"Hiiih....." Hikari membanting bajunya dengan kesal. "(Aku sangat malu... Malu sekali... Kenapa dia bisa begitu baik,)" dia benar-benar berwajah merah.
Tapi ia menoleh ke jendela rumah. "(Mas Kage bilang, dia sibuk sekarang, jadi setelah dia mengantarku kemari, dia pergi begitu saja...)" Hikari juga kecewa karena Kage pergi.
Tapi ia melihat suatu ruangan yang pintunya sedikit terbuka di lantai 2, ia menaiki tangga dan mendekat.
"Ruangan ini, sepertinya aku baru tahu... Apa jangan-jangan, ruangan yang dimaksud Mas Kage adalah ruangan ini?" ia membukanya dan masuk. Seketika ia terkejut karena ruangan itu berantakan, penuh dengan dokumen, kertas, dan masih banyak lagi.
"Huu uh dasar tukang malas, tidak pernah membersihkan ruangannya sendiri." Hikari berjalan masuk dan melihat ada papan pelacak. Papan tulis itu ditempelkan kertas dan garis karet merah, seperti sebuah rencana. "Apa pekerjaan Monoyaki seperti ini?" Ia bingung lalu melihat dokumen yang bertuliskan TUNTAS dengan warna tinta merah.
Ia membukanya dan melihat banyak sekali identitas-identitas beserta foto-foto orang-orang. Baik itu tua maupun muda, baik itu luar negeri maupun dalam negeri.
"Kenapa dengan semua identitas ini, hah tunggu. Aku pernah melihat orang ini." Ia melihat salah satu foto pria dan mengingat-ingat bahwa pria itu dikabarkan mati setengah bulan yang lalu di tempatnya. Dia mati karena luka tembak di kepala. Hikari juga melihat hal yang sama di dokumen tuntas itu.
"Apa Mas Kage adalah pemecah masalah, tapi kenapa tulisan dokumen ini tuntas...?" ia bingung. Lalu tiba-tiba teringat perkataan Kage soal dia membunuh orang untuk mendapatkan uang.
Seketika Hikari terkejut dan menjatuhkan dokumen itu tanpa sengaja. "I... Ini... Tidak mungkin... Dia hanya bercanda kan?!" Hikari gemetar, menduga bahwa Kage adalah pembunuh.
"(Ini tidak mungkin kan... Sangat aneh... Mas Kage... Pembunuh... Bayaran... Tidak, tidak... Tidak mungkin lah... Dia kan seorang yang besar... Tidak mungkin kan dia mau mengotori nama perusahaannya... Tapi ada apa dengan semua rencana ini?)" Dia melihat sekitar dan tak disangka-sangka menemukan sesuatu yang mengkilap di antara buku berserakan itu. Ia berjalan mengambilnya dan terdiam karena itu adalah lencana kepolisian dan kartu identitas sah kepolisian yang bertuliskan Kage Hachimiya. Itu nama marganya.
"(Hah... Gimana sih... Tunggu... Ini apa, ini berarti Mas Kage adalah polisi pemecah masalah... Oh aku mengerti... Dia pemecah masalah... Hehe sempat aku pikir dia pembunuh... Mungkin dia bilang pembunuh adalah bermaksud mengatakan dia membunuh penjahat... Positif thinking aja...)" Hikari menghela napas, tak jadi menduga Kage adalah pembunuh orang tak bersalah.
Malamnya, Kage pulang dan melepas bajunya. Hikari mengintipnya dari lorong. "(Jika Mas Kage adalah seorang detektif, dia pasti akan waspada,)" ia terus mengamatinya. Ia melihat Kage berjalan masuk ke kamar mandi dan mandi selama 10 menit. Hikari mulai kelelahan memantaunya. "(Haiz... Kenapa dia mandi melebihi wanita... Benar-benar sangat lama... Apa sih yang dia lakukan?)"
"Hikari, di mana kau?" Kage mendadak keluar kamar mandi dengan memanggilnya.
"(Dia memanggilku, jika aku tidak datang apa yang akan terjadi?)" Hikari tetap ada di lorong sambil bersembunyi. Tapi ia terkejut Kage tidak ada saat ia kembali mengintip. Ia menoleh sekitar dan sangat terkejut karena Kage ada di belakangnya. Apalagi Kage sudah memakai bajunya yang baru dan sepertinya yang ia pakai atau kotor tadi ada di dalam kamar mandi.
