Chereads / At The Edge Of Absolute Infinity / Chapter 9 - ATEOAF 09

Chapter 9 - ATEOAF 09

Barangkali "cerita" merupakan kata yang terlalu sederhana untuk menggambarkan fenomena luar biasa ini. Namun demikian, hamparan narasi yang terserak di sekeliling Nyxaroth membentuk panorama yang memukau. Setiap fragmen narasi itu, bagai serpihan realitas yang tertulis, menyerupai secarik kertas yang melayang tanpa bobot. Di antara mereka, beberapa menjelma menjadi buku-buku yang memancarkan aura misteri, seakan menyimpan kedalaman yang tak terukur.

Keadaan ini mengingatkannya pada perjalanan pertamanya menuju tempat ini, selepas berpamitan dengan Xarathion. Kala itu, dunia yang tak terdefinisi ini memperkenalkan dirinya dengan pesona yang tak tergambarkan. "Menarik," gumam Nyxaroth lirih, suaranya nyaris tak lebih dari bisikan angin di antara cabang-cabang cerita yang berkelok-kelok. Dengan pandangan tajam yang sarat ketenangan, ia menelusuri tiap fragmen, membaca dan merenungi esensinya.

Bagi Nyxaroth, narasi-narasi ini ibarat aliran energi yang menawarkan berbagai kemungkinan. Namun, apabila sebuah cerita tampak tak lebih dari sekadar kumpulan kata tanpa jiwa, tanpa daya pikat yang mampu menyentuh substansi eksistensinya, ia tak segan untuk mengabaikannya. Cerita itu akan ia hempaskan, layaknya daun gugur yang tak lagi memiliki tempat di ranting kehidupan. Dengan kesahajaan yang kontras dengan kedigdayaannya, ia pun beralih kepada cerita lain, mencari percikan makna yang layak mendapatkan perhatiannya.

"Yang ini menarik," gumam Nyxaroth, tatapannya yang tidak berwujud namun penuh intensitas tertuju pada sebuah kisah yang terhampar di hadapannya. Secarik kertas bercahaya itu memancarkan sinar lembut, menampilkan tulisan-tulisan dalam aksara kuno yang hanya ia, satu-satunya entitas dengan pemahaman absolut, mampu menguraikannya.

"Permulaannya memikat," lanjutnya dengan nada puas, "dan tidak tergesa-gesa dalam penyajian. Selain itu, terdapat banyak sekali simpul plot yang terjalin dengan indah."

Nyxaroth mengamati lebih jauh, seolah setiap goresan tinta di atas kertas itu menyimpan rahasia yang lebih besar daripada alam semesta yang melingkupinya. Pandangannya menembus setiap lapisan cerita, hingga ke akar narasi yang membentuknya.

"Mari kita selidiki siapa yang bertanggung jawab atas penciptaan dan pengaturan keseluruhan alam semesta raya dalam cabang kisah ini," pikirnya dalam keheningan yang memuat segunung misteri. Energi dan kesadaran Nyxaroth menelusuri kedalaman makna yang tersembunyi dalam secarik kertas bercahaya tersebut, seperti seorang filsuf yang menggali inti hakikat realitas.

"Ah, ternyata dia adalah dewa yang baik," bisiknya perlahan, suaranya yang tak berbentuk beresonansi di ruang yang tak terdefinisi. "Ya, setidaknya tidak sesederhana dan sepolos Theia tadi," lanjutnya, memberikan penilaian dengan nada yang mengandung rasa penghargaan sekaligus perbandingan halus.

Meskipun demikian, rasanya akan sangat ceroboh apabila aku memasuki cabang cerita ini dengan wujudku yang serba abstrak seperti sekarang. Meskipun setelah penelaahan lebih lanjut, aku hanya perlu menahan seluruh energi yang ada dan mengubah bentukku menjadi ukuran fundamental dalam fisika, yaitu Plank Length.

Namun, hal tersebut justru akan memicu absurditas yang menyebabkan kehancuran total terhadap definisi realitas dalam cerita itu! Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang serupa dengan yang pernah terjadi sebelumnya. Kedua tanganku terangkat ke atas, dan tatapanku tertuju pada kehampaan yang ada di punggung tangan. Dari sana, terukirlah fenomena ilahi yang melampaui batas nalar dan hukum fisika, mencakup segala bentuk informasi, kehidupan, sifat, dan substansi dari setiap eksistensi—baik itu manusia, elf, iblis, kurcaci, wyvern, dewa-dewi, hingga roh agung yang ada dalam seluruh cabang cerita.

Segala hal tersebut terukir dalam wujudku yang kini telah berubah menjadi entitas oktagon (persegi delapan), yang berfungsi sebagai wadah penopang untuk menahan substansiku yang menghancurkan—substansi yang merupakan perwujudan dari kiamat itu sendiri. Kini, aku terlapisi oleh lapisan informasi yang mencakup seluruh substansi makhluk hidup yang ada maupun yang akan ada.

Dengan demikian, ketiadaan seperti diriku kini dapat berdiam dalam dimensi yang tak berujung, sesuatu yang sebenarnya mustahil. Sebab, sekadar melepaskan sedikit energi seukuran partikel kuantum akan cukup untuk menghancurkan dan menghapus seluruh definisi realitas dalam cabang cerita tersebut.

