Sore itu, di dalam gerbong kereta, aku menghela napas panjang. Novel favorit yang sedang kubaca tiba-tiba hiatus tanpa alasan. Anehnya, novel itu baru mencapai bab ke-14, tetapi ceritanya terhenti begitu saja.
Merasa bingung dan kesal, aku memutuskan menuliskan komentar. "Dasar penulis sialan, kalau tidak niat menulis, lebih baik jangan membuat cerita," tulisku.
Setelah menuliskan komentar, pikiranku perlahan tenang saat mataku tertuju pada matahari yang mulai terbenam. Dalam hati, aku membayangkan betapa menyenangkannya jika bisa bertemu langsung dengan karakter Yuki. Penasaran, secantik apa dia sebenarnya?
Kereta akhirnya berhenti di stasiun tujuan. Aku melangkah keluar menuju lobi stasiun dan segera memesan taksi online. Malam itu cukup lengang, sehingga taksi yang kupesan datang lebih cepat.
Dalam keheningan di dalam taksi, ternyata ibuku telah menelepon lebih dari lima kali. Sayangnya, notifikasi telepon sengaja kumatikan karena terlalu lelah untuk berinteraksi dengan siapa pun. Sepanjang perjalanan, pandanganku hanya tertuju pada gedung-gedung pencakar langit dan kompleks perumahan elit yang kulalui.
Sepuluh menit kemudian, aku akhirnya tiba di rumah. Setelah menjalani aktivitas seharian, aku memutuskan untuk mandi dan mengganti pakaian. Namun, baru saja aku masuk ke kamar mandi, terdengar suara ledakan besar dari bawah tanah. Sumber ledakan itu ternyata berasal dari pipa air yang pecah, menyebabkan rumahku runtuh.
Seluruh pondasi bangunan hancur, dan aku yang sedang mandi terjebak di bawah reruntuhan.
Aku mencoba meminta pertolongan, mendengar suara tetangga yang panik dan berhamburan keluar rumah. Mereka memanggil namaku, namun aku tak sanggup menjawab.
Seluruh tulangku patah, dan dadaku tertusuk besi bangunan. Tak lama kemudian, ambulans dan petugas pemadam kebakaran tiba di lokasi. Dengan bantuan peralatan modern, mereka mulai menyingkirkan puing-puing, hingga akhirnya menemukan tubuhku yang lemah dan hampir tak sadarkan diri.
"Bawa tandu! Cepat, dia mulai kehabisan oksigen!" teriak salah seorang petugas.
"Apakah ini akhir bagiku? Aku bahkan belum mengetahui akhir dari cerita itu," gumam pemuda tersebut dalam hati, sembari menampilkan raut wajah yang penuh kekhawatiran.
Perlahan, kesadaranku mulai memudar, dan pandanganku menghitam.
Aku tidak tahu apakah aku masih hidup atau sudah mati. Namun, samar-samar terdengar sebuah suara yang berbicara padaku.
"Nak, jika kau menginginkannya, aku akan memberimu kesempatan kedua. Tubuhmu yang asli sudah mati, maka jalani kehidupan keduamu dengan penuh rasa syukur," ucap suara misterius itu, yang semakin memudar hingga akhirnya menghilang.
Ruang kosong itu perlahan diisi oleh suara detikan yang monoton, menyerupai jam dinding yang berdetak tanpa henti. Suara itu bergema, menciptakan suasana yang semakin menyesakkan.
"Hal ini membuatku hampir kehilangan kewarasan," gumamnya dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. Matanya yang sayu menatap kosong, sementara tubuhnya yang lemah tampak terkulai tanpa daya.
Bibirnya yang pucat terus bergerak, seolah meluapkan pikiran yang tak terhenti. "Jam dinding? Waktu? Apakah selama ini aku benar-benar menghargai itu? Mengapa aku justru merasa menyesal mati dengan cara sekonyol ini?"
