Chereads / Romantika Gadis Kontrak / Chapter 13 - Chapter 13 Yang Tersembunyi

Chapter 13 - Chapter 13 Yang Tersembunyi

Dua hari kemudian, Hikari pulang dari kampusnya sendirian. Malam itu langit tampak gelap, sedikit berawan, namun udara masih cukup hangat. Hikari berjalan pelan di sepanjang jalan setapak menuju stasiun kereta, pikirannya melayang pada percakapannya dengan Kage pagi itu.

Sebelumnya, saat berangkat ke kampus, Kage mengantarnya dengan mobil. Di dalam mobil yang senyap, hanya ada suara mesin yang menderu pelan dan embusan AC. Hikari, yang duduk di samping Kage, memandangi jalanan sambil menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang harus ia katakan, tapi tak tahu bagaimana memulainya.

"Hari ini maafkan aku, aku tak bisa menjemputmu, Hikari... Aku ada urusan nanti," kata Kage tiba-tiba, memecah keheningan.

Hikari mengalihkan pandangannya dari jendela. "Tak apa, Mas Kage... Aku akan naik kereta saja."

Kage menoleh sekilas ke arahnya, matanya terlihat sedikit khawatir. "Kau bisa naik kereta?"

"Tentu saja... Kenapa tidak? Aneh sekali jika tak bisa naik kereta, dan aku nanti mungkin juga ingin membeli bunga," Hikari menjawab sambil tersenyum tipis.

Kage tertawa kecil, tapi senyumnya cepat menghilang. "Bunga? Maksudmu bunga mawar putih itu? Kau begitu menyukai bunga warna putih itu, huh?"

"Dari mana kau tahu?" Hikari sedikit terkejut. Ia tak pernah secara langsung menceritakan tentang kecintaannya pada mawar putih.

Kage tersenyum tipis, matanya kembali fokus ke jalanan. "Setiap kali aku masuk ke kamarmu, selalu ada satu tangkai mawar putih di sana... Kau juga suka membawa pulang satu tangkai setiap hari. Apa yang membuatmu menyukai bunga mawar putih?" tanyanya, kini suaranya terdengar lebih lembut.

Hikari terdiam sesaat, lalu menghela napas. "Tidak lebih sih... Tapi mereka bilang bahwa bunga mawar putih bisa membaca perasaan cinta seseorang."

"Oh, jadi kau menyimpan bunga itu agar hubungan kita tetap erat?" goda Kage, meski nada bicaranya datar.

Hikari memandangnya, terkejut. "Apa... Teori dari mana itu?" Ia terdiam, sedikit bingung dengan reaksi Kage.

"Yang benar itu adalah, jika suasana pasangan sedang tak nyaman, seperti akan ada masalah, bunga mawar putih akan layu perlahan. Sebaliknya, jika suasana sedang hangat, maka dia akan sangat segar... Sebenarnya itu kata orang sih... Aku juga tidak tahu soal ini lebih dalam," kata Hikari mencoba menjelaskan, tapi kali ini ada sedikit kegugupan dalam suaranya.

Kage mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia menatap lurus ke depan, ekspresinya tiba-tiba serius, seolah-olah pikirannya melayang jauh. "Mawar putih, huh..." gumamnya pelan. "(Aku penasaran bagaimana dia nanti menilai soal aku dan Hikari...)"

Di dalam hati, Hikari merasa ada sesuatu yang mengganjal. Ia tahu Kage bukan tipe yang mudah berbicara tentang perasaan, tapi hari ini ada sesuatu yang berbeda. Kage terlihat lebih banyak berpikir daripada biasanya.

Sesampainya di kampus, Hikari melambaikan tangan saat Kage pergi. Ia merasakan keheningan aneh dalam dirinya, seperti ada sesuatu yang ingin diceritakan Kage, tapi terhenti di ujung lidahnya.

Tapi faktanya, dia yang dulu dekat dengan Yuki untuk sesaat selalu mendengarkan Yuki bercerita termasuk bagaimana Kage bisa mengetahui mawar putih.

Yuki selalu mengatakan, "adik ku itu, dari kecil dia tidak takut pada mawar yang penuh duri, dia selalu mencabut dengan hati hati dan hebatnya, dia bisa mencabutnya tanpa melukai tangan nya dengan duri duri berbahaya itu. Tapi anehnya, dia hanya tertarik pada mawar putih, menurut nya mawar putih lebih harum dan dia bisa merasakan suatu hal jika sudah memegang mawar putih. Termasuk bagaimana dia bisa membaca hubungan seseorang maupun keadaaan nya saat dia memegang mawar putih..."