"Ahhh... Kau mengagetkanku!" Hikari terkejut.
"Ada apa denganmu, tidak dengar saat kupanggil?"
"Kau, kau bukan Mas Kage!" Hikari menjaga jarak, membuat Kage bingung.
"Kau adalah seorang detektif pemecah masalah, bukan? Kasus apa yang sedang kamu hadapi, ayo ceritakan."
"(Apa yang terjadi pada gadis ini?)" Kage merasa bingung. "... Akan kuceritakan setelah kau mencuci bajuku."
"Hah, mencuci bajumu? Bukankah dimasukkan di mesin cuci saja?"
"Kenapa, apa kau juga tidak mau?"
"... Apa maksudmu dengan juga... Eh, ya baiklah, apaan sih," Hikari langsung berjalan pergi.
"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan makan malam ini?" Kage menatap.
"Um, ada di ruang makan, kamu bisa makan dulu, aku tahu kamu lelah," kata Hikari.
Kage hanya diam lalu berjalan pergi, membuat Hikari menghela napas panjang. "(Baiklah, sepertinya aku hanya sebagai pembantu rumah tangga di sini...)" ia pasrah, lalu masuk ke kamar mandi.
Ia melihat baju Kage tadi dan membukanya, ia memasukkannya di ember cucian tapi ia terdiam ketika melihat sesuatu yang aneh, ia membuka perlahan dan rupanya ada bercak sedikit darah merah di sana.
Seketika Hikari terkejut. "(I... Ini... Tidak mungkin...)" ia benar-benar tak percaya.
Hingga ketika selesai, dia langsung keluar dari kamar mandi. "Mas Kage!!" dia berteriak memanggil dan langsung mencari, dan rupanya Kage duduk di sofa membaca buku dengan kaca mata yang ia pakai.
Hikari mendekat, tapi ia berhenti ketika melihat kaca mata yang dipakai Kage. "(Astaga, dia tampak hot memakai itu...!!)" Hikari berwajah merah.
Tapi ia menggeleng dan melanjutkan yang tadi, dia mendekat langsung memegang kedua pipi Kage, membuat Kage terdiam menatap.
"Kamu baik-baik saja kan?! Di mana yang luka?! Di mana?" Hikari melihat di bagian kepala Kage, bahkan dia juga meraba panik tubuh Kage.
"... Apa yang kau bicarakan?" Kage menatap bingung.
"Aku menemukan darah di bajumu, apa kamu baik-baik saja?" Hikari menatap khawatir.
Mendengar hal itu, membuat Kage terdiam, tapi ia lalu tersenyum kecil dan melepas kaca matanya, seketika menarik Hikari, membuat Hikari terkejut, bahkan dia memangku Hikari.
"A... Apa yang kau lakukan?!"
"Itu hanya noda darah kecil, tidak perlu khawatir, itu bukan darahku tapi terima kasih sudah khawatir," tatap Kage.
Seketika Hikari terkejut kaku, dia bahkan berwajah sangat merah hampir meledak. Tapi ia menggeleng menyadarkan dirinya dan membuang wajah. "A... Apa yang kamu bicarakan?! Aku tidak begitu."
"Kau berbohong."
"Ti... Tidak...." Hikari menggeleng, tapi mendadak Kage mencium bibirnya, membuat Hikari terdiam kaku.
"Kau ingin makan?" tatap Kage.
"(Ciuman...?!) Um... Bukankah kamu sudah makan duluan?"
"Aku menunggumu, kau memasak sangat banyak dan terlihat enak," kata Kage, lalu dia menggendong Hikari di dada, membuat Hikari terkejut, dan dia berjalan ke meja makan.
Hikari benar benar sangat berwajah merah. "Mas Kage.... Turunkan aku..."
"Kenapa? Bukankah tak ada yang melihat?" tatap Kage.
"Tapi...." Hikari tampak malu, ia awalnya menatap ke arah lain hingga pandangan nya berhenti menatap kelopak mata Kage. Dia melihat pupil mata Kage yang tampak kosong, tapi ada hal yang aneh. Dimana ketika Kage tersenyum kecil menatap wajah Hikari yang berwajah merah, mata itu muncul sedikit pantulan cahaya layaknya tak seperti sebelumnya.
Hal itu membuat Hikari tertarik dan dia memegang kedua pipi Kage. Pandangan Hikari tampak sangat serius sementara Kage menatap terdiam. "Hikari?" tatapan nya tampak bingung melihat wajah Hikari.