Kerutan di dahinya semakin dalam, menandakan gejolak batin yang tak kunjung reda. Perasaan gelisah yang menyeruak dari dalam hatinya perlahan membungkus dirinya, memunculkan penyesalan yang terlambat.
Bagaimana dengan kedua orang tuaku yang tinggal di kota kecil? Aku bahkan tak berani membayangkan bagaimana ekspresi mereka ketika tahu anaknya mati tertusuk besi bangunan.
Dalam ruang hampa yang tak berujung, tiba-tiba muncul sebuah pintu kosmik yang terbentuk dari ketiadaan. Kehadirannya disertai oleh pancaran cahaya jingga yang bercampur dengan putih lembut, menciptakan aura yang menggetarkan. Cahaya tersebut, bersama suara yang menyertainya, menghasilkan fenomena yang luar biasa dan sulit dijelaskan.
Di dalam ruang yang semestinya gelap gulita, keberadaan pintu itu justru mengubah segalanya menjadi putih terang yang menyilaukan. Namun, meskipun ruangan itu kini diterangi, suasananya tetap dipenuhi kehampaan yang mencekam. Kesunyian yang melingkupi ruang tersebut terasa pekat, seakan menelan suara dan rasa. Kesepian yang mendalam meresap ke dalam setiap sudut, menciptakan nuansa hening yang tak terhingga.
Menyadari keberadaan pintu tersebut, aku bangkit dari posisi berbaringku. Dengan langkah tertatih dan tatapan lesu, aku mendekati pintu itu. Semakin dekat, rasa penasaran semakin mendesak hingga akhirnya aku berdiri tepat di depannya.
Aku mengetuk pintu itu tiga kali. Tidak ada jawaban. Diam sejenak, aku bertanya pada diriku sendiri, "Pintu apa ini?" Jika tidak ada jawaban, aku harus menemukannya sendiri. Dengan hati-hati, aku meraih gagang pintu dan membukanya perlahan. Sebuah hembusan hawa sejuk langsung menerpa tubuhku, membuatku menggigil. "Apakah ini surga? Tidak, aku rasa bukan!"
Aku melangkah masuk dengan penuh pertimbangan, merasakan suasana yang berbeda dari sebelumnya. Langkahku terus maju, namun sebelum aku sempat memahami apa yang ada di dalam, mendadak hembusan angin segar menusuk tubuhku, membuatku terhenyak. Perlahan, mataku yang terpejam mulai terbuka, menghadapi kenyataan yang baru.
"Di mana ini?" tanyaku bingung.
Ini jelas bukan di kota. Angin yang berembus terasa sejuk, menyapu wajah dengan lembut, sementara cahaya matahari tidak terlalu terik, hanya menyentuh permukaan dengan hangat. Aku berdiri perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan yang asing ini. Saat itu, aku baru menyadari bahwa tanganku dipenuhi berbagai macam tanaman obat-obatan.
"Ini bawang, cabai, dan tomat?" gumamku sambil memandangi barang-barang yang kugenggam. Aku menyisihkan semua tanaman herbal yang kupaut untuk diletakkan di tanah. Sementara itu, ransel di sisiku tetap terbuka sejak tadi. Aku meraihnya dan melihat ada begitu banyak tanaman herbal lain di dalamnya. Dengan saksama, kuteliti tanaman-tanaman tersebut, lalu kumasukkan kembali tanaman herbal yang sebelumnya kutaruh.
Semuanya kini tersimpan rapi di dalam sebuah ransel usang yang kugendong. Jika diperhatikan lebih teliti, beberapa bagian kain ransel itu telah robek, memperlihatkan usianya yang sudah tidak muda lagi.
Tak jauh dari tempatku berdiri, terlihat sebuah tumbuhan unik yang menjulang kokoh. Pandanganku tertuju pada sehelai daun yang bentuknya menyerupai daun seledri. Rasa penasaran perlahan menyelimuti pikiranku.
