Setelah selesai membeli, ia akan menaiki kereta untuk kembali pulang lagi, tapi sebelumnya ia akan membeli tiket. Ada sesuatu yang menghambat nya yakni seorang pria yang dari tadi berdiri di tempat pembelian tiket.
Pria itu berdiri tepat di depan Hikari, kebingungan dengan mesin tiket otomatis yang memancarkan suara dingin setiap kali seseorang mencoba memanfaatkannya. Dia terlihat cukup rapi dengan jas formal, namun terlihat jelas bahwa dia tidak terbiasa dengan situasi ini. Melihat keadaan itu, Hikari merasa sedikit kasihan. Dia menghela napas, kemudian memberanikan diri untuk mendekat.
"Anu... Permisi, apa aku bisa membantu?" Hikari menatap pria itu, berharap bisa meringankan kesulitannya.
"Oh, terima kasih," pria itu membalas, terlihat lebih tenang.
". . . Eh, sepertinya tujuan kita sama. Tujuanku ada di stasiun selanjutnya, apa Anda juga?" tanya Hikari sambil mencoba membuat percakapan.
"Sepertinya begitu," pria itu membalas dengan senyuman yang tulus, lalu mereka duduk bersama di dalam kereta. Saat kereta melaju, Hikari memperhatikan sekeliling. Kereta ini cukup penuh, dengan berbagai penumpang yang tenggelam dalam dunia mereka masing-masing—beberapa membaca buku, yang lain mengutak-atik ponsel.
"Terima kasih untuk tadi, aku Haku," tatap pria tadi mengalihkan perhatian Hikari dari suasana sekitar.
"(Haku? Es?) Salam kenal, aku Hikari. Apa Anda punya keperluan di lokasi berikutnya?" Hikari merasa tertarik dengan pria ini, ada sesuatu yang berbeda tentangnya.
"Aku datang untuk menemui adikku. Apa kau tahu perusahaan Monoyaki?" Haku menjelaskan dengan penuh semangat.
"Perusahaan itu... Aku tahu. (Jika tidak salah, perusahaan itu milik bos paling berpengaruh di kota, kan?)" tanya Hikari, merasa terkejut dan sedikit ingin tahu lebih banyak tentang Haku.
"Bisa kau antar aku ke sana?" tanya Haku dengan penuh harapan.
"(Pria ini, seperti tidak mengerti jalan... Dia juga tadi terlihat tak pernah menaiki kereta, tapi pakaiannya... Kenapa sangat formal sekali... Dia juga ada perlu di perusahaan Monoyaki, sebenarnya... Siapa dia?)" Hikari terdiam lalu mengangguk. Akhirnya, mereka sampai di gedung.
"Baiklah, ini perusahaannya," Hikari menunjukkan perusahaan besar di depan mereka. Gedung itu menjulang tinggi, dengan kaca yang berkilau di bawah sinar matahari. "Kalau begitu, aku harus pamit," kata Hikari, namun Haku menahan tangannya.
"Tunggu, antar aku sampai ke dalam."
"(Apa... ke dalam... Dia bercanda kah...)" Hikari menjadi terkejut, tetapi saat melihat wajah pria itu, ia jadi menghela napas panjang. Dengan ragu, Hikari pun mengangguk. Dalam pikirannya, ia merasa terjebak antara rasa ingin tahunya dan kewajiban untuk membantu.
"(Ini akan lama, sebaiknya aku menghubungi Mas Kage agar dia tak cemas saat aku sudah di rumah, aku belum ada,)" Hikari merasa khawatir menghubungi Kage sambil masih berjalan diikuti Haku. Di dalam pikirannya, Hikari mulai memikirkan bagaimana Kage akan bereaksi jika ia terlambat pulang.
"Mas Kage, aku akan pulang terlambat," kata Hikari saat Kage sudah terdengar mengangkat ponselnya.
Namun, saat mereka akan melewati lift yang terbuka, mereka berhenti dan terkejut karena di lift itu muncul Kage dan Chen. Kage, dengan tatapan serius dan aura kepemimpinan, tampak sangat berpengaruh di sekelilingnya. Hikari bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara mereka.
Kage juga sedang memegang HP karena tadi dihubungi Hikari. Haku menatap Kage dan tersenyum, tetapi senyum itu tidak disambut baik oleh Kage.
"Lama tidak bertemu, adikku," kata Haku, seketika mereka semua terkejut.
"(Adik.... Aaadik!)" Hikari terkaku. Kage menatap tajam ke arah Haku, tampaknya seolah ia sedang menilai situasi.
"Kenapa kau ada di sini?" Kage menatap tajam.
"Kenapa? Apa kau tidak punya rasa hormat? Aku ini kakakmu, aku berhak melihat adik sendiri, sama seperti dulu, ya kau masih saja lemah," Haku menatap sombong.