Lalu Hikari mengatakan sesuatu. "Mata milik mu.... Seperti sebuah danau.... Yang sangat dalam..." tatapan Hikari kosong menatap ke mata Kage dan Kage masih terdiam di tempatnya yakni membawa Hikari.
"Aku takut.... Aku akan tenggelam... Di sana..." tatap Hikari, dia juga membelai pelan pipi Kage.
Kage yang mendengar itu menjadi tersenyum tipis. "Aku akan menolong mu... Jika kau tenggelam.... Aku akan memberikan mu napas buatan sebelum aku menarik mu ke daratan.... Seperti ini..." dia mendekat dan mencium bibir Hikari membuat mata Hikari terbuka. Tapi Hikari mencoba menutup mata merasakan itu.
Namun ia segera mendorong dirinya sendiri agar menjauh dari Kage yang terdiam. "A... Apa yang terjadi, kenapa jadi keterusan... Sebaiknya kita makan saja..." tatap Hikari.
Tak lama kemudian Hikari tampak mencuci piring dan mereka sudah makan malam. Kage tampak masih duduk di kursi meja makan melihat punggung Hikari yang tampak cantik. "Hikari...." panggilnya dengan suara beratnya.
Hikari menoleh sedikit sambil masih mencuci. "Kenapa?"
Lalu Kage menambah perkataan nya. "Aku berharap... Ini bukan sebuah kontrak..." tatapnya.
Seketika Hikari terdiam dan berhenti mencuci. Ia lalu mematikan wastafel dan melepas apron nya. Ia tampak memasang wajah ragu lalu mengatakan sesuatu. "Ini baik baik saja... Jika kau menganggap ini kontrak karena aku berharap ini hanyalah kontrak..." tatapnya.
Kage yang mendengar itu menjadi menebalkan alis. "Apa maksudmu? Kau tidak berharap ini bukan kontrak? Aku benar benar menyukai mu..." tatapnya. Meskipun dia berkata begitu, dia menggunakan nada yang tak memaksa.
Tapi Hikari masih ragu, dia lalu berbalik dan berjalan pergi membuat Kage berwajah tak percaya. Sudah jelas Hikari tak mau mengungkapkan hubungan itu sebagai hubungan bukan kontrak. Hikari hanya berharap hubungan mereka hanyalah kontrak dan itu membuat Kage menghela napas panjang. Cahaya yang di pantulkan dari luar untuk kelopak matanya menjadi menghilang. Pandangan nya kembali kosong karena dia tampak kecewa.
Hikari tampak masuk ke dalam kamarnya, dia tampak langsung terdiam saat pintu sudah tertutup. Pandangan nya gelap dan dia tak tahu harus apa. Lalu menengadah menatap atas dengan wajah cemas. "(Apa aku menyakiti perasaan nya?)" pikirnya lalu dia berlutut di bawah pintu lagi.
"(Kenapa.... Kenapa aku tidak bilang iya... Kenapa aku tidak mengakui hubungan ini! Kenapa.... Kenapa.... Aku harusnya memiliki pendapat yang sama padanya. Aku juga menyukai nya, aku juga menginginkan nya tapi entah kenapa... Jauh di dalam lubuk hatiku, dia memberitahu ku harus berkata sebaliknya.... Aku tak tahu mana yang jahat... Apakah aku, atau diriku sendiri... Maafkan aku Mas Kage....)" ia tampak ragu.
Tapi mendadak terdengar bunyi ponsel nya di meja membuat nya berdiri dan mengambil untuk melihat yang rupanya itu dari Yuki.
"Kakak..." Uminoke menatap dengan rindu lalu mengangkat nya. "Halo?"
"Ah Hikari..." Yuki langsung menyapa dengan senang. "Bagaimana keadaan mu? Kamu baik baik saja kan? Pernikahan ku dengan suamiku akan berlangsung beberapa minggu lagi, kami memutuskan memindahkan barang barang kami di rumah dan akhirnya kami selesai. Hanya perlu menunggu waktu pernikahan... Haha.... Ups, bagaimana dengan mu?" Yuki bertanya.
"Apa maksud kakak dengan ku?"
"Yeah, mungkin keadaan mu dengan Kage? Dia baik-baik saja kan? Apakah dia jahat?" tanya Yuki.
Hikari kemudian mencoba tersenyum. "Iya.... Dia sangat baik... (Hanya saja, aku seperti belum menerima kebaikan nya...)"