(Jepang, 28 November)
Di sebuah kota yang luas, terbungkus oleh dinginnya angin awal musim dingin, seorang gadis melangkah sendirian di trotoar yang ramai. Hari itu, langit berwarna kelabu dan sinar matahari tertutup awan tebal yang menandakan kedatangan musim yang baru. Salju belum mulai turun, namun aroma khas musim dingin sudah memenuhi udara. Di antara kerumunan, dia tampak mencolok dengan keanggunan yang sederhana. Gadis ini, bernama Hikari, berjalan pulang setelah menyelesaikan pelajaran dari kampusnya. Usianya baru menginjak 18 tahun, namun ada sesuatu dalam sikapnya yang menunjukkan kedewasaan dan kehangatan. Ia mengenakan baju panjang berwarna pastel yang menutup hingga pergelangan tangan serta rok panjang yang menyapu lututnya. Meskipun penampilannya tertutup dan rapi, tidak ada yang bisa mengabaikan aura lembut yang terpancar dari setiap langkahnya.
Rambut Hikari berwarna putih perak, panjang dan lembut, tergerai menyentuh punggungnya, berayun perlahan mengikuti irama angin. Sepasang matanya berwarna biru muda, seperti danau yang dalam dan tenang, mencerminkan dunia penuh mimpi di balik tatapan polosnya. Saat dia berjalan, sesekali ia menarik nafas dalam-dalam, menikmati udara segar yang menusuk kulit namun terasa menyegarkan di paru-parunya. Ia menyadari bahwa musim dingin semakin dekat, sesuatu yang selalu dia nantikan sejak kecil.
Di dalam benaknya, Hikari bergumam dengan suara hati yang ringan. "(Namaku Hikari, hari ini adalah musim dingin karena sebentar lagi memang musim dingin. Aku juga tak sabar melihat salju turun. Soal status cintaku, tentunya aku masih sendirian... Karena mencari lelaki menurutku sangatlah susah... Jika bisa, mungkin ada lelaki yang bisa menganggapku hebat... Pasti sangat menyenangkan... Hehe,)" gumamnya sambil tersenyum kecil, senyum yang sedikit malu namun dipenuhi harapan.
Ketika sampai di depan rumahnya, Hikari mengeluarkan kunci dari tasnya dan membuka pintu dengan suara derit pelan. Namun, senyumnya seketika pudar saat melihat pemandangan di ruang tamu. Matanya melebar, napasnya terhenti sesaat. Di sana, kakaknya yang bernama Yuki tampak berdiri sambil memeluk seorang pria tinggi. Hikari bahkan tak mampu berkata apa-apa, tas tangannya terjatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk kecil yang seolah menggema di ruangan.
"(Perkenalkan, dia Kakakku Yuki... Dia pandai mencari lelaki, tapi dia mulai aku anggap jalang di sini...)" batin Hikari dengan perasaan yang campur aduk, antara kecewa dan kesal. Sorot matanya sedikit meredup saat melihat Yuki yang seolah-olah tak menyadari betapa keterlaluan perbuatannya di depan Hikari.
Yuki, yang menyadari kehadiran Hikari, langsung berbalik dan tersenyum lebar seakan-akan tak ada yang aneh. "Ah, Hikari, kau sudah pulang. Ini pacarku, Kage," kata Yuki, suaranya terdengar riang saat dia memperkenalkan lelaki yang ada di sampingnya.
Lelaki yang bernama Kage itu perlahan menoleh pada Hikari, memandangnya dengan tatapan dingin dan nyaris kosong, seperti tatapan seseorang yang sudah lelah menanggung beban kehidupan. Wajahnya terlihat tenang, tanpa ekspresi, namun ada aura yang membuat Hikari merasa tidak nyaman. ". . . Bayangan. . ?" gumam Hikari pelan, seolah sedang mencoba memahami sesuatu yang samar di pikirannya. Yuki hanya mengangguk saat mendengar Hikari mengulang nama itu.
"Namaku Kage, artinya bayangan," jawab pria itu, suaranya dalam dan tenang, namun tak ada sedikitpun kehangatan di dalamnya. Dia mendekatkan wajahnya sedikit pada Hikari, membuat gadis itu merasa semakin tidak nyaman. Hikari mencoba mempertahankan ekspresi tenangnya, namun di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang aneh pada pria ini. "(Apanya.... Dia bersikap seperti om-om saja.... Auranya gelap, namanya juga artinya bayangan...)" pikir Hikari, merasa sedikit terganggu oleh kehadiran Kage yang terasa berat dan gelap.
Tatapan Hikari kemudian tertuju pada rambut Kage yang hitam pekat, seolah menyerap semua cahaya di sekitarnya. Matanya yang juga berwarna hitam terlihat begitu suram, kosong tanpa kilauan sedikit pun. "(Mata itu... Tak ada titik cahaya sama sekali...)" batin Hikari, merasa ada kesan yang mendalam namun mengganggu di sana. Ia terdiam, bingung bagaimana harus menyikapi aura misterius yang dipancarkan Kage.
