Sujudlah dan Sembahlah Aku!
Demikianlah titah Dewi Agung Theia, dengan suara yang menggema laksana lonceng ilahi, mengguncangkan jagat raya dan meluluhlantakkan kehendak setiap makhluk yang mendengarnya. Sebagai penguasa mutlak, ia mengerahkan kekuatan maha dahsyat. Energi kinetik yang bergejolak liar di sekeliling lawannya, Nyxaroth, ia arahkan dengan pikiran tajam, mengubahnya menjadi energi statis yang melumpuhkan. Segala gerak menjadi mustahil; ruang dan waktu tunduk sepenuhnya pada kehendaknya.
Namun, keajaiban itu sia-sia.
Nyxaroth tetap berdiri tegak tanpa bergerak barang sedikit pun-bukan karena kekuatan Theia berhasil menghentikannya, melainkan karena ia memilih untuk diam. Keheningannya lebih menusuk daripada serangan apa pun. Melihat hal tersebut, Theia, sang penguasa semesta, merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: ketakutan.
"Tidak mungkin! Apa dirimu sebenarnya? Bagaimana mungkin kau tetap ada, melawan kehendakku yang mutlak?" serunya. Nada suaranya yang semula penuh wibawa kini bergetar oleh amarah dan kekhawatiran yang bercampur menjadi satu.
Tanpa keraguan, Theia melancarkan kekuatan yang lebih absolut. Ia menghentikan entropi di sekelilingnya. Segala sesuatu-waktu, ruang, serta hukum-hukum dasar semesta-ia hancurkan, digantikan oleh kehampaan tanpa akhir. Dalam kehendaknya, medan pertempuran berubah menjadi lukisan abadi, terperangkap dalam kekekalan tanpa gerak.
Namun, sekali lagi, usahanya tidak menghasilkan apa-apa.
Nyxaroth, tanpa sedikit pun menunjukkan usaha, mematahkan manipulasi tersebut seakan-akan itu hanyalah permainan anak kecil. Waktu kembali mengalir, termodinamika berjalan sebagaimana mestinya, dan hukum-hukum alam semesta pulih tanpa cela. Bagi Nyxaroth, kehendak Theia hanyalah riak tak berarti di samudra realitas yang ia kuasai.
Amarah Theia berubah menjadi keputusasaan. Ia, yang selama ini dikenal sebagai penguasa tak terbantahkan, mendapati dirinya tidak lebih dari bayangan kekuasaan di hadapan sosok yang tak terjamah oleh apa pun. Nyxaroth berdiri dalam keheningan, tidak menyerang, tidak berbicara, dan bahkan tidak menunjukkan ketertarikan. Diamnya adalah pernyataan paling menyakitkan bagi Theia.
"Apa maksudmu, wahai makhluk asing? Mengapa kau menghancurkan tatanan yang telah kubangun?!" serunya, suaranya gemetar mencoba menyembunyikan ketakutannya.
Nyxaroth, dengan suara yang tenang namun penuh wibawa, menjawab, "Diriku tidak berniat menghancurkan apa pun, wahai Theia. Aku hanya tertarik pada cabang cerita ini. Fluktuasi ruang-waktu yang terjadi adalah konsekuensi keberadaanku yang melampaui narasi ini."
Theia memandangnya dengan penuh curiga. "Narasi? Cerita? Apa yang kau bicarakan? Dan bagaimana kau mengetahui namaku?"
Nyxaroth menatapnya dengan dingin, seolah-olah setiap kata yang diucapkannya adalah kepastian yang tak dapat dibantah. "Kau adalah mahatunggal, pencipta semesta ini. Namun, sadarlah, wahai Theia, semua yang kau banggakan, semua yang kau ciptakan, hanyalah potongan kecil dari sebuah kisah yang jauh lebih besar. Kau hanyalah salah satu cabang cerita yang kecil."
"Tidak! Tidak mungkin! Apakah kau mencoba mengatakan bahwa aku hanyalah bagian kecil dari kisah lain?!"
"Benar," jawab Nyxaroth tanpa belas kasihan. "Jika kau mampu melampaui kausalitas dan meninggalkan batas narasi ini, kau akan memahami bahwa duniamu hanyalah bagian kecil dari realitas yang lebih besar. Dan kau bukanlah yang tertinggi."
Theia terguncang mendengar penjelasan tersebut. Segala kepercayaannya pada kekuasaan dan eksistensinya runtuh. Nyxaroth tetap berdiri sebagai saksi bisu atas kehancuran keyakinan seorang dewi.
Dalam keputusasaannya, Theia berseru, "Kau! Apakah kau adalah sosok Dewa yang sejati?"
Nyxaroth, tanpa ragu, menjawab singkat, "Tidak."
Theia terdiam. Matanya menunduk, seolah merenungi kebenaran yang tak dapat ia terima.