Aku memetik daun tersebut, mengamati bentuk dan teksturnya dengan saksama, lalu, dengan hati-hati, mencoba mencicipinya.
"Huekk! Pahit dan asam, apa-apaan ini?" ujarku dengan mata tertutup, disertai lidah yang menjulur karena rasa yang begitu asam dan pahit.
"Sudahlah, lebih baik sekarang mencari jalan pulang."
Aku pun berjalan menurun menyusuri lereng gunung, terpesona oleh keindahan alam yang sangat asri. Sepanjang perjalanan, aku tak henti-hentinya kagum melihat begitu banyak satwa liar seperti burung, tupai, rusa, dan lainnya yang tampak di sekitar.
Sesaat dalam perjalanan, aku menyadari bahwa bocah ini, maksudku Argia yang asli, bukanlah sekadar bocah nakal yang kabur dari rumah. Hal ini terbukti dengan adanya secarik kertas yang ketika dibuka, adalah peta.
Yang lebih menarik lagi, di celah terdalam ransel ini terdapat secarik kertas berisi informasi tentang nilai mata uang di kerajaan ini. Namun, yang paling membuatku penasaran adalah nama penulis surat ini, yang bertuliskan, "Untuk anakku yang tersayang."
"Untuk saat ini, sebaiknya kita berjalan ke luar mengikuti arah yang tertera di peta ini," kata Argia, dengan mata yang terfokus pada peta dan lingkungan sekitar.
Tiga jam kemudian, aku tiba di gerbang belakang sebuah desa.
Aku tidak tahu ini desa apa, karena tidak ada papan nama penunjuk desa. Apakah aku memasuki salah satu gerbang belakang desa? Aku cukup bingung dengan apa yang terjadi, tapi sebaiknya aku masuki saja terlebih dahulu. Lagipula, Argia yang asli sudah menandai lokasi ini sebelumnya. Tunggu, ada rumah seseorang di sini!
Sesaat aku termenung, memandang rumah di sebelahku yang tampak sangat familiar. Aku mencoba mengingat di mana aku pernah melihatnya.
Tak lama kemudian, seorang gadis berparas elok keluar dari dalam rumah. Ia mengenakan pakaian tradisional yang anggun, sementara rambut putihnya yang berkilau tampak bersinar, bahkan mengalahkan teriknya mentari siang itu. Matanya yang berwarna kemerahan, dengan kelopak yang sedikit sayu, menambahkan keanggunan yang memikat pada sosoknya.
Gadis itu melangkah perlahan menuju kebun di samping rumah. Di sana, terbentang sebidang tanah berwarna hitam pekat yang tampak subur dan telah disiapkan dengan saksama untuk ditanami sayuran. Ia berdiri sejenak, memandang tanah itu dengan penuh kesungguhan. Tatapannya mengisyaratkan tekad yang kuat, seolah ia tengah mempersiapkan dirinya untuk tugas yang penting.
Dengan gerakan yang sederhana namun penuh kepastian, gadis itu mulai mengayunkan cangkulnya. Setiap ayunan membelah permukaan tanah dengan lembut, membuka jalan bagi benih kehidupan. Keringat mulai menetes dari dahinya, membasahi wajahnya yang bercahaya, menjadi saksi dari kerja keras yang ia lakukan. Dalam setiap gerakan, tersirat harapan akan panen yang melimpah, harapan yang dititipkan pada tanah yang kaya ini.
"Ini... tidak mungkin! Gadis itu adalah Yuki, karakter utama dari novel yang kubaca," batinku terkejut.
Yuki menoleh ke belakang dan melihat seorang anak kecil berdiri terpaku. Setelah melihatku, ia perlahan mendekat.
"Permisi, apakah Anda memiliki keperluan tertentu?" tanya Yuki dengan suara ramah yang lembut, seolah menyatu dengan suasana alam.