Tanpa banyak berkata-kata, Kage akhirnya mengucapkan salam perpisahan kepada Yuki, seolah-olah kunjungannya hanyalah hal biasa. "Baiklah Yuki, aku pergi dulu," katanya singkat, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu. Namun sebelum pintu benar-benar tertutup di belakangnya, Hikari dengan cepat menarik tangan Yuki dan membawanya masuk ke dalam, jauh dari pintu. Hikari menatap kakaknya dengan tatapan penuh pertanyaan. "Apa itu pacar kakak?" tanyanya dengan nada yang sedikit cemas.
Yuki tersenyum lebar, nyaris ceria, sambil mengangkat bahu. "Ya, dia ganteng kan?" jawabnya enteng, seolah-olah hal itu bukanlah masalah besar.
Hikari mengerutkan kening, menatap Yuki dengan ekspresi tak percaya. ". . . Ya sih, hah tidak, tidak, dia tidak ganteng, lihat saja tatapan dan namanya yang begitu aneh, kenapa aku baru tahu kakak punya pacar seperti itu?" Suaranya terdengar setengah berbisik, mencoba memahami logika di balik pilihan kakaknya.
Yuki hanya tertawa kecil, menatap Hikari dengan pandangan lembut namun penuh sindiran. "Yaaa, mungkin karena kau selalu sibuk pada pelajaranmu, kau seharusnya jangan jadi kutu buku yang berfokus pada sekolahmu, Hikari... Sesekali coba kau keluar mencari pacar, dan mungkin kau bisa berpengalaman mencari pacar."
Hikari hanya bisa menghela napas panjang, merasa bingung bagaimana harus menghadapi kakaknya yang ceroboh dan tak terduga ini. ". . . Ih, aku ini belajar agar dapat pekerjaan, lagian kakak kan sudah bertunangan dengan pria lain, apa kakak mau selingkuh?"
Yuki menatapnya dengan senyum misterius. "Hm, sepertinya itu kata yang enak," katanya, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa bersalah.
"(Selamat datang di tempat Kakakku yang pikirannya bodoh, tapi dia itu cantik,)" Hikari membatin dengan tatapan kecewa, merasa semakin tak mengerti jalan pikiran Yuki.
"Kakak, aku mohon, berhentilah merayu lelaki lain, kau itu sudah punya tunangan."
"Em, tapi bagaimana dengan Kage? Dia lelaki yang menyendiri. Aku bertemu Kage dengan suatu kecelakaan... Dia lelaki yang butuh cinta... Ah, aku tahu, bagaimana jika kau menjalin kontrak dengan Kage?"
"Apa, apa maksudmu?!!" Hikari menjadi terkejut.
"Begini, Kage sangat menyayangiku, tapi aku harus menikah, jadi kau jadi pacar kontraknya saja."
"KAKAK, kau itu bilang apa sih, aku tidak mau menjalin kontrak dengannya!!" Hikari menyela sambil berteriak.
"Hikari, apa kau mau mengganggu waktuku di sini, ini kan tempatku dan suamiku nanti... Kamu jangan jadi orang ketiga lah~" Yuki menatap melas.
"(Be-benar juga, jika aku di rumah ini aku akan mengganggu kakak dan kakak ipar,)" Hikari terkejut baru sadar.
"Jadi bagaimana? Jangan khawatir, Kage itu orangnya baik dan... Kaya banget... Dia seorang CEO, siapa tahu dia bisa menerimamu bekerja tanpa pelajaran apapun, kan kekasih kontrak hm~ Gimana?"
"Kau itu hanya memandang itunya ya... Dasar cewek matre..." Hikari melirik, lalu Yuki mengangguk bodoh.
"Hmmmm, tapi apa kau tidak berpikir kalau dia tidak akan kecewa saat kau menikah dengan pria lain?" tanya Hikari.
Yuki terdiam sejenak, senyum riangnya perlahan memudar, berubah menjadi keraguan yang jarang terlihat di wajahnya. Dia menundukkan pandangannya, memainkan ujung rambutnya dengan jemari, seolah mencari jawaban di antara helai-helai rambut itu.
"Dia lelaki yang kesepian," gumam Yuki dengan nada yang lebih pelan, membuat Hikari terperangah sejenak.
"Kakak... Apa kakak dari tadi tidak bercanda soal kondisinya?" Hikari menatap kakaknya dengan cemas, berharap mendapatkan penjelasan lebih. Namun, Yuki hanya mengangkat wajahnya lagi dan tersenyum tipis, seolah-olah mencoba menutupi kegelisahannya yang sempat bocor tadi.