"Aku tak pernah berniat menghancurkan ceritamu, wahai Theia," ucap Nyxaroth. "Namun, ketahuilah bahwa sikap pilih kasihmu telah menciptakan ketidakseimbangan di antara makhluk ciptaanmu. Apakah kau mengira dirimu pantas disebut maha kuasa jika engkau bahkan mengabaikan sebagian besar yang menyembahmu?"
Nyxaroth mengangkat tangannya dengan perlahan, seolah mengatur semesta itu sendiri. Dengan satu gerakan lembut, ia menghadirkan sebuah pemandangan yang tak terbayangkan oleh Theia. Semesta yang selama ini ia anggap sebagai puncak keagungan ciptaannya perlahan menyusut, mereduksi dirinya menjadi serpihan kecil yang nyaris tak memiliki bobot.
Theia menyaksikan dengan mata terbelalak, tak mampu mengalihkan pandangan. Serpihan kecil itu terus menyusut hingga menjadi sebuah titik kecil yang hampir tak terlihat. Namun, sebelum ia bisa meresapi kehancuran ini, Nyxaroth melipat dimensi titik tersebut, memperbesarnya dengan keagungan yang tidak terjelaskan.
Titik itu, ketika dibentangkan, menjelma menjadi secarik kertas putih yang bercahaya. Di dalamnya, terkandung segala maklumat: sifat, zat, tujuan, dan esensi dari setiap makhluk yang pernah ada atau akan ada. Setiap potongan kehidupan, dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks, tergabung menjadi kesatuan yang tak terpisahkan.
"Dari titik inilah," ujar Nyxaroth, suaranya berat dan penuh wibawa, "segala alasan tercipta. Paragraf ini ada karena kesatuan tersebut. Kehidupan yang kau anggap mulia hanyalah serpihan kecil dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tidak dapat kau pahami dengan kesadaranmu yang terbatas."
"Oh, Dewi kami, Theia yang Mahamulia, ampunilah segala dosa-dosa kami," ujar seorang pendeta yang berasal dari planet Loria dengan suara penuh harap. Ia berdiri di tengah lautan manusia yang memenuhi alun-alun ibu kota Kerajaan Aldinor. Puluhan ribu rakyat kerajaan itu berkumpul, memanjatkan doa dalam suasana penuh khidmat, seraya memohon belas kasih kepada dewi mereka.
Di galaksi yang berbeda, sebuah planet kecil yang tidak jauh dari Loria turut menyuarakan ratapan serupa. Seorang pemuka spiritual tua, dengan suara bergetar penuh duka, berseru, "Wahai Dewi kami, kesalahan apa yang telah kami perbuat hingga patung-Mu retak dan tak lagi memancarkan sinar-Mu?" Tangisnya pecah, mengalir bersama doa-doa yang ia panjatkan, menggema ke seluruh penjuru tempat ibadah kecil itu.
Tangisan dan ratapan umat manusia tidak hanya menggema di Loria maupun planet-planet yang berdekatan dengannya. Dari seluruh penjuru jagat raya, tak terhingga jumlah galaksi yang dihuni oleh makhluk hidup turut memanjatkan doa-doa penuh harapan dan kepedihan. Doa-doa itu menjulang tinggi, melintasi batas ruang dan waktu, hingga akhirnya terdengar oleh para malaikat yang berdiri megah di singgasana langit tertinggi, menyaksikan derita yang menyelimuti ciptaan.
Di planet Orbis, tempat kehidupan yang sebelumnya telah kembali damai, kini diliputi kekacauan akibat patahnya salah satu tangan dari patung Sang Dewi. Rasa takut dan kecemasan menyelimuti hati seluruh penduduknya. Dalam keputusasaan, mereka hanya mampu berserah diri, bersujud dalam doa yang penuh harap, memohon ampunan dan pertolongan dari Sang Dewi. Mereka berharap agar ketenangan yang telah sirna dapat kembali menyelimuti dunia mereka, membawa kedamaian seperti sediakala.
"Dapatkah kau mendengarnya, Theia?" tanyaku sembari mengalihkan pandanganku kepadanya. Theia, yang sedari tadi terdiam dalam kebisuannya, tetap terpaku pada ratapan yang menggema dari para penyembahnya. "Banyak dari mereka menyembahmu dengan penuh rasa syukur. Namun, mengapa kau mengabaikan mereka?"
Theia tetap membisu. Namun aku tidak berhenti berbicara. "Aku tidak mengerti, Theia. Mengapa engkau bersikap pilih kasih? Bukankah hal itu bertentangan dengan kodratmu sebagai dewi?"