"Tidak, aku hanya kebetulan lewat dan melihatmu," jawabku sambil memberikan senyum kecil.
Yuki tertawa pelan, lalu menawarkan untuk masuk dan menikmati secangkir teh. Namun, aku menolak dengan halus, menjelaskan bahwa aku harus menjual tanaman obat-obatan.
"Aku harus segera pergi untuk menjual ini," kataku sambil menunjukkan isi ranselku.
"Oh, ini cabai, bukan? Sulit sekali menemukan yang seperti ini," ucap Yuki sembari memperhatikan ranselku dengan rasa ingin tahu.
Ia kemudian bertanya, "Siapa namamu?"
"Namaku Argia. Kalau kamu?" tanyaku sambil menatapnya.
"Aku Yuki. Semua penduduk di desa ini mengenalku," jawabnya dengan senyum hangat.
Setelah perkenalan singkat itu, aku berpamitan dan melanjutkan perjalanan. Berdasarkan simbol di peta, toko yang menerima tanaman herbal seharusnya berada tidak jauh dari tempat ini.
Menariknya, bocah ini ( Argia yang asli ) tampaknya mampu berhitung sederhana. Ia menggambar tanaman obat di satu sisi, dan di sisi lain ia menggambar koin tembaga. Aku bergumam sendiri, "Jadi, semua tanaman ini biasanya dihargai dua koin tembaga, ya."
Argia kembali mengamati sekelilingnya sambil melangkah perlahan, menyusuri jalan-jalan kecil yang ada di desa itu. Setiap langkahnya terasa penuh kehati-hatian hingga akhirnya ia tiba di sebuah tempat yang terlihat serupa dengan tanda di petanya. "Seharusnya ini adalah toko herbal yang dimaksud," gumam Argia. Tubuhnya yang kotor serta robekan pada celana di bagian kaki kirinya menjadi bukti beratnya perjalanan yang telah ia tempuh.
Toko herbal itu tampak sunyi. Tak ada pembeli yang terlihat. Namun, ada alasan di balik keberadaan toko ini yang tetap berdiri kokoh. Pemiliknya kerap menjual tanaman herbal langsung kepada keluarga kerajaan, sehingga tidak membutuhkan pelanggan dari masyarakat biasa untuk mempertahankan usahanya.
Argia mendorong pintu kayu toko itu dengan pelan. Pintu tersebut berderit, memecah keheningan. Siluet seorang anak laki-laki dengan pakaian lusuh tampak memasuki toko. Pemilik toko, seorang pria dengan sorot mata tajam, segera mengarahkan pandangannya kepada Argia.
"Nak, apa yang kau cari di sini?" tanyanya dengan nada dingin. "Jika kau datang untuk meminta herbal secara cuma-cuma, aku tidak bisa memberikannya. Tempat ini bukanlah tempat amal!"
Aku menggelengkan kepala. "Tidak, Pak. Saya ingin menjual semua tanaman ini," ujar Argia dengan percaya diri sambil memperlihatkan isi ranselnya yang penuh dengan tanaman herbal.
"Oh, Nak kau beruntung sekali hari ini, bisa mendapatkan segenggam bawang segar," kata pemilik toko sambil terkekeh.
"Hm, baiklah, saya akan membeli semuanya seharga satu koin perak," ujar pria paruh baya berbaju cokelat itu.
"Hah?" batinku terkejut. Satu koin perak setara dengan empat koin tembaga, sedangkan satu koin tembaga dapat digunakan untuk membeli satu buah roti.
"Baiklah, saya menjualnya, Pak," jawabku.
"Ini uangmu, ambillah. Jika kau menemukannya lagi, jangan sungkan untuk menjualnya padaku," ucap pemilik toko sambil menyerahkan uang.
Aku mengambil uang tersebut dan berjalan ke kedai roti terdekat, lalu memesan tiga roti dengan susu sapi.