Chereads / berlayar di atas awan / Chapter 5 - Dibalik angin yang membisu

Chapter 5 - Dibalik angin yang membisu

Kael, Thalron, dan Reyn akhirnya keluar dari Labirin Angin dengan nafas terengah-engah. Mereka berdiri di tepi sebuah lembah yang luas, dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi yang dipenuhi tumbuhan aneh. Udara terasa lebih sejuk di luar labirin, tetapi angin di sini terasa jauh lebih tenang, seperti sedang menunggu sesuatu.

"Selamat kita keluar dari jebakan itu," Thalron menghela napas panjang, memandang sekitar dengan cermat. "Tapi aku yakin ini hanya awal dari ujian kita yang sesungguhnya."

Reyn mengangguk, menekan gagang pedangnya lebih erat. "Apa yang kita cari di sini, Thalron? Pulau ini semakin terasa... asing. Angin yang sebelumnya begitu liar, kini terasa begitu hening."

Kael juga memerhatikan sekeliling. Lembah itu penuh dengan tanaman berbunga yang bercahaya samar, seperti mereka menyerap sinar matahari menjadi kekuatan tersembunyi. Di tengah lembah, sebuah sungai kecil mengalir lembut, membelah tanah menjadi dua bagian. Namun, lebih dari itu, ada sesuatu yang terasa janggal di sini—seolah sesuatu yang tak terlihat sedang mengawasi mereka dari balik awan tipis.

Thalron berjalan mendekati sungai, meneliti permukaan air yang tenang. "Pulau ini memang penuh misteri. Sebelum kita melangkah lebih jauh, kita harus mengerti mengapa angin di sini begitu membisu."

Kael mendekat, melihat refleksi dirinya di permukaan air yang bersih. Tapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang. Air itu... seolah bergerak sendiri, seperti ada kekuatan tersembunyi di bawahnya.

"Angin yang membisu bukan tanpa sebab," Thalron melanjutkan. "Pulau ini punya kekuatan unik. Angin bukan hanya udara yang berhembus, tetapi juga jiwa yang bisa berkomunikasi dengan segala hal di sekitar. Di sini, angin berbicara dalam diam, Kael. Ia memberi petunjuk yang tidak bisa dipahami dengan mata biasa."

Kael mengerutkan kening, mencoba mengerti. "Jadi, kita harus belajar memahami angin yang... bisu?"

Thalron mengangguk. "Angin di sini tidak akan memberimu jawaban langsung. Ia akan menunjukkan jalan, tetapi hanya jika kau bisa mendengarkan tanpa berpikir dengan pikiran semata."

Kael menatap sungai itu, mencoba merasakan keheningan di sekitarnya. Dia menyadari bahwa angin yang kini membisu bukan sekadar angin. Ada sesuatu yang lebih dalam, yang tersembunyi di balik gelombangnya.

"Kita harus mengikuti aliran sungai ini," Thalron berkata, menunjuk ke hilir sungai yang tampak samar-samar di kejauhan. "Ada tempat yang diyakini sebagai pusat kekuatan pulau ini. Tempat di mana angin tidak hanya membisu, tetapi berbicara dalam bahasa yang harus kita pahami."

Mereka mulai berjalan mengikuti sungai, langkah demi langkah menyusuri tepiannya yang terjal. Angin yang membisu terus menemani mereka, menyelimuti lembah dalam keheningan yang menegangkan. Di setiap belokan sungai, Kael merasakan hawa yang semakin dingin, seperti ada sesuatu yang sedang menunggu di depan—sesuatu yang jauh lebih misterius daripada yang pernah mereka bayangkan.

Di satu titik, sungai tiba-tiba bercabang menjadi dua, membelah lembah menjadi dua jalur yang berliku. Di atas air, Kael melihat dua bayangan samar di kejauhan—satu bayangan tampak seperti seorang wanita berambut panjang dengan jubah putih, berdiri anggun, sementara bayangan lainnya tampak seperti seorang pria dengan penampilan yang penuh wibawa, mengenakan mantel hitam. Mereka mengambang di tengah sungai, saling berhadapan, tetapi tidak mengeluarkan suara—hanya angin yang berbicara lembut di sekitar mereka.

"Siapa itu?" Kael bertanya, terkesiap.

Thalron menyipitkan matanya, meneliti bayangan itu dengan seksama. "Itu... makhluk angin. Mereka penjaga sungai ini, Kael. Mereka akan menguji kita. Mereka yang mampu mendengarkan angin, yang akan mampu menjawab teka-teki di pulau ini."

Reyn memegang pedangnya erat. "Tapi apa yang harus kita lakukan sekarang? Apa ujian mereka?"

Thalron menghela napas berat. "Kita harus menemukan cara untuk berbicara dengan angin, bukan dengan suara, tetapi dengan hati. Kita harus menempatkan diri kita di dalam hati angin, merasakan kekuatannya yang tersembunyi. Itu satu-satunya cara kita bisa melewati ujian ini."

Kael menatap sungai lagi, mencoba merasakan getaran yang berembus dari arah bayangan tersebut. Dia merasakan sesuatu yang tidak biasa, seperti ada gelombang angin yang membelai wajahnya, tetapi lebih dari itu—ada suara samar yang memanggil dari dalam dirinya.

"Mereka menguji kita dengan angin," Kael akhirnya berkata dengan suara pelan. "Kita harus mendengarkan angin... bukan dengan telinga, tetapi dengan perasaan."

Thalron mengangguk. "Betul, Kael. Jika kau bisa mendengarkan angin dengan perasaan, maka kau akan memahami apa yang pulau ini coba katakan. Tetapi hati-hati, Kael. Ini bukan sekadar permainan. Angin ini bisa menjadi teman yang setia, tetapi juga musuh yang bisa membelokkan jalanmu."

Reyn memandang sungai dengan cemas. "Jadi, kita harus menghadapi mereka berdua? Maksudnya, makhluk angin itu?"

"Benar," Thalron menjawab. "Tetapi jangan melihat mereka hanya sebagai lawan. Mereka adalah petunjuk, mereka adalah kunci dari kekuatan pulau ini. Jika kita bisa memahami maksud angin di sini, kita akan bisa melewati pulau ini dan mencapai tujuan kita."

Kael menelan ludahnya. "Bagaimana jika kita gagal?"

Thalron menatap Kael dalam-dalam. "Kegagalan di sini bukan hanya berarti kehilangan, Kael. Itu bisa berarti terjebak di dalam angin, selamanya. Pulau ini tidak akan melepaskan siapa pun yang tidak memahami kekuatannya."

Kael menyadari bahwa mereka tidak hanya menghadapi makhluk angin yang tampak, tetapi juga ujian yang jauh lebih dalam—ujian mendengarkan angin yang membisu.

Dan dengan tekad yang bulat, mereka melangkah ke hilir sungai, siap menghadapi apa pun yang menanti di balik angin yang membisu itu.