Chereads / At The Edge Of Absolute Infinity / Chapter 5 - ATEOAF 05

Chapter 5 - ATEOAF 05

Xarathion, sebuah entitas berbentuk bola hitam, berbicara kepadaku dengan suara yang dalam dan menggema, melontarkan serangkaian pertanyaan. Tampaknya ia ingin memastikan bahwa aku benar-benar Nyxaroth, sebagaimana ia percayai. Namun, hal yang membuatku terkejut adalah bagaimana aku dapat mengetahui namanya, padahal ia belum pernah menyebutkannya.

Entah bagaimana, percakapan ini terasa begitu akrab, seolah-olah aku telah mengalaminya ribuan kali sebelumnya-atau mungkin lebih dari itu. Anehnya, pengalaman ini tidak membuatku kehilangan akal. Sebaliknya, rasa penasaranku semakin dalam. Siapakah yang sebenarnya menciptakan kita?

"Kau tidak kehilangan kewarasan, Nyxaroth?" tanya bola hitam itu dengan nada penasaran. Ekspresiku yang tampak tenang, tanpa kekhawatiran atau rasa takut, memancing rasa ingin tahunya.

Nyxaroth menggelengkan kepala pelan sambil menjawab, "Akan bohong rasanya jika kujawab tidak, Xarathion."

Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Sebenarnya, kita ini makhluk seperti apa, Xarathion?" tanya entitas kosmik itu dengan nada penuh rasa ingin tahu.

"Entahlah! Aku pun tidak tahu alasan mengapa kita diciptakan atau apakah kita yang menginginkan hal itu terjadi," jawab bola hitam itu sambil sedikit memperbesar wujudnya.

Xarathion lalu bertanya, "Apa kau bisa melihatnya?" Pandangannya tertuju pada sesuatu yang tampak seperti sifat atau zat yang dimiliki manusia.

"Ya, aku bisa melihatnya! Itu adalah seorang manusia," jawabku.

Zat dari makhluk itu direkonstruksi ulang oleh Xarathion. Namun, tidak peduli bagaimana bentuknya diubah, kodrat manusia tetaplah terikat pada tiga dimensi. Xarathion mulai memanipulasi partikel dan energi milik manusia tersebut. Tubuh manusia itu memanjang dan meluas, sementara atom-atom dalam tubuhnya menjadi kacau, menciptakan tabrakan dalam hukum kausalitas.

Transformasi tersebut membawa manusia itu ke dalam metamorfosis luar biasa, mengubah keberadaannya menjadi bentuk energi murni-sebuah entitas abstrak yang mampu menjangkau dan menempati realitas berdimensi lebih tinggi. Keberadaan fisiknya, yang selama ini terikat pada hukum dimensi tiga, seketika kehilangan makna, tergantikan oleh substansi baru yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu sebagaimana yang dipahami oleh manusia.

Namun, kodrat manusia sebagai makhluk fana dengan keterbatasan esensial segera mengemuka. Wujud energi yang telah ia (manusia) capai hanyalah keberadaan sesaat; tubuhnya tidak mampu mempertahankan integritas dalam kondisi tersebut lebih dari satu detik. Dalam sekejap, struktur biologisnya terurai menjadi kehampaan, meninggalkan bekas keberadaannya sebagai debu energi yang lenyap dalam keharmonian dimensi lebih tinggi.

Ruhnya, terlepas dari beban jasmani, melayang bebas, kembali kepada ketiadaan yang menjadi asal-muasal keberadaannya. Pikiran manusia itu, terlalu rapuh dan sempit untuk memahami tatanan dimensi yang melampaui akal, runtuh dalam kealpaan total.

"Begitulah mereka, makhluk hidup yang masih terikat dimensi," ujar Xarathion dengan suara tegas. Bola hitam itu kemudian menoleh ke arahku dan berkata, "Kita tidak sama seperti mereka. Kita tidak membutuhkan dimensi untuk hidup!"

"Terima kasih atas penjelasanmu, Xarathion. Kini aku mengetahui kebenaran yang selama ini tertutupi," ungkap Nyxaroth dengan nada penuh penghargaan.