Pertanyaanku tidak berbalas. Theia hanya termenung, kedua tangannya saling bertaut, sementara samar terdengar rintihan pilu yang menggema dari bibirnya. Perlahan, air mata mengalir dari kedua matanya, membasahi pipinya yang pucat. Dalam nada penuh kepedihan, ia akhirnya bersuara, "Aku memohon ampun! Aku tidak layak menyandang gelar Mahakuasa dan Maha Tunggal. Engkaulah Sang Maha Mengetahui, yang tidak terikat oleh cerita yang membatasiku. Oleh karena itu, ampunilah dosa-dosaku!"
Aku menatapnya dengan sorot mata tajam, tetapi penuh wibawa. "Tidak sepantasnya kau memohon ampun kepadaku, Theia," ujarku dengan nada tegas, seraya mengembalikan esensi alam semesta yang kini mengambil bentuk secarik kertas. Kertas itu melayang perlahan di udara, bercahaya lembut, memancarkan energi yang tak terlukiskan.
Aku memperhatikan Theia yang masih tertunduk. "Aku bukan tempat untuk menampung dosa-dosa. Khusus untukmu, engkau harus bertanggung jawab atas kesalahanmu sendiri."
"Kau tidak perlu aku ajari, bukan, Theia? Seharusnya engkau telah memahami apa yang mesti dilakukan!" ujar Nyxaroth dengan nada tegas namun datar, seolah memantapkan keputusannya.
Setelah menyampaikan kata-kata itu, Nyxaroth perlahan menarik dirinya keluar dari cabang cerita tersebut. Kehadirannya yang selama ini menjadi inti dari kerusakan kausalitas perlahan memudar, meninggalkan dunia itu dengan anomali yang turut lenyap. Ketidakharmonisan yang sempat mencengkeram cabang cerita itu kini kembali pada keteraturan. Setiap hukum, sifat, dan zat yang mengatur kisah tersebut kembali berfungsi sebagaimana mestinya, mengalir dengan ritme yang natural seperti awal mula keberadaannya.
"Dewi! Dewi Agung Theia yang Mahamulia! Mohon sadarlah!" Seruan lantang Gabriel menggema, memecah sunyi yang menyelimuti. Nada suaranya penuh kepanikan, seolah mengguncang eksistensi ruang di sekitarnya. Seluruh malaikat yang hadir, berjumlah tiga belas, segera berusaha menenangkan Gabriel yang larut dalam kegundahan.
Dalam keheningan yang seolah melingkupi, perlahan mata Theia yang semula terpejam mulai terbuka. Napasnya tersengal, menandakan kebingungan yang membuncah. Pandangannya menyapu seluruh ruangan, berupaya memahami apa yang baru saja terjadi.
"Bagaimana dengan Azareth? Apakah kalian telah menjatuhkan hukuman kepadanya?" suara Theia terdengar lemah namun sarat kekhawatiran.
Mendengar itu, Seraphiel, salah satu malaikat tertua, memandangnya penuh keheranan sebelum Gabriel menjawab dengan nada lembut, berusaha menenangkan, "Azareth, wahai Dewi, telah berdiam diri selama puluhan ribu tahun di dunia bawah. Apa yang membuatmu begitu gelisah?"
Ekspresi Theia sejenak berubah semakin muram. "Bagaimana dengan energi asing yang sebelumnya kurasakan? Bukankah kalian juga merasakannya?" tanyanya dengan nada penuh kecemasan.
Namun, jawaban yang diterimanya justru gelengan kepala dari seluruh malaikat yang hadir. Seraphiel mewakili mereka semua berbicara, "Tidak, wahai Dewi kami. Energi apakah yang engkau maksud?"
Theia membuka mulut, hendak menjelaskan, namun kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Sebuah firasat buruk menyelinap ke dalam batinnya, seolah ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang mengintai dari balik tirai realitas.
Kini, Nyxaroth berdiri di luar batas narasi itu, mengamati cabang cerita yang telah ia tinggalkan. Pandangannya tidak lagi seperti seorang tokoh yang terlibat, melainkan lebih seperti seorang pembaca yang mempelajari isi sebuah buku dari awal hingga akhir. Namun, ia bukan pembaca biasa-ia tahu setiap detail tentang masa depan yang akan ditulis, setiap plot yang akan berkembang, dan setiap akhir yang akan terwujud.
Pengalaman yang ia peroleh dari cabang cerita itu begitu berharga. Ia memahaminya secara mendalam, mempelajari mekanisme yang menggerakkan cerita tersebut hingga menjadi utuh. Dengan wujudnya yang mutlak, Nyxaroth memutuskan untuk memberikan sebuah nama pada cerita itu: "Theia Sang Dewi Lugu." Bagi dirinya, nama itu cukup menggambarkan hakikat dan keindahan sederhana yang melekat pada cabang kecil tersebut.
"Ini sudah lebih dari cukup untuk sebuah cerita kecil," ujarnya lirih, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.
Setelahnya, tanpa menoleh kembali, ia berkata dengan tenang namun penuh kepastian, "Kini waktunya untuk mencari cerita lain."