Hari semakin beranjak sore saat Kael dan timnya memasuki bagian terdalam dari Pulau Arundis. Hutan di sekitar mereka tampak semakin tebal, dan angin bertiup semakin kencang, melambai-lambai dedaunan seolah menyambut mereka, tetapi dengan getaran yang lebih tajam. Kael merasakan sesuatu yang mengintai, sesuatu yang lebih dari sekadar angin biasa.
Mereka telah melewati beberapa rintangan, tetapi sekarang mereka menghadapi sesuatu yang jauh lebih menakutkan—Labirin Angin. Di depan mereka terbentang sebuah jalan sempit, terbuat dari semak belukar dan cabang-cabang pohon yang tumbuh saling bertautan, membentuk lorong-lorong tertutup seperti dinding. Angin berhembus lembut, tetapi terasa seperti ada suara samar-samar yang menggema dari dalam labirin tersebut.
"Ini adalah jebakan terbesar pulau ini," Thalron berkata dengan suara pelan. "Labirin ini dirancang untuk mengaburkan pikiran dan membawa siapa saja yang masuk ke dalam kebingungan abadi. Angin di sini tidak hanya mengarahkanmu, tetapi juga bisa membelokkanmu ke jalan yang salah."
Reyn memegang pedangnya dengan erat, waspada. "Kita harus berhati-hati. Jika kita salah mengambil langkah, kita bisa terjebak di sini selamanya."
Kael mengamati labirin dengan penuh perhatian. Ia tahu bahwa pulau ini tidak akan memberi mereka jalan yang mudah. Tapi ada sesuatu yang menggelisahkan hatinya—jejak angin yang mereka ikuti tampaknya memimpin ke dalam labirin itu.
"Lihat," Kael akhirnya bersuara. "Jejak angin itu... kita harus mengikuti ini, bukan?"
Thalron mengangguk perlahan. "Ya, jejak ini menunjukkan jalan yang benar, tetapi labirin ini akan mencoba mengaburkan kita. Kau harus benar-benar fokus pada arah angin, Kael. Jangan biarkan dirimu terpengaruh oleh suara-suara di dalam labirin."
Mereka memutuskan untuk masuk perlahan, melangkah satu per satu ke dalam lorong yang dipenuhi suara angin yang berbicara lirih. Kael merasakan hembusan angin yang membelai wajahnya, tetapi setiap helaan angin itu terasa seperti sebuah bisikan yang mendesaknya untuk memilih arah yang salah.
Saat mereka berjalan lebih dalam, dedaunan di sekitar semakin rapat, dan angin semakin kuat. Suara-suara mulai mengisi udara—kadang terdengar seperti bisikan samar, tetapi kadang juga terdengar seperti desahan angin yang penuh dengan bisikan penuh rahasia. Kael merasakan matanya mulai kabur, pikirannya terasa dipenuhi oleh berbagai suara yang datang dari segala arah.
"Jangan dengarkan suara itu!" Thalron berteriak, tetapi suaranya seolah hilang tertelan angin. Kael merasakan tubuhnya goyah, seolah-olah ada sesuatu yang mencoba menariknya ke satu sisi.
"Kael! Fokus!" Thalron mengerahkan suara sekuat mungkin, tetapi Kael merasa dirinya seperti terombang-ambing di antara suara-suara angin yang bercampur aduk. Angin bertiup semakin kencang, dan dinding-dinding labirin seolah bergerak, membentuk jalur-jalur baru yang semakin membuat mereka kehilangan arah.
"Thalron... Aku..." Kael mencoba berbicara, tetapi suaranya tenggelam dalam jeritan angin yang semakin menderu. Tubuhnya terasa ringan, seolah ia melayang di antara angin yang tak terlihat.
Thalron tiba-tiba menarik Kael dengan tangan yang kuat. "Jangan pernah menyerah pada angin! Fokus pada jejak itu, Kael! Percaya pada dirimu sendiri!"
Kael berusaha mempertahankan kendali. Ia menatap jejak angin yang samar-samar di tanah—jejak yang mulai kabur oleh angin yang terus berhembus. Kael menyadari bahwa ia harus menggunakan bukan hanya mata, tetapi perasaannya untuk mengikutinya. Ia membiarkan dirinya merasakan alur angin yang bergerak di sekitar mereka, mencoba untuk mengikuti getaran lembut yang tersembunyi di bawah suara bising angin.
"Arah angin... aku harus mengandalkan angin," bisik Kael, mencoba menenangkan pikirannya.
Dengan tekad bulat, Kael melangkah lebih dalam, mengikuti jejak yang samar-samar dengan perasaan lebih dalam. Ia tidak hanya melihat jalur angin, tetapi merasakannya, meresapi setiap getaran yang berhembus di telapak kakinya. Lelah dan cemas, ia terus melangkah, berusaha tidak goyah oleh suara-suara yang mencoba menyesatkannya.
Di tengah labirin yang semakin rumit, Kael akhirnya melihat cahaya samar yang menembus dedaunan—sebuah celah kecil di antara pohon-pohon, seolah mengarah ke sebuah tempat yang berbeda.
"Aku merasa ini benar," Kael berbisik, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Ini jalannya... aku yakin."
Mereka terus mengikuti jejak itu, meski perjalanan terasa semakin menegangkan. Angin yang menderu dan suara-suara dari berbagai penjuru membuat mereka harus terus waspada. Tidak ada jalan yang terlihat pasti, tetapi Kael yakin bahwa mereka semakin mendekati inti dari kekuatan pulau ini.
Namun, saat mereka hampir keluar dari labirin, angin tiba-tiba berubah. Angin itu bergerak liar, membelokkan jalur di hadapan mereka, dan suara-suara berubah menjadi jeritan yang lebih keras, seperti ada sesuatu yang memperingatkan mereka untuk berhenti.
"BERHATI-HATILAH!" Thalron berteriak, tetapi jeritan angin itu semakin menderu, seolah mengancam mereka untuk menyerah.
Kael menggigit bibirnya, bertahan melawan angin yang mencoba menariknya ke arah yang berbeda. Ia tahu mereka tidak bisa berhenti. Mereka harus melewati ini, atau mereka akan kehilangan jejak selamanya.
Dan di tengah kekacauan itu, Kael tiba-tiba merasakan kehadiran lain. Sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar angin. Sesuatu yang tidak terlihat, tetapi terasa nyata—seolah ada makhluk yang mengawasi mereka dari balik awan.
"Mereka... ada sesuatu yang lain di sini," bisik Kael, merasakan hawa dingin yang mencekam.
"Jaga dirimu, Kael. Kita tidak sendiri di sini," Thalron memperingatkan. "Kita harus keluar sebelum kekuatan pulau ini menelan kita semuanya."
Dan dengan tekad yang kuat, Kael dan timnya melanjutkan perjalanan, terus mengikuti jejak angin yang memimpin mereka menuju rahasia pulau yang paling dalam. Tetapi mereka tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Labirin Angin hanyalah permulaan dari ujian yang akan menentukan apakah mereka mampu memahami kekuatan angin yang sesungguhnya.