"Rahasia yang tertutupi? Ah, sudahlah!" jawab Xarathion sambil mengabaikan topik tersebut. "Nyxaroth, apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanyanya, suaranya berat dan penuh misteri.

Mendengar pertanyaan itu, aku menjawab dengan tegas, tanpa sedikit pun keraguan, "Aku akan melakukan apa yang aku kehendaki. Tidak ada satu pun yang dapat menghentikanku, Xarathion."

Xarathion terdiam sesaat, seolah sedang mempertimbangkan jawabanku. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, "Kau memang tak pernah berubah, Nyxaroth. Namun, ketahuilah, kau harus berhati-hati dengan entitas itu."

Kata-katanya membuatku sedikit waspada, tetapi sama sekali tidak menggetarkan hatiku. Ancaman kematian, betapapun nyata, tidak pernah menjadi alasan bagiku untuk gentar.

"Baiklah, aku akan mengingatnya," balasku dengan nada yang penuh keyakinan.

Kesadaranku merobek batas ruang tanpa dimensi di hadapanku. Celah yang terbuka menampilkan suatu fenomena ilahi yang tak dapat diartikan dengan akal biasa. Rekahan tersebut terbentuk dengan cukup lebar, memungkinkan keberadaanku yang abstrak melintas tanpa menimbulkan kerusakan sedikit pun.

Sebelum melangkah lebih jauh, aku menoleh ke belakang. Pandanganku tertuju pada Xarathion, sosok bola hitam abstrak yang tetap diam, seolah tak terpengaruh oleh pergeseran realitas yang baru saja terjadi.

Keberadaannya berangsur menipis, seolah dikikis oleh kefanaan yang tak terelakkan. Jika diamati lebih saksama, eksistensinya perlahan melebur, kembali menuju ketiadaan, seakan realitas sendiri enggan mempertahankannya lebih lama. Dalam ketenangan yang tak tergoyahkan, suara ini mengalun, menyampaikan pertanyaan yang meski sederhana, sarat makna, "Kau tak ingin pergi bersamaku?"

Anehnya, suara yang dahulu kokoh, tegas, dan tak tergoyahkan kini meredup, mengalir lirih bagai hembusan angin terakhir sebelum sirna. Seolah telah mengetahui kesudahannya jauh sebelum ini terjadi, ia berujar, "Tidak! Aku tidak bisa pergi!"

Sebuah keheningan yang padat menyelimuti ruang di antara kami. Nyxaroth tak segera menanggapi, hanya membiarkan waktu berlalu sejenak untuk memahami makna di balik kata-kata tersebut. Tanpa perlu bertanya lebih jauh, langkahnya pun kembali tertuju pada rekahan dimensi yang telah diciptakannya.

Namun, sebelum benar-benar melangkah pergi, sebelum kehadirannya lenyap sepenuhnya dari ranah ini, suara terakhir pun mengalun—dingin, mutlak, tanpa harapan akan tanggapan.

"Lakukan sesukamu."

Aku menjelajahi berbagai cabang cerita yang merentang luas, mengisi setiap celah kosong di jagat raya yang mutlak tak terhingga. Cabang-cabang ini bukan sekadar garis imajiner atau narasi kosong tanpa tujuan; masing-masing adalah semesta besar yang berdiri sendiri, penuh dengan denyut kehidupan yang unik dan tak terduga.

Dalam setiap cerita yang kulewati, terdapat alam semesta yang hidup, bernafas dengan caranya sendiri. Kehidupan di sana bukanlah ilusi, melainkan nyata dalam konteksnya. Ada tokoh-tokoh yang berbicara dengan suara mereka, yang mencinta dan meratap, yang berjuang melawan nasib atau berserah kepada takdir. Mereka bergerak seolah dirajut oleh tangan tak terlihat yang memahami setiap detail kecil dari keberadaan mereka.