"(Ke... Kenapa dia menghina Mas Kage?)" Hikari menjadi terdiam, hatinya bergetar mendengar nada merendahkan dari Haku.
"Lihat dirimu, kau masih saja di sini... Tidak kah kau mau menuruti permintaan ayah?..." tatap Haku yang menusuk hati Kage. Hikari merasa tidak nyaman dengan suasana yang tiba-tiba menjadi tegang.
"Aku hanya ingin menjalani semuanya sendirian," Kage membalas dengan tatapan serius. Suara Kage tenang, tetapi ada sesuatu yang dalam tentang pernyataannya.
"Hmp... Sendirian... Yang ada hanya memanfaatkan orang lain," Haku mulai merendahkan Kage. Hikari yang mendengar itu merasa tak terima, rasa marahnya semakin membuncah.
Lalu Haku menoleh pada Hikari. "Gadis ini sangat baik, dia mengantarkan ku sampai di sini, terima kasih ya," Haku memberikan kartu uang pada Hikari. Namun, Hikari merasa perbuatan itu sangat tidak tulus.
"Kenapa, kamu tidak mau uang?" Haku menatap. Posisinya dia pasti belum tahu hubungan Hikari dan Kage.
"Hikari..." Kage juga ikut memanggil dengan nada sederhana mengetahui Hikari hanya diam sambil masih membawa tas belanjaan nya.
"Hikari? Kau tahu nama gadis ini?" Haku hampir mengerti situasi nya.
Tapi Hikari tampak sangat kesal. "Hei... Kamu!" ia mengepal tangan sambil memanggil Haku dengan kesal, lalu Haku menoleh.
"Jangan asal menghina Mas Kage!!" Hikari berteriak, suaranya bergema di dalam lift. Ia menarik tangan Kage masuk lift. Hikari menatap Haku dari dalam lift yang akan tertutup. "Bodoh!" ia menjulurkan lidahnya pada Haku, lalu pintu lift tertutup. Chen yang ada di samping Haku terdiam ditinggal, tampak bingung dengan situasi yang terjadi.
Tapi Haku tersenyum kecil. "Oh..." layaknya dia sudah mengetahui situasi nya.
"Maafkan aku," kata Hikari sambil membuang muka dari Kage. Mereka masih di dalam lift, ketegangan terasa di antara mereka.
"Kenapa kau meminta maaf?" Kage menatap dengan lirikan mata nya, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di pikiran Hikari.
"Seharusnya aku tahu dia kakakmu... Jika tahu dia akan merendahkanmu seperti itu, aku tak perlu membawanya kemari."
". . . Kau tak perlu minta maaf, aku sudah terbiasa dengannya," Kage membalas sambil menyalakan rokoknya, asapnya mengalir perlahan di dalam ruang lift yang sempit.
"Kenapa kau bisa punya kakak? Kupikir kau tidak punya saudara... Dan kupikir... kau hanya tunggal," tatap Hikari dengan masih tak percaya.
"Jangan kaget hanya dengan itu. Dari kecil, dia selalu menunjukkan kearogannya padaku. Dia sudah banyak meniduri wanita," kata Kage, seketika Hikari terkejut dengan pengakuan itu.
"Lalu... Apa yang terjadi di antara kalian?" Hikari menatap. Tapi ia menyadari bahwa Kage merokok di sana membuat asap itu terjebak. Hikari tak bisa menunjukkan wajah tidak nyaman nya, dia hanya bisa menahan napasnya dan Kage tidak tahu diri menyalakan rokok itu, dia hanya fokus menjawab pertanyaan Hikari.
"Hanya konflik kecil, pendapat yang berbeda..." tambahnya.
"Cough... Cough... Apa maksudmu?" Hikari menatap meskipun dia terganggu dengan asap rokok nya.
Di saat itu juga Kage mematikan rokoknya karena dia baru sadar. "Maaf..." dengan nada tenang.
Tapi Hikari panik. "Ti... Tidak apa apa! Aku tidak bermaksud mengganggu..." dia tampak panik dengan wajah tak nyaman.
Kage hanya terdiam menunggu lift terbuka, pandangan nya sesekali melihat ke belanjaan Hikari di tangan nya. "Oh ya, bukankah kau besok kuliah?" tatap Kage, berusaha mengalihkan pembicaraan dari ketegangan yang baru saja terjadi.
"Um yah..... Sudah lama libur, besok aku harus kembali kuliah," balas Hikari.
"Apanya yang lama libur? Kau hanya libur di hari Sabtu dan Minggu."
"Hei, itu lama!" Hikari menatap kesal. Tetapi, ia masih teringat pada Haku.
"Mas Kage..." panggilnya, membuat Kage menoleh dengan penuh perhatian.
"Aku tak tahu kau punya perusahaan sebesar ini. Apakah perusahaan ini memang milikmu?"
