Pagi telah menjelang. Entah kapan suasana kembali normal. Tapi lonceng yang dipukul pada jam 4.30 pagi itu memiliki arti yang sama dengan hari biasanya. Semua penghuni asrama wajib bangun, merapikan tempat tidur, dan berkumpul di ruang belajar.
Helena yang pertama kali selesai merapikan tempat tidurnya. "Aku piket hari ini, duluan yah..." katanya sebelum keluar dari ruangan.
Anka dan Lilis juga selesai merapikan tempat tidur, para gadis yang lain masih kesulitan untuk bangun karena kekacauan semalam. Tapi dengan kedatangan Pak Doklas, mau tidak mau mereka akhirnya bangun. Tentu saja. Jam belajar pagi dan malam hari selalu diabsen. Mereka yang tidak hadir akan mendapat hukuman berbagai macam. Mulai dari olah raga keliling lapangan sepakbola, membersihkan WC, atau membersihkan selokan.
Helena yang mendapat jadwal piket sedang menuju dapur. Dia akan bekerja sama dengan beberapa penghuni asrama lainnya untuk membantu ibu dapur memasak sarapan.
Dapur asrama berada di gedung yang terpisah dengan asrama putra dan putri. Terletak di bagian belakang ruang aula yang biasa mereka gunakan untuk acara tertentu. Dua pintu masuk terletak di sisi depan gedung. Satu dari arah asrama putra dan satu dari arah asrama putri.
Helena melangkah santai menuju pintu masuk, ketika dari arah sebaliknya ia melihat salah satu anggota Karat Devils juga memasuki gedung. Ugh!
Seperti suara kilat yang menyambar, mata mereka bertemu. Perlu waktu sedetik bagi Helena untuk mengeluarkan aura kejam dari dirinya agar Ronal tidak akan mengganggu jam piket mereka pagi ini. Tapi ekspresi Ronal justru berubah menjadi jahil. Apa yang akan ia lakukan kali ini? Helena pasti lebih mudah untuk dipancing jika baru bangun dari tidur.
Mereka melangkah menuju ruangan di belakang aula. Melewati ruang makan yang memiliki banyak meja dan kursi, mereka tinggal melewati satu pintu lagi untuk memasuki dapur. Dan Helena benar-benar akan melewati pintu itu ketika Ronal melakukan hal yang sama. Keduanya tersangkut di pintu dapur.
"Ugh! Apa sih?" Protes Helena sambil mendorong tubuh Ronal ke arah belakang.
"Lho! Aku mau masuk koq!" Ronal membela diri.
Di dalam dapur belum ada rekan piket yang lain, bahkan ibu dapur juga belum ada. Helena berencana untuk membersihkan ruang makan terlebih dahulu. Untuk itu, ia ingin mengambil sapu, ketika sekali lagi, Ronal melakukan hal yang sama.
"Lepas ga?" Kali ini suara Helena lebih dingin.
"Aku yang duluan koq!" Ronal menarik sapu itu lebih dekat ke arahnya. Hal itu membuat lengan Helena tertarik ke arah Ronal. Berhadapan langsung dengan Ronal, mata mereka kembali beradu. Duarrr! Kilat kedua pun menggelegar.
Menanggapi sikap Ronal, Helena menginjak kaki pemuda itu. Melepaskan sapu yang ia pertahankan.
"Ambil aja sana! Cocok koq sapu itu sama kamu. Sudah kurus, tinggi, langsing lagi! Kutilang!" Ronal masih meringis kesakitan karena kakinya. Tapi disela rasa sakit itu, ia merasa senang karena berhasil membuat marah Helena. Gadis itu tidak menarik jika sedang dalam mood yang baik. Dia memang anggun, tapi keanggunan itu tidak cocok dengan dirinya. Saat marah atau kesal seperti inilah Helena justru menunjukkan wajah paling cantik yang ia miliki. Apalagi jika ia kesal karena perbuatan Ronal, itu berarti setelah dia kembali ke ruangannya pun ia akan tetap mengingat Ronal. Walaupun untuk sesuatu yang menyebalkan.
Helena menuju karung beras di sudut dapur. Beras yang akan mereka gunakan untuk memasak selalu ditumpuk disana. Ia sedang berusaha membuka karung itu ketika akhirnya rekan piket yang lain memasuki dapur. Beberapa masih menguap, mungkin karena dipaksa bangun oleh Pak Doklas. Ibu dapur datang beberapa menit kemudian sambil membawa sayur dan ikan yang akan mereka masak. Dan pekerjaan piket pagi itu menjadi lebih mudah karena ada ibu dapur. Tidak ada yang berani bermain-main saat ia ada untuk memastikan sarapan siap sebelum waktunya disantap.
Selesai piket, Helena menuju kamar mandi lalu bersiap untuk ke sekolah. Ia sudah sarapan duluan sebagai petugas piket. Jadi dia hanya perlu menunggu Anka dan Lilis selesai sarapan untuk berangkat ke sekolah bersama.
Mereka melewati lapangan sepakbola. Ya, SMA Melati dan Asrama Melati hanya dipisahkan oleh lapangan sepakbola. Meski tidak semua penghuni asrama Melati yang berasal dari sekolah ini. Ada siswa SMP dan siswa SMA Negeri juga di sana.
Memasuki kelas X-1, para Angels melihat bahwa kelas itu telah ramai. Para Karat Devils juga sudah duduk di kursi mereka. Mereka duduk paling belakang. Sementara para Angels duduk di barisan depan. Anka duduk paling depan bersama teman sebangkunya, Eka. Di belakangnya, Helena dan Lilis duduk bersama.
Ada aura jahat, itu yang Anka sadari saat hendak duduk di kursinya. Ia melihat wajah Karat Devils yang tidak wajar. Dan ia tahu penyebabnya ketika Helena berteriak. Helena menatap ketakutan ke arah laci mejanya. Anka dan Lilis mencari tahu apa gerangan yang membuat Helena kaget. Dan disanalah, seekor cicak tergeletak tak bergerak beralaskan kertas. Cicak itu sudah mati. Anka bergidik geli. Cicak adalah hewan yang paling dibencinya.
Tanpa perlu bertanya, mereka tahu siapa yang melakukannya! Karat Devils! Ketiganya menoleh ke belakang, menatap tiga orang yang hanya tersenyum merasa tak bersalah.
"Apa sih? Ah, cuma cicak mati aja koq! Sini...", Eka, teman sebangku Anka membantu membuang bangkai cicak itu. Gadis tomboy itu sering menjadi pihak yang menenangkan saat akan terjadi ledakan kemarahan dari Viva Angels.
Bel berbunyi, tanda pelajaran akan dimulai. Viva Angels akan tetap berada dalam posisi siap tempur seandainya saja Endah, si ketua kelas memperingatkan mereka, "sudah bel loh yah... Kalau mau bertengkar nanti aja jam istirahat...".
Endah tahu, walaupun para Angels selalu tidak akur dengan para Devils, mereka tidak akan membuat masalah saat sedang belajar. Walau bagaimana pun, mereka termasuk siswa yang berprestasi. Sejak tes seleksi masuk SMA Melati, mereka mendapat peringkat 10 besar.
Para Angels mendengarkan peringatan Endah. Mereka pun duduk, merasa aman karena tidak ada hal menjijikan lagi di sana. Dan apa yang akan mereka lakukan untuk pembalasan dendam sudah jelas ketika Helena berkata, "kita mulai perang sampah!"
...