---

Di sisi Kage saat ini, dia terus menatap ke ponsel nya di sana ada tulisan tulisan pesan yang sangat aneh sekali dan juga sangat mengganggu.

Bahkan ada yang mengirimkan foto seorang wanita yang sangat cantik padanya serta merta tulisan jelas. "Tak ada waktu yang habis. Wanita ini lebih baik dari apapun, kau pasti akan puas dan kau tak bisa menolak perintah ku," ketika selesai membaca itu, Kage tampak kesal, dia hanya mengabaikan nya dan mengantungi kembali ponsel nya.

Tapi ia bertemu Chen di lorong perusahaan. "Tuan Kage.... Apa kau tahu bahwa mereka sudah meminta mu bertemu dengan wanita itu.... Apa yang terjadi? Bagaimana hubungan mu dengan gadis itu? Kau tidak membuat hubungan kalian publik?"

"Kau bicara soal Hikari?" Kage menatap tajam.

"Yeah, maksudku, bukankah kalian menjalin hubungan? Kenapa tidak ada seorang pun yang tahu di sini?"

Kage terdiam memikirkan itu, lalu dia menghela napas panjang. "(Jika aku membuka hubungan ini, dia pasti akan kesal padaku. Karena dilihat dari sikap Hikari, dia pasti tak mau jika orang tahu dia memiliki hubungan dengan ku, apalagi ini hanyalah sebatas hubungan kontrak dan banyak hal yang akan terjadi, bahkan lebih banyak...)" dia hanya menggeleng kecil kemudian berjalan melewati Chen begitu saja membuat Chen terdiam.

"(Kenapa? Bukankah itu kesempatan bagus untuk membuka sebuah hubungan? Kage tak pernah menjalin hubungan sebelumnya dan dia begitu sehat untuk memegang gadis itu...?)" pikirnya.

--

Saat pulang, Hikari merasa hari itu terlalu sunyi tanpa Kage. Langit sore berubah menjadi malam, dan stasiun kereta mulai dipenuhi orang-orang yang hendak pulang. Hikari berdiri di peron, menunggu kereta datang, sambil mengingat-ingat percakapannya dengan Kage tadi pagi. Setiap kalimat yang ia katakan terasa menggantung.

"Kenapa dia terlihat begitu serius soal mawar putih itu?" gumam Hikari pada dirinya sendiri. "Apa aku terlalu memikirkannya?"

Saat kereta datang, Hikari naik dan duduk di dekat jendela. Sepanjang perjalanan, ia tak henti-hentinya memandangi pemandangan malam yang lewat di luar, tapi pikirannya tetap terpusat pada Kage.

Ketika tiba di stasiun tujuan, Hikari turun dan memutuskan berjalan kaki sebentar untuk mendinginkan pikirannya. Toko bunga di sudut jalan menarik perhatiannya. Seperti yang ia katakan pada Kage pagi itu, ia benar-benar ingin membeli bunga.

Saat ini Hikari berada di dalam toko bunga, udara di sekitarnya dipenuhi aroma segar dari berbagai jenis bunga. Seorang lelaki mendekat, mengenakan celemek cokelat dengan beberapa noda tanah, terlihat seperti pemilik toko itu.

"Halo, bisa aku bantu?" tanyanya dengan senyum ramah.

Hikari mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Ah iya, aku ingin bunga mawar putih."

Lelaki itu menatapnya sejenak, lalu seolah menyadari sesuatu. "Kau gadis yang selalu membeli bunga mawar putih, bukan? Aku sering melihatmu di sini," ujarnya sambil mengambil buket yang sudah terbungkus indah dari meja.

"Mawar putih selalu spesial, ya? Banyak pelanggan ku bilang bunga ini membawa pesan-pesan tersembunyi," tambahnya.

Hikari tertegun mendengar itu. "Pesan tersembunyi?"

"Ya, banyak yang percaya bahwa mawar putih bisa mewakili perasaan yang tak terucapkan... Seperti cinta yang tulus, tapi juga bisa menandakan jarak, keheningan, atau bahkan kesedihan yang mendalam," jelas lelaki itu sambil masih membungkus mawar untuk Hikari.