". . . Yah, semuanya murni milikku, bukan siapa-siapa yang punya tempat ini.... Kenapa? Apa kau terkejut bahwa aku memiliki perusahaan besar dan bahkan yang paling berpengaruh di kota?" Kage menatap dengan lirikan sombong, tetapi di balik wajahnya, Hikari merasakan beban yang ia bawa.
"Hmp... Memangnya kenapa? Itu bukan urusanku," Hikari membuang wajah, tetapi hatinya masih ingin tahu lebih banyak tentang Kage.
"Jika kau punya pertanyaan, ajukan saja..." kata Kage membuat Hikari terdiam menatap.
"Aku tak mau kau memikirkan sesuatu terlalu banyak sendiri..." tambah Kage.
Tapi Hikari tampak ragu untuk bertanya. "(Mungkin lain kali saja... Aku tak mau mengganggu nya...)" ia membuat suasana hening.
Hal itu membuat Kage menghela napas panjang dan mengatakan sesuatu. "Besok pagi, biarkan aku mengantarmu," kata Kage, membuat Hikari terdiam. Dalam pikirannya, ia berjuang antara rasa ingin tahunya tentang kehidupan Kage dan keinginan untuk menjaga jarak dari drama yang baru saja terjadi.
Hari selanjutnya Kage benar benar mengantar Hikari ke kampus dengan menggunakan mobil hitam mewahnya.
"Ka.... Kamu tidak perlu mencolok seperti ini kan," tatap Hikari dengan cemas.
"Kenapa? Aku mengantar mu dengan mobil sesuka ku, jika kau ingin menaiki motor, aku akan menggunakan nya."
"Eh, memang nya Mas Kage bisa bawa motor?" Hikari menatap. Seketika pertanyaan itu membuat Kage terpaku.
"Kau pikir aku membangun perusahaan Monoyaki berasal dari mana? Kau pikir sebelum aku punya mobil, aku pakai kendaraan apa..."
"Um..... Hehe.... Aku percaya," Hikari menatap tidak nyaman.
Lalu mobil berhenti tepat di depan kampus. Hikari bersiap siap keluar.
"Baiklah aku pergi dulu," kata Hikari sambil membuka pintu mobil.
"Jam berapa kau akan pulang? Aku akan menjemput mu," tatap Kage.
"Um, bukankah itu terlalu mengganggumu... Aku bisa naik kereta sebenarnya..."
"Katakan saja jam berapa?" tatapan Kage tampak mengintimidasi.
Seketika Hikari menjawab. "A... Aku akan mengirim pesan saja... Jadi sampai jumpa..." dia langsung keluar dari mobil.
Tapi anehnya semua orang di kampus begitu terkejut dan menjaga jarak dengan Hikari.
"(. . .Ada apa dengan mereka, apa ada yang salah denganku,)" Ia berjalan ke dalam dengan perasaan tidak enak.
Hingga sampai dikelas ada seorang perempuan. "Hai kau pasti murid baru, Hikari kan, aku Deana, senang bertemu denganmu,"
"(Ah, akhirnya, ada orang yang mau mendekat!) Senpai, hanya kau yang tidak menjauh," Hikari terharu.
"Ehehe, wajar saja kalau mereka menjauh, orang yang mengantarmu tadi tidak lain adalah seorang bos yang berpengaruh dikota."
"Bos??? Bos apa... (Bukankah Mas Kage hanya bermain saham seperti CEO lain nya?)"
". . . Kau tidak tahu, apa dia tadi hanya mengantarmu, apa dia memang pacarmu?"
"Apa, apa maksudmu, dia bukan siapa siapa," Hikari menggeleng panik.
"Sepertinya kau tidak tahu, dia adalah Bos dari perusahaan Monoyaki."
"(Hah, tunggu..... Kenapa dia tahu soal Bos Monoyaki... Apa jangan jangan, semua orang sudah tahu siapa itu Mas Kage, sebenarnya siapa dia... Kenapa aku bisa menjalin kontrak dengan seorang Bos?!)" Hikari terkejut. Dia bahkan baru tahu soal ini.
"Siapa dia? Apa dia pacar mu? Kamu belum menjawab ku tadi," tatap Deana dengan bingung.
"Um.... Um.... Aku sudah bilang dia bukan siapa siapa!!" Hikari tak mau mengakuinya.
"Oh baguslah, kupikir dia pacar mu."
"Eh, memang nya kenapa?"
"Hm? Tak ada apa apa kok.... Baiklah mulai hari ini... Mohon bantuan nya dan aku akan mengajarimu sebagai senior," kata Deana.
"Wah... Terima kasih Senpai," Hikari kembali terharu, dia langsung mendapatkan kenalan kampus.
"Ngomong ngomong Senpai, kenapa kau bisa mengenal nya?" tatap Hikari.
"Hanya sekedar penasaran dan aku tertarik dengan mereka..." kata Deana membuat Hikari terdiam.