Sambil mengunyah makanan, pikiranku tiba-tiba teralihkan pada suatu hal. Di mana sebenarnya pemilik tubuh ini tinggal? Di sini, hanya ada peta jalan tanpa satu pun gambar rumah, meskipun di beberapa lokasi terdapat simbol khusus, seperti toko obat yang tadi.
Namun, aku segera menyadari kenyataan pahit. Ternyata, Argia hanyalah seorang rakyat jelata tunawisma yang hidupnya bergantung pada hasil menjual tanaman obat. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi pada Argia yang asli? Mengapa dia terbaring di pegunungan sebelumnya? Dan bagaimana dengan orang tuanya?
Pertanyaan itu terus bergelayut di pikiranku. Ada begitu banyak hal ganjil—mulai dari asal-usul Argia hingga keberadaan orang tuanya. Seolah-olah Argia adalah karakter yang semestinya sudah mati dan tak seharusnya hidup.
"Lebih baik makan terlebih dahulu daripada memikirkan hal lain. Untuk saat ini, aku perlu mengisi perutku yang keroncongan," ujar Argia sambil mengunyah dengan mulut yang masih sedikit penuh, "Enak!"
Ketika Argia sedang menikmati makanannya, pemilik toko tiba-tiba datang dan meludahi makanan tersebut. Terkejut, Argia menepis makanan yang diludahi itu, lalu mengambil sisa yang jatuh dan memakannya.
"Dasar rakyat jelata yang menjijikkan! Masih saja mau makan makanan yang sudah jatuh dan diludahi. Anjing miskin sepertimu hanya akan merusak suasana toko!" bentak pemilik toko dengan marah.
"Pergi, bangsat! Pelanggan lain jadi ingin muntah melihatmu!" Dengan nada penuh amarah, pemilik toko menendang dan mengusir Argia tanpa sedikit pun belas kasihan.
Aku melangkah keluar dari toko itu, berjalan menuju alun-alun desa dengan langkah berat. Sesampainya di sana, suasana seketika berubah. Para penduduk yang berada di alun-alun menatapku dengan sorot mata penuh kebencian. Raut wajah mereka jelas menunjukkan ketidaksukaan, seolah berharap aku segera pergi dan tak pernah kembali.
Aku tak berani menatap mereka lama-lama. Pandanganku perlahan turun, terpaku pada tanah di bawah kakiku, mencoba menghindari tatapan sinis mereka yang menusuk.
"Lihatlah, si miskin itu kembali lagi," sindir salah seorang penduduk dengan nada meremehkan.
"Benar. Seharusnya dia tidak usah hidup. Dia hanya menjadi beban kotor yang akan merusak citra desa kita," jawab yang lain tanpa sedikit pun simpati.
"Sampah seperti dia bahkan tidak pantas memakan sisa makanan anjingku," tambah seseorang, diiringi tawa sinis dari beberapa orang di sekitarnya.
"Pergilah, dasar hama!" seru seorang pegawai toko bunga, suaranya lantang hingga menarik perhatian yang lain.
Aku tidak tahan lagi. Tanpa berpikir panjang, aku segera berlari, mencoba meloloskan diri dari kerumunan yang semakin ramai. Setiap langkahku seperti dikejar caci maki yang bertubi-tubi, tak berhenti menusuk hingga ke hati. Beberapa orang bahkan tak segan-segan melayangkan pukulan dan tendangan ke arahku, menghantam tubuhku yang sudah lemah. Rasanya, perutku remuk dihantam rasa sakit yang tak terkira.
Aku terus berlari, tubuhku limbung, hingga akhirnya tiba di gerbang utama desa. Di sana, aku melihat sebuah kereta barang yang sedang dikendarai oleh Yuki, gadis yang kutemui tadi. Kereta itu tampak siap berangkat. Ada harapan kecil dalam diriku untuk mendekat, tapi aku tahu aku tak bisa melakukannya. Jika aku bersikeras, Yuki mungkin akan terkena dampaknya. Akhirnya, aku hanya berdiri dari jauh, mengamati dengan diam.
"Sudah berangkat, ya, keretanya…" gumamku lirih, menatap kepergian itu dengan perasaan yang bercampur antara harapan dan putus asa.
Setelah itu, aku memutuskan untuk melangkah keluar dari gerbang desa. Namun, tiba-tiba sebuah pukulan keras menghantam pipiku, disusul dengan tendangan kuat yang menghantam tulang keringku.
"Argh, sakit!" teriakku, dengan kedua tangan memegang erat kaki yang terasa nyeri, sementara rasa sakit itu menyebar ke seluruh tubuh.
"Tck, dasar anak haram tak tahu diri. Ini hukuman yang pantas untukmu, sialan!" kata Paman Ronald dengan nada sinis yang tajam, diikuti dengan ludah busuk yang dilontarkan ke hadapan wajahku.
Aku meringis kesakitan, mendapati tulang keringku mungkin patah dan kepala yang masih berdenyut karena pukulan tadi. Dengan sisa tenaga yang ada, aku mencoba merangkak, perlahan menjauh dari desa yang tak pernah memberiku tempat di dalamnya.