman. Bagaimana ini akan membantunya untuk menemukan cinta? Anka menggeleng kepalanya. Mungkin belum waktunya saja, ia masih terlalu muda. Mengenal lelaki di kelas X SMA bukan berarti akan menemukan cinta sejati, apa yang mereka paham tentang itu?

"Boleh kenal sama laki-laki, belajar saja dulu tentang sifat mereka. Tapi kamu masih muda, jangan sampai pergaulanmu terlalu bebas yah...", pesan yang disampaikan Mama pada anak gadis satu-satunya itu. Anka selalu mengingat hal itu. Ia tidak pernah dilarang untuk berpacaran, tapi semakin mereka membebaskannya untuk bergaul dengan siapa saja, semakin ia merasa tanggung jawabnya terhadap dirinya menjadi lebih besar. Terutama mengingat posisi ayahnya sekarang.