Chereads / At The Edge Of Absolute Infinity / Chapter 3 - ATEOAF 03

Chapter 3 - ATEOAF 03

Jauh di kejauhan, Yuki terus mengemudikan kereta kudanya, perlahan menjauh tanpa sedikit pun menyadari nasib Argia yang tertinggal. Peristiwa yang dialami Argia terjadi di tepi hutan, sebelum pintu utama desa, membuat Yuki tak mendengar atau melihat apa pun. Ia tetap melaju, tanpa menyadari bahwa Argia kini terkapar, terluka parah, ditinggalkan dalam kondisi tak berdaya.

Di tanah yang keras dan dingin, Argia tergeletak, tubuhnya lemah, setiap gerak terasa perih, terutama di kaki yang memar serta sekujur tubuhnya yang penuh luka. Tak ada daya untuk sekadar berdiri tegak, memaksanya merangkak perlahan dengan sisa tenaga yang nyaris habis. Tangannya yang kecil dan kotor menjadi satu-satunya penopang, menopang tubuh yang limbung dan kian kehilangan kekuatan. Di tengah rasa sakit yang mengoyak, terlintas perasaan marah dan kesal di dalam benaknya. "Mengapa aku harus menanggung karma ini? Dosa apa yang telah kulakukan?" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, seakan ia bicara dengan kekosongan di sekitarnya.

Meski tenaganya tersisa sedikit, Argia menyeret tubuhnya ke arah hutan di seberang jalan, berusaha kembali mencapai sisa makanan yang terjatuh ketika amarah Paman Ronald meledak. "Hanya ini yang kupunya sekarang," pikirnya getir, sebelum akhirnya melahap sisa-sisa makanan itu tanpa ragu. Tetesan air liur tampak jatuh saat ia makan dengan lahap, mengabaikan kotoran yang menempel, karena rasa lapar telah menghapus rasa jijik atau peduli pada kondisi makanan yang ia temukan.

Dahaga yang menyiksa menuntunnya mencari setetes air, pandangannya tertuju pada daun-daun lebar yang masih basah oleh embun. Ia meraih ranting kecil, membiarkan butiran embun besar jatuh satu per satu, menetes di tubuh kecilnya yang lemah. Dengan pelan, ia kumpulkan tetes demi tetes air pada daun, kemudian meneguknya perlahan, merasakan sedikit kelegaan di tenggorokannya yang kering. Di tengah kondisi putus asa, setiap tetes air yang ia teguk menjadi penyelamat yang tak ternilai.

Namun, setelah menghirup napas dalam-dalam, Argia mulai menyadari sesuatu yang menohok—dunia ini, meskipun terasa seperti novel, tidak menyediakan keajaiban atau bantuan tak terduga. Tak ada tangan ajaib yang menyembuhkan luka-luka, tak ada sosok penyelamat yang muncul dari kegelapan. Luka di tubuhnya terus terasa nyata, dan rasa sakit itu masih menghantui setiap gerakan yang ia buat. "Meski ini dunia dari novel, kenyataannya tetaplah dunia nyata…" gumamnya, menerima kenyataan pahit yang tak bisa ia elakkan.

Ia mengedarkan pandangan, melihat bahwa hujan baru saja mengguyur kawasan hutan. Tanah yang basah, bercampur dengan lumpur, menempel pada tubuh kecilnya, menambah berat tubuhnya dan membuatnya merasa semakin jengkel. Setiap kali ia bergerak, tanah lembab itu menambah beban yang harus ia pikul. "Sial," bisiknya dalam frustasi yang kian membuncah.

"Apakah ada tumbuhan patah tulang di sekitar sini?" lirihnya sambil memandang ke sekeliling, kepalanya menoleh tanpa arah, berusaha mencari tanaman yang mungkin bisa mengurangi rasa sakitnya. Di tengah keputusasaan, ia berusaha mencari Euphorbia tirucalli—tanaman yang dianggap sebagai gulma oleh penduduk desa, namun memiliki khasiat khusus, sebagaimana dulu ia manfaatkan untuk menolong seorang anak yang jatuh dan patah tulang di tepian sungai.