Aku adalah pengembara dalam labirin tak berujung ini. Langkahku membawaku menyusuri lorong-lorong kesenjangan yang melampaui batas ruang dan waktu, membuka tabir rahasia di balik cerita-cerita yang berlapis. Setiap celah yang kulalui, setiap cabang yang kusentuh, mengajakku lebih dalam ke dalam hakikat semesta ini, di mana kekosongan hanyalah ilusi dan keberadaan menjelma dalam berbagai bentuk yang tak terhitung jumlahnya.

Di sinilah aku memahami bahwa setiap cerita memiliki kehidupan yang tak hanya mengisi ruang, tetapi juga menghubungkan satu sama lain dalam jaringan tak kasatmata. Tiada yang berdiri sendiri, dan tiada yang benar-benar berakhir. Semua adalah bagian dari suatu simfoni besar.

Hingga pada akhirnya, perjalanan tanpa batas ini menuntunku ke sebuah cerita yang teramat unik, penuh misteri yang melingkupi setiap sudutnya, dan tampak berbeda dari segala sesuatu yang pernah kutemui sebelumnya. Alam semesta ini, dengan keindahan yang melampaui imaji, tampak rapuh namun menyimpan daya tarik yang sukar untuk dijelaskan dengan kata-kata.

Namun, seiring kehadiranku di sana, kusadari sebuah kenyataan yang tak terelakkan. Wujudku, yang memiliki skala keberadaan jauh melampaui batas pemahaman dunia fana, membawa konsekuensi yang berat. Energi yang terpendam dalam diriku, bahkan dalam wujud terkecilnya-sekadar partikel kuantum yang tak kasatmata-akan menjadi ancaman besar bagi eksistensi dunia ini.

Betapa rapuhnya dimensi ini, hingga hanya dengan pelepasan seberkas kecil kekuatan, kehancuran total akan terjadi tanpa menyisakan apa pun. Ruang yang kupijak akan luluh lantak, langit akan terbelah, dan denyut kehidupan yang ada di dalamnya akan lenyap dalam sekejap mata. Dunia ini tak mampu menahan keberadaan entitas dengan daya yang begitu melampaui kapasitasnya.

Untuk mencegah terjadinya kehancuran yang tak diinginkan, Nyxaroth mengubah wujudnya menjadi bentuk terkecil yang masih dapat diterima oleh alam semesta, sebanding dengan ukuran planet Marduk.

Namun, ketika mendekati planet Orbis, yang kutemukan ialah...

Sebelum Kedatanganku

Di dalam Planet Orbis, keadaan telah jatuh ke dalam kehancuran. Langit yang tadinya biru cerah kini bergulung kelabu, dihantam oleh gelombang energi yang datang entah dari mana. Bumi bergetar hebat, dan warga berlarian dalam kepanikan yang tak terkendali. Mereka berlomba-lomba memasuki bunker kiamat, satu-satunya tempat yang dianggap aman dari ancaman yang datang dari langit. Pasukan tentara dikerahkan untuk membantu mengevakuasi warga, meskipun mereka sendiri tidak tahu apa yang sesungguhnya mengancam dunia mereka.

"Kapten Eryn, apa yang harus kita lakukan?" suara Gareth, asisten kapten yang setia, terdengar gemetar. Wajahnya tampak cemas, matanya terbeliak melihat pemandangan yang mengerikan di hadapannya. Dalam situasi yang semakin tidak terkendali ini, ia hanya bisa menggigit kuku jarinya, tanda ketidakberdayaan yang begitu jelas.

Kapten Eryn, dengan wajah tenang yang penuh keyakinan, menatap langit yang dipenuhi kilatan energi asing yang tidak dikenal. "Gareth, apa yang kau takutkan? Meskipun asal energi ini tidak diketahui, yang pasti ia tidak akan mendatangkan bahaya besar dalam waktu dekat. Kita masih memiliki waktu untuk merencanakan langkah kita." Suara Eryn tegas, menunjukkan ketenangan seorang pemimpin yang tidak mudah terpengaruh oleh kepanikan.

Gareth menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya, meskipun ketakutan masih merayap di sudut hatinya. "Tapi, Kapten, kita bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi! Energi ini... apa yang akan terjadi pada kita? Apa kita akan mampu menghadapi ancaman yang tak terlihat ini?"