"Hm, ah, hehe, aku baik-baik saja. Bisa kau beli minum di supermarket?" Yuki tiba-tiba berubah ceria, senyumnya kembali terpasang, tapi ada yang aneh dalam cara dia menghindari pandangan Hikari. Seolah-olah ia mencoba menutupi sesuatu yang tak ingin dibicarakan lebih jauh.
Meskipun perasaan ragu masih menyelimuti, Hikari akhirnya mengangguk. "Baik, akan kubelikan. (Ada apa dengan kakak?)" pikirnya sambil menatap Yuki yang tampak sedikit murung. Ia kemudian melangkah keluar, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja. Namun, keraguan itu tetap menggantung di benaknya, menambah berat langkahnya di jalanan yang dingin.
Saat berjalan menuju supermarket, ingatan tentang percakapan barusan tak henti-hentinya mengganggu pikirannya. Ia ingat betul tatapan kosong Kage, mata hitam pekatnya yang tidak menunjukkan pantulan apapun. "(Jika tidak salah, aku tadi mendengar bahwa Mas Kage itu orang kesepian. Jika memang benar, maka arti mata suram itu apa dia butuh teman... Atau dia butuh cahaya untuk membuat pantulan cahaya di mata miliknya itu?)" Hikari merenung, kepalanya penuh pertanyaan yang belum terjawab.
Tapi tiba-tiba, tubuhnya bertubrukan dengan seseorang, membuatnya hampir jatuh. "Ah, maaf," ucap Hikari terburu-buru, menunduk untuk mengambil kantong belanja yang terjatuh. Namun, saat ia mengangkat wajah, matanya membelalak lebar ketika melihat siapa yang berdiri di depannya. Kage. Pria dengan tatapan dingin dan auranya yang mengintimidasi itu.
"(Ke... Kenapa aku bertemu di saat situasi yang begini?!!!) E... Ee... Permisi," ucapnya dengan nada gugup, mencoba menjauh dan berpura-pura tidak tahu. Ia berharap bisa melarikan diri dari pertemuan tak terduga ini. Tapi sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, Kage tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dengan kuat. Ia menarik Hikari ke arah pagar jalan yang sepi, memojokkannya hingga tak ada ruang bagi Hikari untuk bergerak. Hikari menatapnya dengan ketakutan bercampur bingung, dadanya berdegup kencang karena ketegangan.
"Apa yang kau lakukan!?" Hikari mencoba memberanikan diri untuk bertanya, meskipun suaranya terdengar bergetar. Tatapan tajam Kage membuatnya merasa semakin kecil di hadapannya.
"Ka... Kakak akan marah jika kau melakukan ini," Hikari mencoba memberi peringatan, suaranya lebih lemah dari yang dia harapkan. Namun, Kage tak tampak peduli sedikit pun.
"Yuki bukanlah pacarku," ujar Kage tiba-tiba, nadanya tenang namun begitu dingin, seperti udara malam yang menyelimuti mereka. Hikari terperanjat, matanya membelalak. Kata-kata itu seakan menghantamnya seperti angin dingin yang menerobos jubahnya.
"Aku mendekatinya bukan karena mengejarnya, tapi mengejarmu," lanjut Kage, tatapannya tajam menembus mata Hikari. Hikari hanya bisa terdiam, mulutnya terbuka sedikit, mencoba mencari kata-kata, tapi tidak ada yang keluar.
"(A... Apa?!!) Apa, apa maksudmu?" tanyanya dengan suara terbata-bata. Rasanya seperti seluruh dunia di sekitarnya tiba-tiba membeku, menyisakan hanya suara napas mereka yang terdengar.
Kage mendekatkan wajahnya, membuat Hikari dapat merasakan napasnya yang dingin di kulitnya. "Gadis biasa sepertimu tidak ada yang mau, bukan?" ucap Kage sambil menyentuh pipinya dengan ujung jari. Sentuhannya terasa dingin, seperti musim dingin itu sendiri. Kata-katanya terasa menusuk, menyentuh kelemahan yang selama ini dia pendam. Namun, bukannya terpesona atau terbuai, Hikari merasakan amarah yang perlahan membara di dadanya.
Ia menepis tangan Kage yang menyentuh pipinya, mendorongnya dengan kekuatan kecil yang ia miliki. "Maafkan aku, tapi kau telah mengkhianati cinta kakak. Aku tidak mau menjadi perebut," jawab Hikari, mencoba terdengar tegas meskipun suaranya masih bergetar.
Dan sebelum Kage sempat menjawab, Hikari berbalik, meninggalkan pria itu di belakangnya, berjalan menjauh dengan langkah cepat.
Kage tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Hikari yang semakin menjauh. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, ia hanya bisa menyaksikan gadis itu menghilang di tikungan jalan. Mata hitamnya tetap tak memantulkan apapun, hanya memperlihatkan bayangan yang terus bermain di kedalamannya.