Tak jauh dari tempatnya berada, Argia akhirnya menemukan tanaman itu, menyamar di antara dedaunan berduri. Ia meraih dan mematahkannya, membiarkan getah kental putih menetes dari batang yang patah. "Tak kusangka, tanaman ini bisa tumbuh berbaur dengan lumut hutan," gumamnya seraya mengoleskan getah tersebut pada lukanya. Rasa perih menusuk, merembet ke setiap saraf, tetapi ia tahan, karena sakit ini tak sepedih luka yang diterima dari tendangan-tendangan sebelumnya.

Perlahan, Argia membalut kakinya dengan kain yang ia robek dari pakaian cadangannya, lalu memperkuatnya dengan ikatan tanaman rambat agar tidak melorot. Rambut basahnya ia peras, dan lumpur yang melekat di tubuhnya ia bersihkan dengan sisa-sisa air embun yang dapat ia temukan. Kini, meski harus tertatih dengan satu kaki, ia tetap berusaha melangkah, memanfaatkan batang-batang pohon besar sebagai penopang. Dengan semangat yang tersisa, ia berusaha menyusuri jalan utama, namun tetap menjaga dirinya berada di dalam kawasan hutan untuk menghindari ancaman yang mungkin datang dari luar.

Di tempat yang jauh dari Argia, seorang gadis jelita berjalan seorang diri menembus gelapnya hutan tropis. Pakaian alkemis pemberian gurunya membalut tubuhnya dengan anggun. Namun, di tengah perjalanan, sekelompok bandit gunung menghadangnya, melingkari tubuhnya yang terlihat rapuh di tengah kehijauan hutan.

"Heh, adik kecil, mau menemani kami? Kami sangat kelaparan hanya dengan melihatmu," ucap salah seorang dari mereka, lidahnya menjulur dengan sorot mata yang penuh kelicikan.

Wanita muda itu berdiri mematung, menatap dalam diam belasan sosok kasar di depannya, yang tak sabar untuk menghampirinya. "Rasa takutmu membuat kami semakin liar. Tenang saja, kami tidak akan bermain kasar," bisik salah satu bandit dengan nada mengejek, disusul tawa keras yang memecah keheningan.

Namun, sebelum tangan-tangan jahat itu sempat meraih tubuhnya, kepulan asap hitam tiba-tiba menyelubungi mereka. Dari balik asap itu, terdengar jeritan perih yang memilukan, disertai erangan kesakitan. Wanita itu terduduk, tubuhnya menggigil, matanya terbelalak ketakutan. Pemandangan di hadapannya terasa begitu tabu, seolah ia melihat kekuatan dari dunia lain.

Asap hitam itu menelan para bandit dengan rakus, bahkan tak menyisakan sedikit pun darah atau aroma kematian. Jasad mereka lenyap tanpa jejak, tertelan kegelapan pekat. Sebelum menghilang, asap hitam itu membentuk sepasang mata tajam yang menatap wanita itu seolah memberi peringatan tanpa suara. Gadis itu terdiam, tak mampu bergerak, hingga mata itu memudar dan cahaya mentari perlahan menyusup melalui celah-celah dedaunan.

Dengan langkah limbung, gadis itu melanjutkan perjalanan, namun telinganya menangkap suara samar—derap kaki kuda yang menendang bebatuan. Takut untuk menoleh, ia tetap memandang lurus ke depan.

"Apa Anda baik-baik saja? Mengapa Anda berjalan begitu terhuyung-huyung?" sebuah suara lembut menyapanya. Gadis pemilik kereta kuda itu menghentikan kendaraannya, wajahnya penuh dengan kekhawatiran dan kelembutan.

Wanita yang berdiri di depannya adalah Yuki, yang sedang dalam perjalanan menuju Kerajaan Eva. Dengan penuh kasih, ia menawarkan tumpangan kepada gadis yang tampak tak berdaya itu, memberikan perlindungan di tengah perjalanan panjang yang akan mereka tempuh.