Eryn hanya tersenyum kecil, sebuah senyum yang mengandung keberanian dan kebijaksanaan yang teruji. "Gareth, kita telah menghadapi banyak ancaman selama ini. Ini bukan kali pertama kita berhadapan dengan sesuatu yang tidak kita mengerti. Tapi percayalah, kita tidak akan mundur. Kita akan menghadapi ini dengan kepala tegak."

Dengan langkah tegas, Kapten Eryn memerintahkan, "Aku akan menghubungi pemimpin klan elf. Mereka memiliki pengetahuan yang lebih dalam mengenai energi-energi seperti ini. Segera siapkan alat komunikasi."

Gareth, yang masih ragu, segera mengeluarkan sebuah alat komunikasi dari dalam saku celananya. Alat itu berbentuk kristal bercahaya yang dapat menjangkau pemimpin-pemimpin dari berbagai klan di seluruh Orbis. Ia menyerahkannya kepada kapten dengan tangan yang sedikit gemetar, meskipun ia berusaha tetap menjaga ketenangannya.

Eryn menerima alat komunikasi tersebut, lalu menatap jauh ke horizon yang semakin gelap, tempat kekuatan yang tak terhingga itu datang. "Saatnya kita mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dunia kita, Orbis, tidak boleh jatuh dalam ketidakpastian."

Di saat yang sama, di luar sana, entitas yang tak terbayangkan mulai mendekat, membawa gelombang kehancuran yang siap menerjang. Sebuah ancaman yang tak terdefinisikan, yang mungkin hanya bisa dipahami oleh mereka yang lebih dari sekadar manusia.

Sementara itu, para elf yang berkumpul di lembah luas menyaksikan fenomena langit yang tak lazim dengan penuh ketakutan. Cahaya merah membara memancar dari langit, seperti retakan yang membelah cakrawala. Para elf gemetar, pandangan mereka dipenuhi kecemasan yang teramat sangat. Tidak sedikit dari mereka yang berbisik, menyebut ini sebagai pertanda kehancuran yang telah lama dinubuatkan.

Dalam kegentingan tersebut, para komandan elf segera mengambil tindakan. Dengan suara tegas namun penuh urgensi, mereka memerintahkan para prajurit untuk mengatur barisan perlindungan dan mengevakuasi wanita serta anak-anak ke dalam Yggdrasil, pohon dunia yang menjadi simbol kehidupan dan perlindungan mereka.

Yggdrasil bukanlah sekadar pohon raksasa. Ia adalah sumber kehidupan bagi klan elf, penopang mana yang mengalir dalam tubuh setiap elf. Akar-akarnya yang menjalar ke segala penjuru dunia telah mencengkeram bumi dengan kokoh, menjadi tameng alami yang tak dapat ditembus. Selama ribuan tahun, pohon ini telah menjadi saksi keabadian klan elf, pelindung mereka dari ancaman luar.

Tidak ada makhluk-baik manusia, monster, maupun iblis-yang berani melawan kekuasaan Yggdrasil. Getaran mana yang terpancar dari pohon dunia itu cukup untuk melumpuhkan nyali siapapun yang memiliki niat jahat. Bahkan pikiran untuk menyerang klan elf dianggap sebagai dosa besar, dihukum oleh alam itu sendiri. Karena itulah, selama puluhan ribu tahun, klan elf hidup dalam kedamaian yang nyaris abadi, tak tersentuh oleh konflik dunia luar.

Namun kini, di bawah langit yang retak dan merah menyala, ketenangan itu terguncang. Para elf merasakan bahwa ancaman kali ini berbeda. Ini bukan sekadar musuh yang dapat mereka hadapi dengan pedang atau sihir. Ini adalah kekuatan asing, sesuatu yang bahkan mungkin mampu mengguncang akar-akar Yggdrasil yang kokoh.