Mendengar itu, hati Hikari berdegup sedikit lebih kencang. Apakah mawar-mawar yang selama ini ia kumpulkan adalah refleksi dari perasaannya sendiri yang tak terungkap?

Tiba-tiba Hikari menatap buket besar itu. "Eh... Ini terlalu banyak. Aku hanya butuh satu tangkai saja."

"Tak apa, di sini ada sepuluh tangkai. Kamu sudah sepuluh kali datang ke sini, jadi ini hadiah dariku," katanya sambil menyerahkan buket tersebut kepadanya.

"Wah, terima kasih!" Hikari menerima buket itu dengan senang.

"Tidak masalah, itu untukmu. Ngomong-ngomong, namaku Ray," kata lelaki itu dengan senyum hangat.

"Aku Hikari," Hikari menatapnya sebentar, membandingkan Ray dengan Kage dalam pikirannya. "(Mas Ray sepertinya lebih lemah lembut daripada Mas Kage,)" gumamnya dalam hati.

Ray tersenyum dan melanjutkan, "Apa kau datang sendiri? Kau masih mahasiswa di kampus dekat sini, kan? Aku selalu melihatmu diantar jemput oleh mobil hitam yang bagus."

Hikari terlihat sedikit terkejut. "Eh, dari mana kau tahu?"

"Haha, aku sering kebetulan melihatmu. Jadi, tidak asing lagi melihatmu di sini. Apalagi dengan pria yang sering menjemputmu. Apa dia pacarmu atau hanya sekadar menjemput saja?" Ray menatapnya penuh rasa ingin tahu.

Hikari tersenyum gugup, lalu menunduk. "Yah... Dia hanya menjemputku saja, tidak lebih," jawabnya sambil terkekeh kecil.

Ray tertawa pelan. "Benarkah? Kelihatannya kalian cukup dekat."

"Ah, tidak... Kami hanya teman," Hikari menjawab cepat, namun suaranya terdengar agak ragu. Lalu dia melanjutkan. "Um.... Maksudku.... Mungkin..." tambahnya nenvuat Ray agak bingung, tapi dia mencoba tersenyum ramah.

"(Kenapa dia terus tersenyum? Apakah dia orang yang lebih lembut?)" pikir Hikari sambil menilai.

Ray hanya tersenyum simpul. "Kalau begitu, kapan-kapan kau bisa mampir ke sini lagi, walaupun bukan untuk membeli bunga. Siapa tahu kita bisa bicara lebih banyak."

"Eh?" Hikari sedikit terkejut dengan ajakan itu, namun dia hanya tersenyum malu. "Iya, mungkin... Terima kasih banyak untuk bunganya."

"Ya, hati-hati di jalan, Hikari," Ray melambai pelan saat Hikari mulai melangkah keluar dari toko.

Di luar, Hikari merasakan angin sore yang sejuk. Tangannya menggenggam erat buket mawar putih itu, pikirannya melayang-layang antara Ray dan Kage. "(Mengapa Mas Ray bisa mengenali aku begitu baik? Aku bahkan tidak ingat pernah berbicara dengannya sebelumnya... Dan tentang Mas Kage... Apa dia benar-benar hanya teman?)"

Sambil berjalan menuju stasiun kereta, Hikari memandang buket bunga di tangannya dan merenung, "Apa benar mawar putih ini bisa membaca perasaan cinta seseorang? Kalau begitu... Apa yang akan dikatakan tentang aku dan Kage? Kenapa aku begitu tertarik dengan mawar putih?" bisiknya. "Apakah aku benar-benar menyimpan perasaan yang tak terucapkan?"

Sebelum ia bisa merenungkannya lebih jauh, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Kage.

"Aku akan pulang terlambat. Jangan tunggu aku."

Hikari menatap pesan itu. Sederhana, tanpa emosi, seperti biasa. Tapi kali ini, pesan itu terasa lebih dingin dari biasanya. Seolah-olah ada jarak yang semakin membentang di antara mereka, yang bahkan tak bisa dijembatani dengan kata-kata.

"Mawar putih..." Hikari memandangi bunga di tangannya. "Mungkin, hubungan kami sedang layu, seperti bunga ini."

Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, tapi ada sesuatu di dalam hatinya yang mulai retak.

"(Apakah harus..... Hubungan kita tertera dengan jelas?)"