"Baiklah, masalah wujud kini telah terselesaikan! Sekarang saatnya untuk mengunjungi dan menjelajahi cerita ini!" seru Nyxaroth dengan nada tegas, namun tetap lembut, mencerminkan ketenangannya yang mendalam.

Wujud oktagonku memasuki secarik kertas dengan tenang. Dengan terbang perlahan, aku berhasil menembus bagian prolog cerita itu.

Kala itu, seisi alam semesta terasa hampa. Ketiadaan segala makhluk hidup membuat Dewa Perun merasa sedih dan diliputi kesepian. Dengan keagungannya, ia mengangkat sekumpulan partikel cahaya dan ketiadaan, dari sana terciptalah sifat dan zat yang menjadi dasar makhluk hidup. Makhluk itu diberi nama Qamar. Qamar ditugaskan untuk mengembara dan tunduk pada takdirnya, menjadi pasangan dari sebuah planet hitam yang begitu panas.

Planet itu sangat panas, hingga mustahil bagi makhluk hidup untuk bertahan. Qamar yang menyadari kenyataan itu, memohon kepada Dewa Perun agar ia dipisahkan dari planet tersebut. Mendengar permohonan itu, Dewa Perun merasa murka sekaligus kecewa. Ia pun kembali memerintahkan Qamar untuk menghancurkan dirinya sendiri. Sementara itu, planet hitam yang menyadari penderitaan pasangannya, memohon agar Qamar tidak dijatuhi hukuman. Air mata planet itu mulai mengalir, menyemburkan airnya dan membanjiri seluruh permukaan planet. Dari tangisan itu, terciptalah asal mula air laut. Namun, karena tangisan planet itu tak kunjung reda, terlahirlah Dewa Badai Barq yang mengendalikan cuaca dan petir.

Dewa Perun akhirnya mempertimbangkan keputusan tersebut dengan bijak. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk mengangkat hukuman terhadap Qamar. Qamar yang sangat bersyukur atas kemurahan hati Dewa Perun dan kebaikan planet hitam, kini menyaksikan transformasi planet tersebut menjadi biru, yang kini dikenal sebagai Daria.

"Apakah cerita ini benar-benar asli, Kakak?" tanya seorang bocah laki-laki berumur delapan tahun dengan pakaian lusuh. Ia bertanya kepada seorang wanita berbaju biru yang menjual buku bekas itu.

"Tidak, Fery, itu hanyalah cerita dongeng untuk anak-anak sebelum tidur!" jawab wanita itu sambil tersenyum terkekeh.

Namun, tangan kecil Fery tetap menggenggam erat buku tersebut. Dengan segenap tenaga yang dimilikinya, ia berusaha semaksimal mungkin untuk membalik halaman demi halaman. Di tengah usahanya, Fery menyadari kenyataan pahit bahwa ia tidak memiliki keluarga—tanpa ibu, ayah, ataupun saudara sebagai tempat berlindung. Ia hanya diasuh dan dirawat oleh tetangganya, yang juga hidup dalam keterbatasan dan kemiskinan.

Tetangganya, seorang perempuan lanjut usia, telah merawat Fery sejak ia ditelantarkan saat masih bayi. Peristiwa tersebut serupa dengan nasib yang dialami oleh perempuan lanjut usia itu, yang juga ditinggalkan oleh anaknya sendiri di sebuah permukiman kumuh yang terabaikan.

Sekarang, Fery yang telah berusia delapan tahun, hidup dengan bergantung pada pelajaran membaca yang diberikan oleh seorang pedagang wanita yang sering melintasi kawasan kumuh tersebut. Terkadang, beberapa anak lain, selain Fery, juga ikut tertarik dan belajar membaca bersama.

Sesekali, untuk kebutuhan pangan, wanita lanjut usia itu sering kali tidak mampu menyediakan makanan yang memadai bagi Fery, karena kondisinya yang semakin melemah dan tidak sanggup berjalan. Akibatnya, Fery tumbuh dengan tubuh yang sedikit lebih pendek akibat kekurangan gizi.

Fery sering mengais sisa-sisa makanan dari sampah yang terbuang di jalanan, yang kadang dilewati kereta dagang. Pada suatu hari, ia cukup beruntung karena menemukan sepotong roti besar dengan sisi kanannya yang sedikit berjamur. Fery merobek bagian yang berjamur dan membagi roti tersebut menjadi dua bagian, satu bagian ia makan, sementara sisanya ia sisihkan untuk neneknya.

Tak jauh dari tempat Fery berdiri, sebuah potongan daging sapi terjatuh di tepian jalan. Daging itu sudah dipenuhi lalat dan mengeluarkan aroma busuk yang menyengat. Mungkin daging itu sengaja dibuang oleh pemilik toko daging yang sedang bepergian dengan kereta kudanya.

"Terima kasih, Tuhan. Hari ini aku mendapat makanan untuk dibawa pulang," ucap Fery dengan suara kecil dan polos, sambil menatap jauh ke horizon.

Fery berjalan tertatih-tatih karena membawa makanan yang agak berat, dan ia harus melanjutkan perjalanan sejauh 23 kilometer lagi. Hingga akhirnya, matahari kembali terbenam, seakan malu untuk disaksikan oleh Qamar.