Di desa kecil Erelia, kehidupan berjalan lambat seperti aliran sungai yang tak pernah tergesa-gesa menuju laut. Desa itu terletak di ujung jurang besar, dengan langit biru yang membentang tanpa batas. Bagi kebanyakan orang, jurang itu adalah akhir dunia, namun bagi Kael, itu adalah awal dari segalanya.
Kael berdiri di tepi jurang setiap pagi, membiarkan angin menerpa wajahnya. Matanya terpaku pada kapal-kapal besar yang melayang di atas awan, bergerak seperti burung-burung raksasa yang bebas menjelajah langit. Ia bermimpi suatu hari akan berada di atas salah satu kapal itu, merasakan dek kayu di bawah kakinya, dan melihat dunia dari atas.
Namun, impiannya dianggap gila oleh penduduk desa, terutama oleh ibunya, Lira.
"Kael, berapa kali Ibu harus bilang? Langit bukan tempat untuk orang seperti kita. Kita lahir untuk hidup di tanah ini," kata Lira suatu pagi saat ia menangkap Kael di tepi jurang lagi. Wajahnya penuh kekhawatiran.
"Tapi Bu, aku tidak ingin menghabiskan hidupku di sini, menanam kentang dan memerah susu sapi. Aku ingin melihat dunia, aku ingin tahu apa yang ada di balik awan," jawab Kael dengan nada memohon.
"Kael," suara ibunya menjadi lembut, namun tegas. "Ayahmu punya mimpi yang sama, dan apa yang terjadi padanya? Ia pergi, dan ia tidak pernah kembali. Aku tidak akan kehilangan kamu juga."
Kael terdiam. Ia tahu bahwa ayahnya adalah topik yang sensitif, namun rasa ingin tahunya tak bisa dibendung. Ayahnya, seorang pelaut langit, telah pergi bertahun-tahun lalu dalam sebuah misi berbahaya dan tidak pernah kembali. Meski begitu, Kael tidak pernah melihat itu sebagai kegagalan, melainkan sebagai pengorbanan demi petualangan.
Hari itu, Kael memutuskan untuk mengambil langkah pertamanya menuju mimpinya. Ia tahu bahwa meninggalkan desa bukanlah keputusan yang mudah, tetapi ia tidak ingin hidupnya berlalu tanpa makna. Ia mulai menyusun rencana rahasia untuk meninggalkan Erelia dan mencari kapal yang akan menerimanya sebagai awak.
---
Malam itu, Kael mengemasi barang-barangnya. Sebuah tas kecil berisi pakaian, sebilah pisau untuk perlindungan, dan buku catatan tua milik ayahnya adalah semua yang ia bawa. Buku itu penuh dengan peta kasar dan catatan tentang petualangan ayahnya. Di halaman pertama tertulis: "Langit adalah batasnya, hanya bagi mereka yang berani."
Saat malam semakin larut, Kael menyelinap keluar dari rumahnya. Bulan purnama menerangi jalannya saat ia melintasi jalanan desa yang sepi. Hatinya berdebar antara ketakutan dan kegembiraan.
Namun, ketika ia hampir mencapai ujung desa, suara berat menghentikannya. "Kael, kau mau ke mana?"
Kael berbalik dengan cepat, dan di hadapannya berdiri orang yang paling tidak ia harapkan untuk melihatnya malam itu—Tuan Arlen, seorang pemburu lokal yang dikenal galak.
"Ke-ke kota, Pak," jawab Kael, mencoba terdengar percaya diri.
Tuan Arlen mengamati Kael dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Anak muda sepertimu tidak akan bertahan sehari pun di kota. Tapi kalau kau benar-benar serius, aku punya teman di pelabuhan selatan. Dia mungkin bisa membantumu."
Kael terkejut. Ia tidak menyangka Tuan Arlen akan membantunya.
"Temui Kapten Lysandra di pelabuhan. Katakan bahwa aku yang mengirimmu. Tapi ingat, jalan ini tidak akan mudah. Banyak bahaya yang mengintai di langit, dan tidak semua orang bisa bertahan," tambah Tuan Arlen sebelum berjalan pergi.
Kael tersenyum kecil. Ini adalah awal dari petualangan yang telah lama ia impikan. Dengan semangat membara, ia melangkah menuju pelabuhan selatan, tanpa menyadari bahwa perjalanannya akan membawanya ke rahasia yang jauh lebih besar dari mimpinya.