Di tengah kekacauan, suara pemimpin tertinggi elf, High Lord Caelith, menggema di atas lembah. Dengan pedang bercahaya di tangannya, ia memimpin klan elf menuju perlindungan Yggdrasil. "Hari ini, kita tidak akan menyerah pada rasa takut," katanya lantang, "karena selama Yggdrasil berdiri, klan elf tidak akan pernah runtuh!"

Namun dalam hati setiap elf, terselip keraguan. Akankah pohon dunia, penopang kehidupan mereka, mampu melindungi mereka dari ancaman ini? Ataukah era keabadian klan elf akhirnya mencapai akhirnya?

Para elf yang mendengar pengumuman itu serentak bersorak dengan penuh semangat, menyulut api kepercayaan diri yang membara dalam diri mereka. Sorakan itu menggema di tengah hutan suci, menjadi simbol persatuan dan tekad yang tak tergoyahkan. Ketika suasana penuh gairah itu mencapai puncaknya, seorang wanita elf yang menjabat sebagai guru ilmu pengetahuan muncul dari kerumunan. Langkahnya anggun namun tergesa, tangannya menggenggam erat sebuah laporan tebal yang penuh dengan catatan dan diagram.

Dengan penuh penghormatan, ia menghampiri pemimpin tertinggi kaum elf, High Lord Caelith, yang berdiri megah di atas singgasana berukir indah. Wanita itu menyerahkan laporan yang digenggamnya, ekspresi wajahnya mencerminkan kecemasan mendalam. Caelith menerima laporan tersebut, matanya segera menyisir setiap halaman dengan penuh perhatian. Dahinya berkerut dalam, dan napasnya menjadi berat, tanda bahwa apa yang baru saja ia baca membawa beban yang luar biasa.

"Apakah seluruh laporan ini dapat dipastikan kebenarannya, Anethra?" tanya High Lord Caelith dengan nada penuh ketegasan, tatapannya tajam menembus jiwa.

Anethra, guru ilmu pengetahuan yang dihormati itu, menundukkan kepala sejenak, lalu menjawab dengan suara yang bergetar namun penuh keyakinan. "Tuanku, setiap kata dalam laporan ini adalah kebenaran yang tak terbantahkan. Energi yang menghampiri dunia kita berbeda sepenuhnya dari energi yang selama ini menjadi tatanan alam semesta kita."

Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, sebelum melanjutkan dengan nada yang semakin tegas, meskipun tubuhnya bergetar karena rasa takut. "Ini bukanlah sesuatu yang bisa kita lawan, Tuanku. Tidak hanya kita, tetapi seluruh benua di Planet Orbis menghadapi ancaman yang sama. Fenomena ini melampaui pemahaman dan kekuatan kita."

Ucapan Anethra menggantung di udara, seperti bayangan gelap yang menyelimuti cahaya harapan. Sebelum Caelith dapat memberikan tanggapan, sebuah suara lembut namun tegas memotong pembicaraan.

"Tuanku, maafkan hamba telah mengganggu," ujar seorang wanita dari kerumunan, langkahnya ringan namun penuh kepercayaan diri. Ia adalah Aranel, asisten pribadi High Lord Caelith yang setia, seorang wanita elf yang dikenal akan ketenangannya dalam menghadapi situasi paling genting sekalipun.

"Ada apa, Aranel?" tanya Caelith, suaranya penuh tanda tanya, meskipun sorot matanya tetap tajam dan waspada.

Aranel membungkuk hormat sebelum menyerahkan sebuah kristal bercahaya lembut ke tangan sang pemimpin. "Pemimpin ras manusia, Tuan Eryn, memanggil Anda melalui kristal komunikasi ini," ucapnya dengan nada tenang namun mendesak.

Caelith menerima kristal itu, memandangnya dengan ekspresi penuh kehati-hatian. Cahaya kristal itu berdenyut lembut, seolah menunggu sentuhannya untuk mengaktifkan pesan yang dikirim oleh pemimpin bangsa manusia. Situasi semakin menegang, sementara tatapan setiap elf di sekitarnya terpaku pada sosok pemimpin mereka, menanti keputusan yang akan diambil di tengah ancaman yang tak terelakkan.